Manado – Komunitas Pers Manado (KPM), Sabtu (4/3//16) menggelar diskusi terbuka bertema Timur Indonesia Menggungat dengan menghadirkan salah satu anggota DPD RI perwakilan Sulut yakni Benny Ramdhani.
Dalam diskusi tersebut, Ramdhani membeberkan alasan sejumlah senator asal Indonesia membentuk forum Timur Indonesia Menggugat tersebut. Secara tegas, senator yang terkenal kritis ini secara terbuka menjelaskan ketimpangan yang terjadi sehingga kawasan Indonesia Timur (Intim) menjadi anak tiri di negaranya sendiri.
“Problem Keindonesiaan sangat serius untuk disikapi terutama dari kawasan timur Indonesia. Sehingga 17 senator dari Intim membentuk kaukus Timur Indonesia Menggugat dengan koordinatornya Nono Saporno, senator asal Maluku,” ungkap Ramdhani.
Ditegaskannya, tujuan dari pergerakan tersebut sebagai bentuk sikap protes kepada pemerintah pusat dikarenakan wilayah timur adalah wilayah yang bukan saja diabaikan.
“Sudah ada pembiaran selama 70 tahun saat negara berdiri, negara tidak sungguh-sungguh mengatur kawasan timur, sebagimana di barat. Karena adanya diskriminatif sehinga bermunculan RMS (Maluku) dan OPM. Dengan adanya Timur Indonesia Mengguat ini, bukan berarti kesetiaan pada NKRI berubah. Tapi langkah ini untuk memaksa negara lebih memperhatikan timur, karena fakta Indonesia timur memang banyak diabaikan.
Bandingkan timur dan barat, menyedihkan. kenapa tertinggal? karena rezim sebelumya lebih Jakarta sentris dalam kebijakan, ekonomi, pembangunan dan politik,” tegasnya.
Dijelaskannya, ketimpangan dan ketidakadilan sangat terlihat pada APBN 2.092 triliun yang sejak dulu 70 persen dialokasikan ke kawasan Indonesia bagian barat dan 30 persennya di timur. Kenapa demikian, kata Ramdhani, karena komposisi DPR RI yang merupakan lembaga tinggi negara yang dapat mandat dari konstitusi, 68 persen dari Barat.
“Gorontalo hanya 3 perwakilan di DPR RI, Maluku hanya 3, Sulut hanya 6. Kalah jauh dari Jatim, Jabar masing-masin 100 kursi dan jakata hampir 80. Kenapa DPR RI lebih memperjuangkan wilayah barat, karena mereka (anggota DPR RI) disumpah untuk berjuang untuk Dapilnya. Ini konsekwensi bagaimana nasional jadi diskriminatif muncul. Anggaran diatur oleh DPRRI dan pemerintah. Sistem politik tidak menguntungkan karena perwakilan di DPR RI ditentukan oleh jumlah penduduk dan variabel penggunaan anggaran baik DAK DAU semuanya memapaki variabel jumlah penduduk, tentu saja kalah. Sulut hanya 2 juta, dibandingkan Bandung yang lebih dari tiga juta,” ungkapnya.
Ia pun berharap, dengan adanya sikap para senator perwakilan Intim dan mendapat dukungan masyarakata lewat pembaharuan mental untuk berani menyuarakan ketimpangan dan ketidakadilan dari pemerintah pusat, dapat melahirkan kebijakan baru untuk mempreoritaskan kawasan Intim.
“Kami adalah wilayah yang kaya raya, tetapi kekayaan kami dirampok untuk membiayai kalian (Barat) sedangkan mereka tidak pernah dirampok negara untuk membiayai kawasan timur. Kita harus punya cara abnormal untuk melawan, dalam bentuk bunyi-bunyian politik untuk menekan Jakarta dan negara menyiapkan meja perundingan. Karena tidak ada perdamaian tanpa peperangan. Masih untung kalau semua berani bicara. Ketimpangan dan ketidakadilan ini harus kita lawan bersama, agar negara ini memperhatiakan kita,” seru mantan anggota DPRD Sulut tiga periode ini. (leriandokambey)