MANADO – Anggapan banyak orang bahwa orang cacat terbatas pada eksploitasi bakat ternyata tidaklah benar. Buktinya, Danny Rafael Patinama, seorang penyandang cacat tunanetra memiliki potensi dan bakat luar biasa di bidang seni musik. Tak tanggung-tanggung, berbagai penghargaan berskala nasional pernah disabet pemuda kelahiran 30 Desember 1992 ini. Menariknya, beberapa penghargaan diantaranya diraih pada kategori umum.
Kepada beritamanado, Danny menceritakan awal mula dirinya mengalami kehilangan penglihatan. “Sebenarnya saya mengalami kebutaan akibat malla praktik saat saya sudah kelas 3 sekolah dasar. Mata kiri saya mengalami gangguan penglihatan sehingga diputuskan untuk dioperasi. Tapi anehnya dokter yang menangani saya mengangkat mata kanan saya yang sebenarnya normal, akhirnya kedua mata saya menjadi buta,” tuturnya dengan nada tegar.
Dikisahkannya, operasi mata kala itu dilakukan di salah-satu rumah-sakit ternama di daerah ini. Dirinya sempat shock dan mengalami degradasi mental. “Beruntung saya cepat bangkit karena saya merasa masih memiliki Yesus Kristus sebagai lentera hati saya,” ujarnya.
Berbagai penghargaan lokal bahkan berskala nasional yang pernah diraihnya dalam bidang seni musik diantaranya, pianis terbaik kedua dan juara pertama kategori gospel tingkat nasional pada tahun 2006. Tahun 2009 juara empat master piano dan juara dua gitar akuistik. Tahun 2010 juara satu gitar akuistik. Menariknya semua penghargaan ini diraih pada kategori umum. Bahkan pada bulan Juli lalu, siswa SMU Kristen Diakonia ini menjadi duta anak cacat Sulut sebagai pembawa materi dengan judul “Motivasi Diri untuk Anak Cacat” di Jakarta.
Meski telah mencatatkan dirinya sebagai pemusik handal, namun putera kelahiran Ambon ini memiliki cita-cita mulia ingin menjadi seorang guru. “Cita-cita saya menjadi guru atau broadcaster, penyiar radio,” tukas pelatih Sanggar Bartimeus Malalayang ini.
Akhirnya, Danny berpesan kepada generasi muda utamanya pemuda-pemudi gereja untuk terus berkarya dan menjadi teladan bagi semua orang. Sesungguhnya keterbatasan fisik, menurutnya, tidaklah menjadi alasan menghalangi kita berkreasi. Minimal melakukan sesuatu yang berarti sesuai talenta masing-masing.
“Kita harus bisa merasakan bukan merasa bisa, kita harus tahu merasa bukan merasa tahu, dan kita harus pandai merasa bukan merasa pandai,” pungkasnya berfilosofi. (jry)
”