PILAR DEMOKRASI
Kerjasama beritamanado dengan KBR68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Pada pemilu presiden 2009, Partai Gerindra dan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sepakat untuk berkoalisi. Kedua partai berlandasan nasionalisme itu mengusung Megawati Soekarno Putri sebagai calon presiden dan Prabowo Subianto sebagai calon wakil presiden. Kontrak kerjasama politik itu tertuang dalam perjanjian Batu Tulis.
Awal Perjanjian
Gerindra dan PDI-P memutuskan berkoalisi karena keduanya sama-sama tidak memiliki suara cukup untuk mengusung pasangan capres dan cawapres. “Prosesnya itu, kan waktu 2009, PDIP kalau tidak salah dapat hasilnya sekitar 16%. Nah kita, 4,9%. Jadi mereka tidak bisa mencalonkan sendiri, dan beberapa partai lain sudah bergabung dengan Golkar atau dengan partai Demokrat,” kenang Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto. Padahal, putra begawan ekonomi orde baru Sumitro Djojohadikusumo itu yakin ia yang paling kuat menjadi magnet pemilih untuk menandingi calon presiden bertahan kala itu, Susilo Bambagn Yudhoyono. ”Waktu itu di polling-polling, elektabilitas saya diatas Ibu Mega. Elektabilitas saya bahkan diatas Pak Yusuf Kalla. Yang bisa imbangi Pak SBY waktu itu adalah saya, tetapi partai saya terlalu baru, terlalu kecil,” ungkap penggemar kuda tersebut.
Prabowo Subianto mengaku rela untuk menjadi wakil presiden mendampingi Megawati karena sejumlah alasan. Pertama, ia menghormati Megawati secara personal dan PDI-P sebagai partai. “Karena hormatnya saya dengan Ibu Mega, bahwa saya hormat dengan PDIP. Karena ideologi saya sebenarnya sama. Kebangsaan, nasionalisme, pancasila, saya menawarkan, kita siap memberi kursi kita. Ikhlas, kita beri tanpa minta apa-apa. Kita tidak minta apa-apa, jabatan kita tidak minta,” kata pria kelahiran 1951 tu. Kedua, Megawati berjanji untuk mendukung Prabowo Subianto pada pemilu presiden 2014. “Saya bersedia jadi wakil beliau, dengan catatan pada 2014 beliau akan mendukung saya. PDIP akan mendukung saya. Ya..itu adalah suatu perjanjian politik. Saya berkorban 2009,” ungkap Prabowo Subianto. Setelah sepakat, Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri sepakat untuk menandatangani perjanjian tersebut.
Pengingkaran Perjanjian
Menjelang pemilihan umum 2014, perjanjian Batu Tulis kembali popular di media. Ini menyusul meningkatnya keterpilihan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. PDI-P menolak perjanjian itu berlaku untuk 2014. PDI-P akhirnya menetapkan mantan Walikota Surakarta itu untuk menjadi calon presiden. Pasalnya, PDI-P menilai perjanjian itu berlaku jika pasangan itu menang sebagai presiden. Prabowo mengaku, pernyataan PDI-P itu tidak sesuai dengan perjanjian. ”Nggak ada. Anda bisa lihat, anda bisa bacakan sendiri. Itu kan klausal-klausalnya sangat jelas. Sudah beredar dimana-mana,” tegas mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu.
Meskipun dirugikan, Prabowo Subianto mengambil hikmah peristiwa itu sebagai pembelajaran politik. Mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat itu juga mengaku bingung dengan alasan Megawati membatalkan sepihak perjanjian itu. “Saya selalu menghormati Ibu Mega, saya merasa tidak pernah berbuat merugikan Ibu Mega atau merugikan PDIP. Saya selalu menghormati beliau, bekerja keras saat kampanye waktu itu, habis-habisan juga,” terangnya dengan nada heran. Selain tidak jelas penyebabnya, Prabowo Subianto merasa tidak diperlakukan dengan baik ketika perjanjian itu berakhir. “kalau kita mau berpisah kan bisa dipanggil. Katakanlah, ‘Mas Bowo, kondisi politik berubah. Saya dapat desakan dari bawah, saya harus mencalonkan orang lain. Saya mohon pengertiannya,’” kata Prabowo Subianto. Prabowo mengaku sudah mencoba menemui Megawati ketika idul fitri. Namun, ia tidak berhasil menemuinya setelah menunggu sekitar satu jam. (*)