Oleh: Dirno Kaghoo
BUDAYA – Budaya sangat menentukan bagi kemajuan suatu bangsa. Demikian Huntington sering mengingatkan kita tentang peranan budaya. Budaya yang baik dapat berjalan baik bilamana kita memahami kelahirannya dan terus menerus mengawal sampai akhirnya tujuan kemanusiaan itu bisa dicapai. Fukuyama mengatakan, budaya dapat memajukan manusia sekaligus dapat menghancurkan manusia. Tetapi Van Peursen mengatakan dengan budaya juga kita bisa mengembangkan strategi pembangunan suatu bangsa. Budaya dalam kajian ini merupakan adat yang hidup dan berlaku sebagai pandangan hidup suatu bangsa harus dapat dipetakan sebaik-baiknya pada posisi yang tidak gampang dikontaminasikan oleh kepentingan sesaat yang merugikan kemaslahatan hidup banyak orang.
Khusus tentang adat Sangihe saya mencermati sedang mengalami disorientasi pada dimensi ontologis dan praksis lalu sedang bergerak cenderung menggeser subtansi atau nilai-nilai orisinilnya, akibat “campur tangan berlebihan” dari para penguasa yang duduk dalam struktur pemerintahan modern. Fenomena ini nampak jelas ketika terjadi pengalihan kekuasaan dari bupati lama ke bupati yang baru dan pada saat peran tokoh adat dituntut untuk memberikan gelar adat kepada mereka yang dinilai berprestasi dalam melaksanakan peran-peran sosial di tengah-tengah masyarakat.
Menyongsong penyelenggaraan pesta adat Tulude 31 Januari 2012 nanti, Dewan Adat Sangihe merencanakan hendak memberikan gelar adat kepada saudara Olly Dondokambey, Yasti Supredjo Mokoagow, Vanda Sarundajang dan Syarief Hasan. Beberapa wartawan meminta pendapat dari saya terkait dengan hal menjernihkan persoalan siapa sebenarnya yang berhak menerima gelar adat.
Mari kita perhatikan dengan seksama, bahwasanya budaya Sangihe berbentuk dua muka, yaitu: egaliter dan hierarkis. Budaya egaliter dianut oleh mereka yang membentuk kehidupannya di laut dan kedua adalah mereka yang membentuk kehidupannya di darat. Para pemimpin dan masyarakat laut memiliki perilaku yang bercorak terbuka sebaliknya pemimpin dan masyarakat yang hidupnya bergantung dari tanah memiliki corak hidup yang hierarkis tertutup. Implikasinya adalah masyarakat laut lebih bersifat progresif sedangkan masyarakat daratan lebih bersifat konservatif. Pelaut menginginkan perubahan pola yang benar-benar baru dengan pendekatan yang revolusioner, sedangkan masyarakat darat cenderung mempertahankan pola lama dengan pendekatan yang evolusioner. Kondisi ini membuat masyarakat Sangihe senantiasa berada pada dua ranah dalam melakukan perubahan sosial. Bahkan dalam memberikan gelar adat sekalipun, kadang-kadang melenceng dari pertimbangan-pertimbangan atau kriteria adat yang tepat. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa kriteria yang tepat dalam memberikan adat sesuai dengan corak budaya Sangihe?
Saya berpendapat, pertimbangkan dengan sangat teliti tiga elemen berikut ini: Pertama, siapa subjek (pribadi) yang akan diberi gelar adat, kemudian kedua, apa prestasinya (predikat) terkait dengan kemaslahatan hidup banyak orang, dan ketiga adalah apakah subjek itu mampu melaksanakan peranan (predikat)nya dalam ruang dan waktu yang lama?
Ketiga pertanyaan di atas mewakili tiga tingkat kelayakan karakter taumata malunsemahe (manusia) yang dianugerahi gelar adat, sekaligus tiga tingkat prestasi pada tiga media (laut atau air, darat atau gunung dan langit atau udara) serta tiga dimensi waktu (masa lalu, masa kini dan masa depan).
Taumata malunsemahe adalah taumata yang berada pada standar tertinggi tingkat kemanusiaan Sangihe yang ditempuh melalui sederet pengalaman hidup memanusiakan manusia lain (banyak). Perilaku taumata malunsemahe terdiri dari kombinasi 3 perilaku dasar yakni: mateleng, matelang dan mateling. Taumata disebut memiliki watak mateleng apabila di dalam dirinya terdapat sifat diam, rajin dan setia pada pengabdiannya. Taumata disebut matelang apabila kualitas fisik (paduan antara kekuatan dan kerajinan) dan kualitas psikhis (kombinasi kematangan dan ketekunan) menjadi satu.
Taumata disebut mateling apabila kualitas mateleng dan kualitas matelang berpadu dalam keseimbangan. Itulah sebabnya sangat sulit memenuhi kriteria ini dalam mewujudkan Taumata Malunsemahe. Pada umumnya yang dapat diwujudkan adalah Taumata Mateleng dan Taumata Matelang. Oleh sebab itu gelar adat sebaiknya mengacu pada pencapaian tingkatan kemanusiaan Mateleng dan Matelang untuk peraih prestasi yang aktif. Sedangkan prestasi yang diraih oleh Taumata Mateling manakala taumata sudah berada pada kondisi pasif tetapi memiliki kemampuan mateleng dan matelang sekaligus. Taumata Mateleng berhak mendapat reward gelar berupa perunggu, Taumata Matelang berhak mendapat reward perak dan Taumata Mateling berhak mendapat reward emas.
Menjadi sangat bias makna bilamana ternyata taumata yang dianugerahi gelar adat (matelang dan mateling) adalah orang luar yang tidak dikenal oleh bangsanya sendiri dan tidak berprestasi bagi bangsanya sendiri. Oleh sebab itu menurut hemat saya, bercermin dari budaya KITE, maka gelar-gelar adat dapat diberikan kepada:
1. Orang-orang yang berasal dari dalam (Tau Kite) dan orang-orang dari luar (bukan Tau Kite) tetapi aktif membangun bangsa KITE dapat diberikan gelar adat dengan predikat MATELENG. Simbolnya adalah perunggu dan pakaian kebesarannya adalah kain kofo berwarna merah. Inilah simbol dari keagungang Mawendo.
2. Orang-orang dalam (Tau Kite) yang aktif membangun bangsa KITE berhak mendapatkan gelar adat dengan predikat MATELANG. Simbolnya adalah perak dengan pakaian kebesaran adalah kain kofo berwarna putih. Inilah simbol dari keagungan Aditinggi.
3. Orang-orang dalam (Tau Kite) yang tidak aktif membangun tetapi sudah mendapatkan kedua gelar (Mateleng dan Matelang) semasa pengabdiannya dan sampai pada usia yang tidak produktif secara fisik, tetapi masih membuat karya-karya intelektual untuk kemaslahatan bangsa, kepada merekalah pantas mendapatkan predikat sebagai MATELING. Simbolnya adalah emas dengan pakaian kebesaran kain kofo berwarna kuning. Inilah simbol keagungan Genggona Langi.
Mengenai bidang gelarnya akan ditambahkan pada ketiga predikat yang disandang. Misalnya: Mateleng U Wanua, Matelang U Wanua dan Mateling U Wanua.(*)