Ratahan – Kinerja dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Mitra terus disoroti oleh sejumlah warga. Pasalnya, warga merasa ditipu dalam hal ini pembuatan sertifikat tanah melalui Program Nasional (Prona).
“Sesuai aturannya tidak dipungut biaya atau gratis. Namun yang terjadi saat ini baik pihak BPN termasuk oknum tertentu seperti calo justru memungut biaya kepada warga sebesar 500 hingga 750 ribu,” beber warga Desa Rasi yang meminta namanya tidak ditulis.
Diungkapkan dia, saat melakukan pengukuran tanah untuk pembuatan sertifikat Prona oleh petugas BPN, dirinya dimintakan sejumlah uang untuk memuluskan proses tersebut.
“Saya menduga ada permainan atau ‘main mata’ antara pihak BPN dan oknum calo yang melakukan pemerasan kepada warga yang memperoleh Prona,” kata Hukum Tua Rasi Satu Roy Wondal.
Dikatakan dia, ada seorang calo yang pernah meminta untuk ketemu dengannya. Dimana yang bersangkutan mengaku telah melakukan pembayaran kepada pihak BPN dalam hal ini kepala kantor. Menurut calo tersebut, dirinya telah membayar terlebih dahulu ke kepala BPN, kemudian nantinya dia yang akan tagih kepada warga,” ungkap Wondal mengutip apa yang disampaikan oknum calo itu.
Parahnya lagi kata dia, pengurusan tersebut sudah dilakukan selama tiga tahun hingga saat ini. Namun baru sebagian warga yang telah menerima sertifikat tersebut.
“Dari sekitar 50-an warga yang melakukan pengurusan sertifikat Prona, masih ada 20-an yang belum menerima sertifikat. Padahal, warga mengaku telah melakukan pembayaran Rp500 ribu hingga Rp700 ribu kepada oknum tersebut. Anehnya lagi, oknum calo tersebut beralasan ingin meminta ganti rugi kepada pihak BPN baru akan memberikan sertifikat kepada warga yang sudah ada pada dirinya,” ujar Wondal.
Dia juga mengakui, para hukum tua menjadi trauma dengan pengurusan sertifikat Prona. “Kami sangat kecewa dan merasa trauma akan hal ini,” tukasnya.
Kepala BPN Mitra Remilin Sunirat sendiri membantah melakukan pungutan liar (Pungli) pengurusan sertifikat Prona tersebut. “Pihak kami tidak pernah melakukan Pungli. Kalau ada berarti pihak pemerintah desa yang melakukannya. Apalagi kalau tidak ada bukti secara tertulis atau kwitansi yang dilakukan pihak BPN maupun oknum tertentu,” tegasnya.
Meski demikian, dia juga mengakui kalau di Kabupaten Mitra baru 30 persen warga yang memiliki sertifikat. Sedangkan 70 persennya belum ada sertifikat tanah. “Hal itu terjadi karena pihak pemerintah desa yang lambat memasukan berkas-berkas kepada kami,” tutur Sunirat yang beberapa hari lalu sempat mengusir sejumlah wartawan yang akan melakukan konfirmasi terkait hal ini. (rulandsandag)