Manado — Pesan pastoral Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang berbicara soal kaum Lesbian, Gay, Banci, Transgender (LGBT) memicu kontroversi. Banyak yang tidak setuju, tapi banyak juga yang menerima. Namun menyamakan sudut pandang soal komunitas ini tetap dilakukan berbagai pihak, termasuk kalangan pendeta perempuan yang tergabung dalam Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi atau Peruati.
Ketua Badan Pengurus Nasional (BPN) Peruati, Pdt Ruth Ketsia Wangkai MTh, mengatakan temu dan tatap muka menggalang sikap bersama untuk tidak mendiskriminasi kaum LGBT sering digulir pihaknya. Kegiatan semacam itu mempertemukan teolog perempuan dari berbagai sinode gereja dan kelompok LGBT sendiri. Dalam pertemuan, Pdt Ruth bisa merasakan penolakan yang terjadi akibat stigma dosa. Namun semuanya jadi berbeda ketika para teolog mendengar testimoni.
“Saat teman-teman LGBT memberi testimoni soal penindasan yang mereka alami, banyak (pendeta) yang tersentuh hatinya dan kemudian dari awalnya menolak akhirnya mengalami pertobatan,” kata Ruth saat menjadi narasumber dalam diskusi grup terfokus bertajuk “Menyatukan Persepsi dan Interpretasi Seputar LGBT” yang bergulir di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado, Kamis (01/07/2016).
Dia mendorong penyatuan persepsi soal apa dan siapa LGBT perlu dilakukan terpadu dan tidak keliru. Metode-metode testimoni diyakini bisa lebih efektif dibanding penjelasan terstruktur. Menurutnya surat pastoral PGI telah membawa kesejukan dalam lingkup penolakan bombastis terhadap kaum LGBT. Gereja bereaksi keras lewat para pendeta yang menjadi corong di tengah jemaat. Secara teologis surat itu menjadi prespektif alternatif mengimbangi sudut pandang konvensional dalam konteks kekhawatiran atas penghakiman.
“Menggunakan ayat Firman Tuhan untuk melanggengkan penindasan terhadap teman-teman LGBT harus dihindari, perlu ada pemahaman bahwa firman yang hidup sesungguhnya adalah Kristus yang datang ke dunia membawa pembebasan,” cetus dia.
Akademisi Kristen Denni Pinontoan MTeol yang jadi narasumber lainnya membenarkan ayat-ayat Alkitab yang dicerna secara hurufiah seperti jadi moncong senapan yang ditodongkan pada kaum LGBT.
“Ada persoalan di tengah jemaat dalam memahami dan menafsir Alkitab, kecenderungan ayat-ayat tertentu dicaplok untuk menghakimi LGBT, padahal Alkitab harus diperlakukan bukan sebagai buku teks biologi,” kata salah satu tokoh Mawale Movement itu.
Sekretaris AJI Manado Fernando Lumowa menyesalkan sikap masyarakat dan tokoh-tokoh gereja menyikapi keberadaan LGBT. Dia mengaku ikut terdiskriminasi oleh beberapa pihak karena menunjukkan keberpihakan pada komunitas.
Kegiatan itu dihadiri oleh lintas organisasi komunitas LGBT di Sulawesi Utara. Coco Jericho sebagai salah satu pimpinan komunitas mengatakan hasil diskusi-diskusi yang dilaksanakan di Bitung, Manado kemudian Tomohon akan dibukukan. Ini dimaksud untuk mendorong wawasan awam terhadap eksistensi kaum LGBT. (***/rds)