
Kawangkoan, BeritaManado.com — Nama Bernard Wilhelm Lapian yang lahir di Kawangkoan pada 30 Juni 1892 memang sudah dikenal luas di kalangan tokoh pemerhati sejarah dan penerus perjuangan yang masih hidup saat ini.
BW Lapian sendiri merupakan tandem dari Charlis Choesj Taulu (Baca: Charlis Choesj Taulu, Pejuang Merah Putih 14 Februari 1946) saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang sudah dideklarasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945.
Beliau juga ternyata merupakan seorang jurnalis yang melakoni perjuangan dari zaman Hindia Belanda hingga, masa pendudukan Jepang dan setelah proklamasi kemerdekaan
Dikutip dari berbagai sumber, BW Lapian merintis karir pekerjaannya saat berusia 17 di tahun 1909 pada perusahaan pelayaran Belanda KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) selama kurang lebih 20 tahun langsung diatas kapal.
Tahun 1919, BW Lapian mendapatkan kepercayaan sebagai hofmeester dengan tugas utama mengurus logistik kapal yang bermarkas di Batavia (Jakarta saat ini) dan sangat tekun mengirimkan tulisan-tulisan kepada surat kabar Pangkal Kemadjoean dengan inti untuk memerangi kolonialisme Belanda.
Seiring perjalanan waktu, BW Lapian juga akhirnya menerbitkan sebuah surat kabar dengan nama Fadjar Kekadjoean sejak tahun 1924-1928 dengan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan upaya untuk memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia dan setelah itu juga menerbitkan surat kabar lokal di Kawangkoan yaitu Semangat Hidoep pada tahun 1940.
Adapun dari silsilah keluarga, BW Lapian lahir dari pasangan suami isteri Enos Lapian yang merupakan seorang Kepala Sekolah Rakyat (Volksschool) di Kkawangkoan dengan Petronella Getruida Mapaliey.
BW Lapian sendiri masuk pada jenjang sekolah dasar dengan bahasa Belanda (Amurangse School) di Amurang yang berjak kurang lebih 40 kilometer dari Kawangkoan dan seterusnya mengambil program-program khursus hingga mencapai tingkat Sekolah Menengah Pertama (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, MULO).
Ia juga tercatat pernah menjabat sebagai anggota parlemen dalam dua jabatan rangkap, yaitu dalam wilayah lokal (Minahasaraad) dan lainnya untuk seluruh Hindia Belanda (Volksraad) yang bergabung ke dalam Fraksi Nasional pimpinan Mohammad Husni Tamrin di Batavia sejak tahun 1930 – 1942.
Di masa pemerintahan Hindia Belanda juga, dimana semua gereja-gereja Kristen berada dibawah satu institusi Indische Kerk yang dikendalikan pemerintah, BW Lapian dan sejumlah tokoh termasuk Sam Ratulangi dan AA Maramis mengambil langkah untuk mendeklarasikan berdirinya Kerapatan Gereja Protestan di Minahasa (KGPM) di bulan maret 1933.
KGPM sendiri merupakan gereja yang sifatnya mandiri dan tidak berada dibawah pengaruh Belanda, dimana mulanya BW Lapian diangkat menjadi sekretaris dan selanjutnya Ketua KGPM tahun 1938 serta membantu pendirian 16 Sekolah Dasar dan 17 sekolah menengah.
Terlepas dari perjalanan kehidupan sang pahlawan sejak masa kecil hingga menjadi pejuang, ada satu momentum heroik dari BW Lapian yang sepantasnya mendapatkan apresiasi dan perhatian khusus dari masyarakat Kawangkoan sendiri.
Momentum tersebut adalah sewaktu terjadi perebutan kekuasaan di Manado yang dipimpin sang tandem perjuangan Ch Taulu dari kalangan militer dan sahabat seperjuangan dengan menangkap sejumlah perwira KNIL berkebangsaan Belanda pada tanggal 14 Februari 1946, dimana waktu itu dikenang sebagai Peristiwa Patriotik Merah Putih.
Dua hari berselang, BW Lapian yang pada saat itu menjabat sebagai Residen Manado ditunjuk menjadi Kepala Pemerintahan Indonesia di Sulawesi Utara hingga 10 Maret 1946, dimana saat itu Belanda kembali menduduki wilayah yang direbut sebelumnya.
BW Lapian dan sejumlah pejuang lainnya akhirnya ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di Manado dan kemudian dipindahkan ke Cipinang Jakarta tahun 1947 dan Sukamiskin Bandung tahun 1948 serta dibebaskan pada 20 Desember 1949 pasca pelaksanaan Konfrensi Meja Bundar.
Setahun setelah bebas, BW Lapian menjadi Penjabat Gubernur Sulawesi tanggal 17 Agustus 1950 hingga 1 Juli 1951, dimana selama menjabat, BW Lapian mengembangkan daerah yang berada di wilayah Bolaang Mongondow bagi pemnukiman serta pertanian.
Selain itu, BW Lapian juga membangun jalan yang menghubungkan Kotamobagu dengan wilayah Molibagu, membentuk Dewan Perwakilan Daerah di seluruh Sulawesi Utara dan melakukan pemilihan untk yang pertama kali pasca kemerdekaan di wilayah Minahasa tanggal 14 Juni 1951.
Tahun 1958, BW Lapian diberikan penghargaan Bintang Gerilya dan 1976 menerima Bintang Mahaputra Pratama sebelum meninggal dunia pada 5 April 1977 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Oleh Presiden RI Ir. Joko Widodo, BW Lapian dianegrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dalam upacara di Istana Negara tanggal 5 November 2015 dan untuk mengenang jasa dan perjuangan dalam Peristiwa Patriotik Merah Putih 14 Februari 1946 di Manado yang dilakoni BW Lapian dan Ch Taulu, sebuah monumen telah didirikan di Kawangkoan.
(Frangki Wullur)