Dukacita dan kesedihan yang saya dan keluarga alami selang setahun terakhir sudah cukup memberikan pengajaran iman. Saya akui sempat larut dalam kesedihan, sampai harus bermalam di makam anak saya selama beberapa hari. Namun saya sadari itu adalah sia-sia. Sebagai orang kristen yang beriman kepada Kristus, saya coba bangkit dari keterpurukan mental. Puji Tuhan, berkat firman Tuhan yang dibaca setiap hari, saya dan kelaurga kini sudah bisa mengikhlaskan kepergian anak kami yang tercinta. Mulai besok, saya dan keluarga akan membuka lembaran hidup yang baru – Novri Mentu
Novri sendiri merupakan orangtua dari salah satu korban keganasan Pantai Kawis yaitu Pingkan Seila Mentu. Bicara soal kesedihan, pegawai salah satu perusahan alat berat ini berada yang terdepan. Bagaimana tidak, pemegang tanggung jawab keselamatan kerja seluruh personil perusahaan tempat ia bekerja itu adalah satu-satunya orangtua yang menyaksikan langsung detik demi detik kesembilan remaja GMIM Sentrum Linigaan Tondano dijemput ajal.
Kepada BeritaManado dalam bincang-bincang eksklusif selama kurang lebih satu jam, Sabtu (24/5/2014) kemarin, ia menuturkan apa yang dialami selang satu tahun terakhir ini. Yang paling terasa adalah perubahan sikap dan tanggung jawab. Dahulu, ayah dua anak itu hanya memegang tanggung jawab sebagai kepala keluarga dan seorang pegawai sebuah perusahaan. Setelah peristiwa memilukan itu, tanggung jawab penggembalaan jemaat pun diperolehnya lewat oraganisasi kategorial kaum bapa tingkat kolom.
Sejak saat itu, Alkitab tak pernah jauh dari sisinya. Baik di rumah, kantor dan mobilnya, kitab suci umat kristen itu selalu mengikuti. Novri sadar bahwa kekuatan dan penghiburan hanya bisa didapat dari firman Tuhan. Alasannya hanya satu, bahwa di dalam buku suci itu terdapat semua janji Tuhan. Selain itu, Alkitab juga mencatat semua peristiwa yang telah, sedang dan akan terjadi di dunia ini. Jadi baginya tidak ada alasan untuk terus bersedih.
Hal tak kalah mengharukan yang diungkapkan Novri bahwa Minggu (25/5/2014) malam ini adalah yang terakhir baginya tidur sendirian di kamar anak sulungnya itu. Setelah itu, semua barang yang menyangkut anaknya itu termasuk ijazah SMA, akan disimpan rapih di suatu tempat sebagai kenangan akan tragedi tersebut. Sambil berharap terus mnedapatkan kekuatan dari Tuhan, Novri menutup perbincangan haru itu dengan perkataan yang penuh optimisme.
“Saya punya hidup dan itu harus tetap berlanjut. Kematian anak saya tidak boleh menghentikan tangan dan kaki saya untuk melakukan bekerja menghidupi bagi isteri, anak dan keluarga dekat. Hidup lebih berharga daripada kematian. Hidup saya harus punya arti untuk orang lain,” tutupnya. (frangkiwullur)