Pilar Demokrasi
Hasil Kerjasama Beritamanado dengan KBR68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Jakarta– Pesta Demokrasi di tanah air sebentar lagi dihelat. Seluruh calon presiden dari pelbagai partai politik mulai berkampanye, baik sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Kampanye yang paling sering disuarakan adalah soal kemiskinan, pengangguran, perempuan, dan kesehatan. Isu-isu itu dinilai yang akan menjadi komoditas politik , karena bersentuhan langsung dengan persoalan yang dihadapi masyarakat umumnya. Tapi bagaimana mereka merealisasikan janji janji itu? Apa yang bisa mengikat mereka? Bagaimana pula menagih janji mereka?
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta membenarkan, jika saat ini partai politik dan calon legislatif sudah diperbolehkan berkampanye. Anggota Bawaslu DKI Jakarta,Muhammad Djufri mengatakan, sesuai aturan KPU Pusat, kampanye parpol boleh dilakukan semenjak parpol ditetapkan menjadi peserta Pemilu 2014.
“Meski diperbolehkan berkampanye, KPU juga telah mengeluarkan aturan soal kampanye. Yakni dengan sistem zonasi. Untuk Jakarta, masing-masing parpol dan caleg hanya diperbolehkan memasang spanduk atau baliho masing-masing satu di setiap RW. Zonasi ini ditentukan oleh KPUD dan Pemda, “ tegasnya.
Maraknya kampanye parpol dan caleg juga mendapat respon dari Urban Poor Concortium atau Konsorsium Kemiskinan Kota. Koordinator organisasi itu, Edi Saidi turut membenarkan, jika saat ini calon legislatif (caleg) dan partai politik (parpol) sudah mulai masuk ke kampung-kampung untuk memperkenalkan diri. Caranya dengan mengajak makan bersama, menyerap aspirasi masyarakat, dan banyak cara lain.
“Cara ini mungkin masih bisa dilakukan untuk menaklukkan pemilih yang masih pragmatis. Namun, bagi yang sudah punya pilihan sendiri, cara seperti ini tidak akan berhasil, “ jelas Edi Saidi dalam Perbincangan Pilar Demokrasi KBR68H dan Tempo TV, Senin (07/10).
Menurut Edi, momen pemilu adalah saat untuk menggunakan kekuatan rakyat sebagai ‘alat’ untuk mengikat janji dengan peserta pemilu. Karena, selama ini suara rakyat sering dinilai dengan harga murah, semisal dengan kaos, sembako, atau beberapa ribu uang.
“Hal itu harusnya sudah mulai ditinggalkan, dan diganti dengan kontrak politik. Agar suara rakyat tidak dihargai dengan murah, serta kita mendapat hak kita sebagai pemilih, dan warga. Contohnya bisa ditukar dengan jaminan kesehatan saat terpilih, atau pendidikan gratis. Hal itu jelas lebih bermakna ke depannya, “ jelas pria berkumis, ini.
Kontrak politik, jelas Edi, mudah dilakukan, tapi tak semua parpol mau. Ada juga yang mau karena bertujuan untuk merebut suara, ada juga yang benar-benar serius. Contohnya saat pilkada di Jakarta, beberapa waktu lalu.
“Dalam Pilkada Jakarta lalu, kita menyepakati tiga kontrak politik dengan Jokowi saat itu. Tiga isu itu antara lain, soal hak atas tanah, dua, pelibatan masyarakat dalam penyusunan APBD, dan ketiga, pelibatan warga dalam penyusunan Rencana Tata Rang dan Wilayah (RT/RW). Tiga hal ini sudah disepakati oleh Jokowi, “ ungkapnya.
Untuk bisa melakukan kontrak politik, kata Edi, harus ada suara signifikan yang dikumpulkan. Tanpa ini, jelasnya, kontrak politik sukar untuk dilakukan. “Parpol butuh suara. Jika kita menyediakan suara dengan syarat tertentu, tentu mereka mau. Ini syarat mutlak jika ingin kontrak politik.”
Anggota Bawaslu DKI Jakarta,Muhammad Djufri menilai, kontrak politik baik untuk dilakukan, dan tidak ada aturan yang melarang, asalkan tidak melanggar undang-undang.
“Ini salah satu cara efektif yang ada saat ini, agar masyarakat tidak mudah tertipu. Meski tak selamanya juga berjalan baik, karena ada beberapa kepala daerah di wilayah tertentu yang tidak menjalankannya saat sudah terpilih. Tapi, banyak juga yang menjalankannya, meski masih belum sempurna. Janji yang biasa disepakati dalam kontrak politik adalah pendidikan gratis, dan kesehatan gratis, “ ujarnya.
Koordinator Konsorsium Kemiskinan Kota, Edi Saidi membenarkan, jika ada beberapa kepala daerah yang tak menaati kontrak politik, meski telah terpilih.
“ Di Makassar misalnya, yang masih sulit dipenuhi adalah soal kepemilikan tanah. Sementara untuk kesehatan, dan pendidikan, aksesnya lebih mudah. Hal itu juga terjadi diJakarta, dan Surabaya. Tapi, dengan kasus dan kondisi yang berbeda, “ tegas pria berkacamata, ini.
Edi menyarankan, agar tidak melakukan kontrak politik dengan caleg, meski hal itu mungkin dilakukan. Ia beralasan, caleg tidak punya keputusan, beda dengan partai politik.
“Jika ingin kontrak politik dengan caleg, minimal kita mengetahui visi misi, dan program kerjanya. Tapi, ini lebih sulit dibanding kontrak politik langsung dengan capres atau kepala daerah.”
Anggota Bawaslu DKI Jakarta, Muhammad Djufri mengaku, banyak cara untuk merebut hati pemilih. Namun, masyarakat harus waspada dengan parpol atau caleg yang hanya mengobral janji, atau hanya memberi uang agar mau memilih caleg atau parpol tertentu.
“Masyarakat sudah pandai sekarang. Tak mudah dibujuk seperti dulu. Namun, cara-cara obral janji, dan memberi agar memilih harus tetap diwapadai. Untuk hal satu ini, kami siap menindak jika ada laporan, atau bukti yang menunjukkan adanya money politic, karena ini merupakan pidana pemilu dengan sanksi pidana, hingga didiskualifikasi dari kepesertaan, “ tegasnya.
Koordinator Konsorsium Kemiskinan Kota, Edi Saidi menyarankan, masyarakat untuk bisa menggunakan suaranya melalui kontrak politik. Namun, kontrak politik bukan lah akhir dari semua, harus ada pengawasan, dan pengawalan pascakontrak disepakati.
“Banyak isu di sekitar kita yang bisa dijadikan kontrak politik, semisal soal korupsi dan pembangunan. Akan banyak parpol atau caleg yang mau jika mereka serius membela rakyat. “Cara ini, kata Anggota Bawaslu DKI Jakarta, Muhammad Djufri bisa meningkatkan jumlah pemilih pada pemilu 2014, nanti. “Dengan cara ini masyarakat akan lebih semangat dalam memilih, dan membuat masyarakat mengetahui makna suara mereka dengan sebenarnya.” (*)