Dalam rangka mengupayakan percepatan penyelesaian masalah lahan depot TBBM Bitung, Pertamina pada tanggal 15 Juni 2017 telah mengadakan pertemuan dengan ahli waris keluarga Simon Tudus di ruangan CJ Rantung, Kantor Gubernur Sulut.
Menurut Hermawan, VP Asset Operations Direktorat SDM, Teknologi Informasi dan Umum PT Pertamina (Persero) melalui rilis kepada BeritaManado.com, PT Pertamina (Persero) memandang perlu menyelenggarakan pertemuan tersbeut untuk mempercepat penyelesaian ganti rugi lahan depot TBBM Bitung.
Selama ini berkembang isu yang mengesankan bahwa Pertamina tidak serius dalam penyelesaian ganti rugi sehingga kasus ini menjadi berlarut-larut. Hal ini menimbulkan peluang bagi oknum-oknum yang sengaja memancing di air keruh untuk keuntungan pribadi.
Meluruskan isu-isu negatif tersebut, maka Pertamina berinisiatif mengadakan pertemuan bersama pihak ahli waris mengundang seluruh ahli waris Simon Tudus yang berjumlah 124 orang agar permasalahan menjadi jelas, dan penyelesaian ganti rugi lahan cepat selesai.
Kasus ini bermula pada tahun 1979, dalam rangka proyek pengembangan wilayah Indonesia timur, pemerintah pusat telah menugaskan para gubernur dan pemerintah provinsi menyediakan lahan dan Pertamina yang membangun depot BBM.
Dalam perkembangannya, ternyata tugas ini tidak diselesaikan dengan paripurna, terbukti dengan adanya tuntutan ahli waris yang meminta hak ganti rugi.
Menyikapi kondisi tersbeut, Pertamina menginginkan masalah ini segera diselesaikan. Mengingat pemerintah sedang giat-giatnya mendukung pengembangan kawasan timur Indonesia.
Kota Bitung yang merupakan salah-satu pertumbuhan ekonomi, mengharuskan Pertamina sebagai penyedia energi BBM, melakukan upgrading depot Bitung yang saat ini sudah memerlukan banyak perbaikan.
Kerangka penyelesaian lahan TBBM Bitung adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah incraht yang menharuskan Pertamina mengosongkan lahan. Mengingat depot TBBM Bitung merupakan proyek vital nasional, maka secara peraturan dilindungi dan tidak dapat dikosongkan.
Berkenaan hal tersebut maka diselesaikan dengan cara kesepakatan damai (dading), dimana Pertamina membayar ganti rugi kepada ahli waris. Mengingat hal ini dalam tahap eksekusi, maka kesepakatan dading tersebut tetap dalam payung pengedilan negeri selaku eksekutor.
Pertamina sebagai perusahaan negara harus tunduk pada peraturan perundangan yang berlaku dan menjunjung tinggi prinsip Good Corporate Governance (GCG), dimana dalam penyelesaian masalah ganti rugi mengedepankan asas kewajaran, keterbukaan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Beberapa permasalahan utama dalam penyelesaian masalah ini, yaitu jumlah ahli sangat banyak (saat ini terdapat 124 orang untuk ahli waris Simon Tudus dan 26 orang ahli waris Martinus Pontoh), luas tanah yang berbeda dengan sertifikat, objek tanah yang tumpang tindih (overlap) antara sertifikat satu dengan lainnya, ahli waris yang belum seluruhnya bersepakat, serta kuasa ahli waris berbeda-beda. Hal ini belum termasuk gugatan baru yang muncul atas lahan tersebut meskipun sudah dinyatakan incraht.
Di samping itu, pihak ahli waris sampai saat ini belum mencapai kesepakatan atas pihak kuasa yang ditunjuk. Dengan ahli waris yang sangat banyak tersebut, jelas tidak memungkinkan bagi Pertamina untuk bernegosiasi secara langsung dengan ahli waris dan memang harus melalui kuasa.
Kondisi ini sangat menyulitkan Pertamina karena pihak yang mewakili ahli waris menjadi berbeda-beda dalam membangun kesepakatan.
Tahun 2012, Gubernur Provinsi Sulawesi Utara telah membantu dengan membentuk tim penyelesaian permasalahan TBBM Bitung yang beranggotakan unsur Pemda, Kejaksaan Tinggi, BPKP, Polda dan Pertamina yang saat itu menghasilkan produk berupa inventarisasi dan verifikasi data ahli waris, pengukuran luas lahan, serta penilaian harga ganti rugi menggunakan jasa appraisal independen.
Namun pelaksanaan ganti rugi belum dapat diselesaikan karena antar ahli waris tidak mencapai kesepakatan.
Penetapan kuasa yang sah untuk mewakili komunikasi dengan ahli waris harus mendapat pengakuan dari pengadilan negeri selaku eksekutor, yang akan mengesahkan kesepakatan damai/dading. Pertamina tidak akan menerima atau menaggapi kuasa ahli waris yang tidak terdaftar dan mendapatkan pengakuan dari Pengadilan negeri.
Sejauh ini pihak Pertamina telah melakukan pembahasan dengan kuasa ahli waris yang diakui oleh Pengadilan Negeri Bitung, sdr Noldy Sulu and partners, namun dalam perkembangan terakhir terdapat kuasa ahli waris baru yang terdaftar yang juga mendapat pengakuan dari PN Bitung yaitu nyonya Lisa.
Kesepakatan ahli waris harus utuh (seluruh ahli waris) untuk menghindari resiko bagi Pertamina di kemudian hari akibat munculnya potensi gugatan baru. Ahli waris tidak sepantasnya mengalihkan permasalahan internal ahli waris, yaitu belum adanya kesepakatan seluruh ahli waris, kepada Pertamina dengan menyatakan bahwa Pertamina tidak mau membayar.
Adanya desakan beberapa pihak agar Pertamina membayar terlebih dahulu kepada ahli waris yang telah menerima tawaran Pertamina, untuk sementara belum ada ketentuan yang memungkinkan Pertamina dapat memenuhi hal tersebut. dalam proses ganti rugi lahan harus memenuhi prinsip terang dan tunai. Artinya, kesepakatan harus bulat dengan seluruh ahli waris yang sah dan pembayaran harus diterima seluruh ahli waris serta proses pengalihan hak ke Pertamina dapat dilaksanakan.
Harga yang ditawarkan oleh Pertamina berdasarkan appraisal dan merupakan harga wajar yang dapat dipertanggung-jawabkan. Appraisal dilaksanakan KJPP yang telah diusulkan/mendapat rekomendasi oleh tim penyelesaian permasalahan tanah TBBM Bitung sebelumnya, yang pada waktu itu telah mendapatkan pendampingan dari BPKP dengan hasil sebesar Rp 1.550.000. Kredibilitas KJPP telah dapat dipertanggungjawabkan dan tidak perlu dipertanyakan.
Pertamina telah menyampaikan penawaran harga terakhir sebesar Rp 1.750.000 melalui surat Direktur SDM dan Umum tanggal 17 Januari 2017.
Awalnya, lahan yang dibeli pada waktu itu adalah lahan kosong dan mentah. Sangat berbeda dengan kondisi saat ini yang sudah merupakan lahan matang dan berharga, setelah berdirinya depot TBBM yang dibangun Pertamina. Kegiatan ekonomi sekitar wilayah depot pun menjadi meningkat. Secara tidak langsung ahli waris telah mendapatkan keuntungan dari depot ini karena nilai lahan meningkat.
Permintaan harga ganti rugi ahli waris yang melampaui harga wajar sudah pasti tidak akan dipenuhi Pertamina sebagai perusahaan negara yang harus taat pada peraturan dan menjunjung tinggi prinsip GCG.
Aspek lain yang patut dipertimbangkan adalah depot Bitung berperan utamanya untuk menyuplai BBM subsidi di wilayah Sulut dan Gorontalo. Kegiatan suplai BBM subsidi merupakan penugasan pemerintah untuk melayani kepentingan ini dan lebih merupakan kegiatan nirlaba (pengabdian).
Dalam konteks ini sangat bijaksana apabila ahli waris dan masyarakat tidak memandang depot TBBM Bitung melulu sebagai kegiatan komersial.
Menyelesaikan permasalahan ini segera, Pertamina saat ini sedang berkoordinasi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional, mengingat depot TBBM Bitung merupakan objek vital nasional yang cukup strategis.
Pihak ahli waris dan kuasanya diharapkan dapat segera melakukan konsolidasi internal, sehingga dapat segera membentuk kesepakatan dan kerukunan, dengan adanya kesepakatan tersebut maka tahapan selanjutnya akan dilaksanakan adalah pembuatan akta dading/perdamaian yang nantinya didaftarkan pada PN Bitung.
Selanjutnya, Pertamina mengharapkan dapat segera mendapatkan jawaban tertulis dari kuasa ahli waris atas penawaran yang telah disampaikan melalui surat Direktur SDM dan Umum. (***/JerryPalohoon)
Hermawan, VP Asset Operations Direktorat SDM, Teknologi Informasi dan Umum PT Pertamina (Persero)