
Manado, BeritaManado.com — ‘Saling serang’ di media sosial (medsos) ramai saat tahapan kampanye Pemilihan Serentak dimulai.
Di Sulut, sejumlah media sosial digunakan sebagai sarana mempublikasikan keunggulan pasangan calon.
Namun, tidak jarang juga ditemui postingan yang mendiskreditkan calon tertentu.
Dosen Kepemiluan Universitas Sam Ratulangi, Ferry Liando berpendapat kampanye di media sosial memang terbuka namun tetap mengikuti etika yang diatur dalam undang-undang.
Menurut Ferry Liando, jika ada postingan menyerang pribadi calon, itu pertanda masyarakat belum dewasa berpolitik.
Liando menuturkan, sangat keliru jika beda pilihan dianggap sebagai musuh.
“Ini justru anugerah yang harus dihormati. Ciri khas demokrasi adalah perbedaan dalam pilihan. Jangan pernah paksakan pilihan kita kepada pilihan orang lain,” tegasnya.
Ia mengimbau para tim sukses dan pemenangan mengontrol diri.
Jangan sampai terjebak dengan peristiwa yang diskenariokan secara masif dan terstruktur.
“Masyarakat tidak boleh diadu domba hanya karena ingin berkuasa. Bawaslu mesti bertindak tegas pelaku yang diduga melakukan penyerangan antar pihak,” harapnya.
Ferry menegaskan, kinerja bawaslu akan efektif jika masyarakat aktif melapor.
Olehnya kata dia, siapa saja bisa membuat laporan jika ada oknum menghasut, melalukan provokasi, menyebar kebencian dengan pendekatan SARA, hoax dan sebagainya .
“Itu ditegaskan pada Pasal 69 huruf b UU Pilkada yang menyebutkan dalam kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, dan golongan calon kepala daerah dan atau partai politik. Juga Pasal 69 huruf c, melarang kampanye menghasut, memfitnah, dan mengadu domba partai politik, perseorangan, dan atau kelompok masyarakat.
Liando menambahkan, jika kemudian terbukti secara sah melakukan itu, sanksinya diatur dalam Pasal 187 ayat 2.
“Bisa dipidana penjara paling singkat tiga bulan atau paling lama 18 bulan dan atau denda paling sedikit Rp600.000 dan paling banyak Rp6.000.000,” tandasnya.
(Alfrits Semen)