JAKARTA – Musyawarah Nasional ke-6 Generasi Penerus Pejuang Merah Putih (GPPMP) menandai rangkaian Peringatan 69 Tahun Peristiwa Heroik ‘Merah Putih’ 1946 di Jakarta.
Rangkaian kegiatannya berawal dengan “Aksi Jalan Sehat ‘Merah Putih’ di kawasan ‘car free day’ Bundaran HI-Silang Monas.
Kegiatan ini diwarnai pula dengan meneriakkan yel-yel dan menyanyikan lagu-lagu nasional serta memperagakan tarian ‘poco-poco’, diikuti sejumlah perkumpulan dan komunitas asal Sulawesi Utara maupun Jabodetabek.
Selanjutnya, Apel & Ziarah di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan, dengan Inspektur Upacara Brigjen TNI Pur Douglas Umboh, MARS, mantan Direktur RSPAD ‘Gatot Subroto’ Jakarta.
Kegiatan ini diikuti sejumlah kelompok dan komunitas pejuang, termasuk kalangan mahasiswa dari Sekolah Tinggi Maritim (Stimar) ‘AMI’ Pulomas, Sekolah Tinggi Theologia (STT) Ikat Rempoa, STT ‘Ekumeni’ Jakarta, juga organisasi-organisasi massa maupun kepemudaan semisal Garda Manguni Jabodetabek, Angkatan Muda Merah Putih (AMMP) Sulawesi Utara (Sulut), KNPI Sulut, delegasi GPPMP sejumlah daerah, juga tokoh-tokoh serta keluarga pelaku sejarah.
Sementara itu, kegiatan berikut berupa “Diskusi Kebangsaan”, menampilkan tiga nara sumber, yakni Theo L Sambuaga/Presdir Lippo Group (Dimensi Demokrasi Politik, Hubungan Internasional & Kesiapan SDM Hadapi Percaturan Ekonomi Global), Ivan Sarundajang/Wabup Minahasa (Dimensi Kepemudaan dan Penguatan Pemerintahan) dan Ny Mieke Selfie Sangian/Kepala Inspektorat atau Irtama BKKBN Pusat (Dimensi Generasi Berencana dan Bonus Demografi Indonesia).
Pengakuan internasional
Dalam diskusi maupun sidang-sidang Munas GPPMP terangkat fakta sejarah, “Peristiwa Bendera” yang juga dikenal dengan “Pemberontakan Militer Tanpa Pertumpahan Darah” di Tangsi Militer KNIL Teling, sebagai momentum strategis bagi munculnya pengakuan internasional atas NKRI sebagaimana diproklamasikan oleh Bung Karno.
“Pasalnya, sebelum itu, provokasi Belanda di berbagai forum dunia, terutama di Sidang Umum dan Dewan Keamanan PBB, bahwa perjuangan kemerdekaan di Indonesia hanyalah terjadi di Jawa dan dilakukan oleh sekelompok separatis dan ekstremis. Dengan terungkapnya ‘Peristiwa erah Putih’ di Manado yang kemudian tersebar luas melalui Radio Australia dan Inggris, menjadikan posisi tawar kita semakin kuat, dan melalui Dubes LN Palar di PBB, dibuktikanlah perjuangan mengakhiri penjajahan itu juga terjadi di berbagai pulau di Indonesia, termasuk di Manado, Provinsi Sulawesi Utara,” papar Theo Sambuaga.
Pengakuan internasional pun muncul, dan Kerajaan Belanda yang masih mencoba untuk mengulur waktu lewat berbagai perundingan, akhirnya harus rela menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia pada Desember 1949, demikian Theo Sambuaga yang pernah menjadi Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) serta Ketua Komisi I DPR RI, lalu Presiden Komisi Perdamaian dan Perlucutan Senjata ‘Inter-Parliamentary Union’ (IPU, atau DPR se-Dunia), kemudian dua kali jadi menteri.
Setidaknya ada beberapa tokoh penting di balik “Peristiwa Merah Putih” di Manado, di antaranya BW Lapian dan Ch Ch Taulu (sektor sipil dan politisi), lalu Mais Wuisan dkk (sektor militer). “Karenanya, melihat posisi aksi 14 Februari 1946 itu dalam konteks memperjuangkan kemerdekaan RI, wajar jika Bapak BW Lapian dkk diusulkan sebagai Pahlawan Nasional,” katanya lagi.
Diketahui Peristiwa heroik ‘Merah Putih’ atau yang sempat populer dengan istilah “Peristiwa Bendera” pada tanggal 14 Februari 1946 di Manado, Sulawesi Utara, merupakan satu dari “10 Tapak Perjuangan Kebangsaan Indonesia” dalam merebut serta mempertahankan Kemerdekaan Republik Indoesia sebagaimana diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. (Ads)