BITUNG—Ancaman para pengusaha container, pengusaha angkutan, sopir dan buruh di Pelabuhan Peti Kemas Kota Bitung untuk menghentikan aktivitas jika surat nomor B/2974/XI/2011/Dirlantas tanggal 24/11/2011 tentang pembatasan operasi bagi kendaraan angkutan peti kemas benar-benar dibuktikan. Dimana Kamis (8/12) pagi, aktifitas di Terminal Peti Kemas Kota Bitung lumpuh total karena para pengusaha container, pengusaha angkutan, sopir dan buruh melakukan aksi mogok.
Aksi mogok ini sendiri merupakan lanjutan dari aksi demo Rabu (7/12) lalu dengan cara memarkir kendaraan sepanjang jalan protokol Kota Bitung, tepatnya di Kelurahan Paceda hingga Kelurahan Wangurer Timur dengan harapan kebijakan Polda Sulut membatasi jam operasi kendaraan container dikaji kembali. “Terus terang saat ini kami hanya memikirkan nasib para sopir dan buruh, karena semenjak kebijakan tersebut diberlakukan pendapatan mereka dalam sehari berkurang bahkan boleh dikatakan hanya cukup untuk makan sekali, belum termasuk anak dan istri mereka di rumah,” kata Katua DPC Asosiasi Logistik da Forwarder Indonesia (ALFI-ILFA) Kota Bitung, Syam Panai, Kamis (8/12).
Apalagi menurutnya, saat ini para sopir dan buruh sepakat untuk mogok karena apa yang mereka tuntut tidak mendapat tanggapan dari pihak Polda apalagi Gubernur. Dan saat ini mereka hanya berkumpul dalam kompelks pelabuhan tidak tahu harus bekerja apa karena tidak proses bongkar muat barang.
“Mereka berharap kebijakan pembatasan jam angkuatn container bisa dikaji kembali, karena saat ini mereka hanya bisa melayani angkutan satu kali dalam sehari, itupun nanti dimalam hari. Padahal hari-hari biasa sebelum ada kebijakan dari Polda, mereka bisa mengakut 2 sampai 3 kali sehari,” katanya.
Sementara itu, menurut salah satu sopir container, Berty Piri aksi mogok ini terapaksa mereka lakukan karena kebijakan Polda Sulut tersebut sagat merugikan pihaknya. Dimana mereka hanya diporbolehkan mengangku disaat pukul 21.00 Wita hingga pukul 6.00 Wita yang jelas hanya menyengsarakan mereka dilapangan.
“Kami berangkat dari Kota Bitung malam hari, tiba di tempat tujuan gudang sudah tutup. Jadi otomatis kami harus memunggu sampai pagi baru muatan dibongkar. Setelah itu menunggu sampai pukul 21.00 Wita baru bisa kembali ke Kota Bitung mengambil muatan, itupun kalau masih sempat,” kata Piri.
Dengan demikian menurut Piri, waktu untuk berkumpul dengan keluarga tidak ada, karena harus bermalam di lokasi bongkar barang. Ditambah lagi uang yang mereka dapatkan tidak sebanding dengan waktu yang terbuang menunggu agar bisa kembali ke Kota Bitung.
“Sudah tidak tidur dengan istri dan anak, uang yang didapatkan juga sangat pas-pasan untuk makan,” katanya.
Disisi lain, Wakil Ketua DPC Organda Kota Bitung, Gunawan Konto mengatakan, saat ini ada sekitar 120 unit armada angkutan yang selama ini beroperasi melayani angkutan kebutuhan ke sejumlah wilayah Sulut. Dimana para sopir ini mulai resah dengan pemberlakuan pembatasan jam operasi kendaraan container karena mengurangi pendapatan mereka.
“Itu baru sopir, belum termasuk kenek dan buruh yang juga mulai resah dengan adanya kebijakan Polda Sulut ini. Karena kebijakan ini tidak hanya berimbas pada pengusaha container atau pengusaha angkuta, tapi juga pada sopir, kenek dan buruh bongkar,” ujar Konto seraya berharap pemerintah bisa memperhatikan dan mengkaji kembali kebijakan tersebut.
Tak hanya para pengusaha container, pengusaha angkutan dan sopir, kenek serta buruh yang mengaku dirugikan. Pihak Pelabuhan Peti Kemas Pelondo IV juga mengaku rugi dengan kebijakan tersebut, apalagi saat ini para sopir dan buruh melakukan aksi mogok.
“Secara angka kita tidak bisa menyebutkan berapa kerugian kita ketika aktifitas bongkar muat di Pelabuhan Peti Kemas terhambat, namun yang jelas kita juga mengalami kerugian,” kata Manger Operasional Termilan Pelabuhan Peti Kemas Pelindo IV Kota Bitung, Saleh.(en)