Manado – Seminggu menjelang HUT Proklamasi RI ke-70, Presiden Joko Widodo mengadakan reshuffle kabinet. Meski hal ini sudah diprediksikan oleh sebagian orang akan segera terjadi tapi tidak sedikit juga yang menganggap bahwa keputusan presiden ini hanyalah hasil dari kompromi antar partai dan tindakan ini tidak akan berpengaruh apa-apa.
“Kompromi politik tinggi, reshuffle tak akan berpengaruh. Reshuffle menteri yang dilakukan Jokowi bakalan tidak akan memberikan dampak luar biasa. Hal itu disebabkan reshuffle lebih mempertimbangkan kompromi politik ketimbang memperbaiki kinerja kementrian”, ujar pengamat politik DR. Ferry Liando kepada BeritaManado.com, Rabu (12/8/2015).
Menurutnya, hal ini bisa dianggap sebagai kompromi dilihat dari 3 alasan yang jelas. Kompromi politik tampak pada penambahan kader PDIP di kabinet. Jokowi akhirnya kalah dari desakan PDIP yang terus menuntut agar PDIP diberikan tambahan jatah menteri.
PDIP sering protes bahwa PDIP dan Nasdem sebelumnya memiliki kader di kabinet yang jumlahnya sama yaitu 4 orang. Padahal PDIP adalah pemenang pemilu dan pengusung Jokowi sebagai Presiden sementara Nasdem hanya mendapat suara sedikit dan hanya mendukung saat Pilpres lalu. Akhirnya permintaan itu terwujud. PDIP ketambahan satu kader di kabinet dan Nasdem telah berkurang satu.
Kompromi politik yang kedua menurut Liando, penempatan Sofjan Djalil sebagai Menteri Perencanaan Nasional dan Kepala Bappenas.
“Sesungguhnya kegagalan tim ekonomi dalam kabinet harusnya yang bertanggung jawab adalah Sofjan Djalil. Tapi ironisnya tim ekonomi lain diganti tapi yang bersangkutan tidak diganti malah mendapat jabatan strategis. Sofyan Djalil tetap bertahan kemungkinan hasil kompromi politik dengan Jusuf Kalla. Sofjan Djalil adalah kerabat dekat Jusuf Kalla”, tutur Liando.
Ketiga, lanjut akademisi Unsrat ini, penempatan Luhut Pantjaitan sebagai Menkophukam merupakan sebuah kompromi balas jasa politik sebab Luhut adalah mantan tim sukses Jokowi.
Berdasarkan pandangan inilah, ia menyatakan keraguannya atas keberhasilan reshuffle kabinet ini.
“Jika kompromi politik lebih dominan ketimbang memperbaiki kinerja kementerian, maka saya ragu apakah perombakan ini bisa berhasil”, tandasnya. (srisuryapertama)