Setiap tahun di bulan Desember kita mengingat dan merayakan dua hari yang istimewa bagi kehidupan manusia pada umumnya dan bagi kaum perempuan pada khususnya yaitu Hari Ibu pada tanggal 22 dan Hari Natal Yesus Kristus pada tanggal 25.
Penentuan tanggal yang bersamaan di bulan Desember ini tidak ada hubungan satu dengan yang lain. Sebagai seorang perempuan yang berteologi dalam konteks, saya coba menyandingkannya dan menghubungkannya.
Dua nama yang menjadi judul refleksi ini sangat populer bagi umat Kristen, ya bagi hidup bergereja selama ini. Ada beragam pandang dalam gereja-gereja tentang siapa dan bagaimana perempuan dan laki-laki.
Dasar pandang gereja-gereja semestinya adalah perempuan/ibu dan laki/ayah dicipta oleh Tuhan Allah ‘segambar dengan Dia’ (Latin : Imago Dei).
Namun dalam kenyataan, ada yang memosisikan perempuan yang diperankan oleh Hawa sebagai penyebab kejatuhan manusia dalam dosa. Perempuan dipandang sebagai penggoda. Penampilan perempuan selalu dikaitkan dengan pandangan sebagai penggoda.
Akibatnya ada banyak aturan yang dibangun untuk membatasi penampilan perempuan a.l. kita ingat lahirnya UU Anti Pornografi.
Banyak pula orang Kristen/warga gereja menyetujuinya dengan alasan pandangan di atas. Di kalangan GMIM, kaum ibu dan kaum lanjut usia, sering mengadakan lomba busana gereja.
Bagi saya, di belakang ide itu tersirat upaya untuk mengatur penampilan perempuan. Untunglah hasil lomba-lomba itu hanya berhenti sampai di situ, tidak sampai menjadi peraturan pakaian beribadah.
Artinya lomba itu mubazir, tidak berguna karena memang tidak harus diadakan, tidak ada dasar teologis apapun mengadakannya.
Ada pula pandangan yang mengatakan bahwa perempuan adalah pembantu laki-laki sebagaimana layaknya hubungan atasan dan bawahan atau antara tuan dan hamba. Perempuan masih dilihat sebagai pelengkap penderita. Perempuan belum sepenuhnya dihidupi sebagai bagian integral dan utuh dalam kemanusiaan sebagai Imago Dei itu.
Pandangan-pandangan di atas antara lain yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Saya teringat khotbah seorang teman pendeta laki-laki dalam ibadah menyambut natal wanita/kaum ibu beberapa waktu yang lalu. Beliau menghubungkan nama Hawa dengan ‘hawa nafsu’.
Saat itu saya merasa tidak nyaman mendengar khotbahnya. Untunglah saya didaulat untuk membawakan pesan Natal saat selesai ibadah itu.
Saya bersyukur mendapat kesempatan untuk meluruskan arti nama Hawa. Dalam pesan ini saya mengatakan a.l. bahwa nama Hawa berarti ibu dari semua yang hidup, tidak ada kaitan dengan hawa nafsu…
Ada banyak isteri yang mengalami kekerasan oleh suaminya. Ada banyak anak perempuan yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh orang yang kenal dekat dengannya. Kekerasan ini ada dalam berbagai bentuk seperti seksual, fisik (pemukulan/penganiayaan), psikis dan ekonomi serta pendidikan.
Menurut data tahun 2010 dari Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkap bahwa sepertiga (1/3) dari kekerasan ini adalah kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan, perdagangan untuk tujuan seksual, pelecehan seksual, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman/percobaan perkosaan, kontrol seksual termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama, pemaksaan aborsi, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, pemaksaan perkawinan termasuk kawin paksa dan cerai gantung.
Berdasarkan catatan dari LSM Swara Parangpuan SULUT pada tahun 2011, KDRT (yang korban adalah isteri) terjadi dalam bentuk kekerasan fisik atau penganiayaan (47%), kekerasan psikis (24%) dan kekerasan ekonomi (29%).
Kaum perempuan menjadi korban HIV/AIDS yang ditularkan oleh laki-laki/suami yang berakibat pada kesehatan ibu dan anak-anak. Perempuan diperjualbelikan (trafficking) menjadi pelacur.
Pendek kata, perempuan yang kemudian menjadi ibu dari semua yang hidup tidak dapat mengaktualisasikan dirinya dengan baik dan benar menurut kehendak Penciptanya.
Mengapa hal-hal di atas terjadi ? Paham patriarkhat (bapa/laki-laki sebagai yang menentukan) dan adrosentrisme (laki-laki menjadi pusat) masih memengaruhi cara pandang, cara pikir, cara berlaku/prilaku, cara bicara baik laki-laki maupun perempuan itu sendiri.
Pada kesempatan yang khusus ini, dalam merayakan Hari Ibu (secara nasional) dan Hari Natal (secara universal dalam kekristenan), saya ingin memberi beberapa pokok pikiran teologis yaitu :
1. Kaum perempuan dan kaum ibu sama berartinya dengan kaum laki-laki dan kaum bapak dalam melanjutkan kehidupan dari generasi ke generasi. Keduanya adalah penolong yang sepadan, setingkat dan semartabat. Keduanya ‘ezer satu bagi yang lain. Keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang setara, sederajat. Generasi baru yang berkualitas akan turut ditentukan oleh kesehatan dan pendidikan dari kaum perempuan/ibu. Sebab bukankah selama kurang lebih 9 bulan, kehidupan seseorang dibentuk dalam kandungan ibu?
2. Hari Ibu adalah hari khusus untuk mengingat hakikat dan peran para ibu agar para ibu terus ingat hakikatnya sebagai ibu dari semua yang hidup. Kandungan adalah tempat mengingat masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang dari semua yang merindukan kehidupan yang berkualitas atau bermutu baik. Kaum ibu harus terus berjuang untuk mengambil peran yang setara dengan kaum bapak dalam keluarga dan bangsa. Sekaligus mengingatkan anak-anak perempuan dan laki-laki (yang kemudian menjadi dewasa dan menjadi ibu dan bapak/ayah) yang dilahirkannya bahwa ia ada/hidup karena ada ibu. Menghormati ibu berarti menolak melakukan kekerasan dalam bentuk apapun terhadapnya dengan alasan apapun juga. Kekerasan harus ditolak sebagai perbuatan dosa terhadap kemanusiaan perempuan (ibu dan anak perempuan). Hanya orang yang tidak menghargai kehidupan sebagai pemberian Allah Pencipta yang tega melakukan perbuatan dosa ini. Mari kita rayakan Hari Ibu dengan meluruskan pandangan yang bengkok, menghormati keibuan para ibu yang bermartabat.
3. Hari Natal adalah hari bersejarah bagi semua orang dan hari khusus bagi kaum perempuan/ibu. Sebab kandungan yang dalam cerita kejatuhan manusia dalam dosa (Kejadian 3) mendapat hukuman, ternyata dalam cerita Natal Yesus, kandungan (melalui Maria) diberkati. Maria mengandung dan melahirkan seorang anak yang diberi nama Yesus sebagai Juruselamat dunia yang kedatangan-Nya telah dinubuatkan oleh para nabi sebelumnya. Berbahagialah semua ibu yang mengandung dan melahirkan anak-anak. Hai ibu-ibu : bertanggungjawablah atas kehidupan anak-anak yang kau lahirkan. Jangan sampai keguguran atau digugurkan atau jangan dibuang di tempat sampah. Cinta-kasih dari kaum laki-laki/suami/bapak terhadap ibu yang mengandung adalah tanda kesiapan turut bertanggungjawab mengasihi, memelihara, merawat dan memperkembangkan kehidupan pemberian-Nya.
4. Kaum ibu dalam keluarga yang mengelola keuangan keluarga. Mengelola keuangan keluarga adalah salah satu bentuk menghargai kehidupan. Kesehatan serta pendidikan anak-anak menjadi prioritas penggunaan keuangan keluarga. Hiduplah hemat sesuai kebutuhan bukan sesuai keinginan. Bagi yang berkelebihan, hal berbagi dengan sukacita menjadi salah satu tanda solidaritas dengan mereka yang berkekurangan. Yesus yang lahir dari keluarga sederhana, dan lahir di tempat yang sederhana, seyogianya menjadi spirit keugaharian kita dengan hidup sederhana dan berbagi.
Mari rayakan dalam hidup kita setiap hari dua sosok ini:
HAWA: Ibu dari semua yang hidup.
MARIA: Ibu dari Dia, Imanuel.
Selamat Hari Ibu, 22 Desember 2018
dan
Selamat Hari Natal Yesus Kristus, 25 Desember 2018
Penulis: Pdt. Dr. Karolina Augustien Kaunang
Dosen Fakultas Teologi UKIT