Pilar Demokrasi
(hasil kerjasama beritamanado dengan Radio KR68H)
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Beberapa tahun lalu, kemacetan lalulintas di Kota Jakarta hanya terjadi pada jam tertentu. Tapi kini, macet sudah tak kenal waktu. Titik macet juga makin luas. Ada sedikit gangguan pada arus lalulintas saja, maka dampaknya bisa luar biasa. Pada suatu malam di bulan Juli lalu, gara-gara lalulintas, banyak yang baru bisa kembali ke rumah lepas tengah malam. Sebab itu, makin banyak pula yang yakin, suatu saat Jakarta bisa macet total.
Masalah transportasi dan kemacetan Jakarta memang bukan semata urusan transportasi. Kemacetan juga merupakan masalah sosial, masalah tata ruang, masalah kesejahteraan warga. Kemacetan juga bukan hanya masalah yang harus ditangani oleh Pemprov DKI Jakarta saja. Diperlukan kerja sama dan koordinasi antar pemerintah daerah wilayah serta kementerian sektor terkait. Persoalan kemacetan semacam di Jakarta, bukan tak mungkin akan terjadi pula pada kota lainya. Maka mengurai masalah transportasi Jakarta bisa menjadi sebuah uji, bagaimana mencari kebijakan jitu transportasi untuk mengatasi masalah kemacetan ini.
Penegakan Hukum
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta, Azas Tigor Nainggolan beranggapan kemacetan akibat menjamurnya penggunaan kendaraan-kendaraan pribadi. Karena itu pemerintah harus membuat kebijakan yang bisa menekan penggunaan kendaraan pribadi. Salah satunya dengan melipatgandakan biaya parkir kendaraan umum yang tergantung pada zona, semakin menuju ketengah kota maka biaya parkirnya semakin mahal. Dengan menaikkan biaya parkir, tidak hanya sekedar untuk menambah pendapatan asli daerah (PAD), tapi juga berguna dalam pengaturan lalulintas dan menekan kemacetan ibukota yang makin memprihatinkan. “Tarif parkir di DKI Jakarta merupakan tarif parkir termurah ketiga di dunia, setelah kota New Delhi dan Bangalore. Keadaan ini berbanding terbalik dengan negara maju lain, dalam mengatasi kemacetan. Tarif parkir di London, lebih mahal dari tarif transportasi massal. Sementara di Jakarta, transportasi massal lebih mahal dibanding tarif parkir,” ujarnya.
Alternatif lainnya selain parkir adalah, segera berlakukan sistem ganjil genap. Pasalnya kata dia sistem 3 in 1 sudah tidak relevan lagi untuk dijadikan solusi menekan angka kemacetan. Pemerintah pusat juga harus berperan dalam penuntasan masalah ini. Misalnya dengan mengeluarkan kebijakan yang mempersulit warga negara untuk memiliki kendaraan pribadi seperti mobil.
Disamping itu kata Azas, pembenahan kelayakan transportasi umum juga harus berjalan. Pasalnya masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi akibat transportasi umum kurang layak, sehingga membahayakan si pengguna. Selain itu kata dia, rute-rute yang berbelit sehingga memakan banyak waktu juga menjadi salah satu alasan transportasi massal kurang diminati.
Kendaraan umum juga kerap tak disiplin sehingga memperparah kondisi arus lalulintas. Ini terjadi akibat minimnya penegakkan hukum terhadap awak atau pengemudi angkutan umum. Para pengemudi terlihat jadi biasa dan bebas melakukan pelanggaran hukum atau aturan lalu lintas. Kebebasan itu sangat terlihat seperti hal bus angkutan umum saat menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat tanpa menghitung kemanan penumpangnya. Begitu pula sulitnya mencari penumpang dan mengejar target setoran harian, membuat para pengemudi angkutan umum berhenti dan menjadikan setiap jalan sebagai terminal liar. Akibatnya adalah penumpukan kendaraan lain di belakang yang menimbulkan kemacetan serius karena berkurangnya kapasitas jalan.
Sekertaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia Ipoeng Poernomo berpendapat senada. Pembenahan management transportasi umum, kata dia, harusnya menjadi prioritas utama pemerintah daerah.
Ia mengkritik kebijakan mobil murah hemat energi. Program low car green car (LCGC) atau mobil murah yang hemat energi justru tak mendukung langkah para kepala daerah dalam menata transportasi umum yang semrawut. “Meski murah, kebijakan mobil hemat energi itu tidak mendukung dan berpihak pada transportasi publik, sebab dengan tingkat pembelian tinggi tentu juga akan menguras konsumsi BBM,” ujar Ipoeng. Oleh karenanya, pihaknya mendesak pemerintah agar membuat program pengembangan transportasi umum ketimbang memprioritaskan insentif bagi kendaraan pribadi. Penyebaran penjualan mobil juga dinilai perlu diatur sehingga tidak dominan pada satu daerah.
Disisi lain pemerintah juga harus memerhatikan layanan kereta api komuter Jabodetabek. Idealnya, angkutan kereta api menjadi tulang punggung sarana angkutan umum massal di Jakarta dan sekitar (Jabodetabek). Revitalisasi ini merupakan wujud satu kesatuan dari revitalisasi angkutan umum berbasis jalan raya serta berbasis rel yakni kereta api. Idealnya juga adalah pengelolaan kereta api haruslah di bawah kendali Gubernur Jakarta tidak seperti sekarang, gubernur tidak memiliki otoritas apa pun dalam mengontrol operasional kereta api di Jakarta. Sehubungan dengan ini maka sudah saatnya PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) memberikan ruang juga pada pemerintah provinsi Jakarta sebagai salah satu operator kereta api komuter.
Subsidi Angkutan Umum
Dalam konteks politik manajemen transportasi kata Azas, hanya angkutan umum yang berhak atas subsidi, bukan kendaraan pribadi (subsidi BBM). Namun yang terjad, kini justru kendaraan pribadi yang dominan menikmati subsidi setidaknya melalui subsidi BBM. Padahal dalam konteks tarif, tidak seharusnya besaran tarif ditanggung semuanya oleh konsumen. Sebagian tarif seharusnya menjadi beban (subsidi) pemerintah daerah Jakarta atau bahkan pemerintah pusat. Kebijakan mensubsidi angkutan umum dan mencabut subsidi BBM untuk memecahkan kemacetan dengan menekan penggunaan kendaraan bermotor karena berbiaya tinggi ini umum dilakukan di kota besar dunia. Sebagai contoh di kota Turin Italia, pengguna angkutan umum hanya menanggung 30% besaran tarif sedangkan yang 70% dibebankan kepada pemerintah kota setempat. Begitu pula pemerintah Italia untuk membangun infrastruktur transportasi angkutan umum biaya ditanggung 60% oleh pemerintah pusat dan sisanya 40% oleh pemerintah daerah (kotanya). ”Oleh karenanya, perlu dicarikan formulasi yang tepat untuk subsidi angkutan umum ini,” kata Azas.
Sektor transportasi/perhubungan dan infrastruktur tidak bisa dipisahkan. Idealnya, tambah Azas, struktur organisasi yang menanganinya adalah satu pintu (satu institusi). Jika institusi ini terpisah maka akan menimbulkan kebijakan yang saling tabrakan atau setidaknya tidak ada koordinasi antara institusi perhubungan (Dishub) dengan institusi yang menangani infrastruktur (Dinas PU).
Guna memdukung upaya revitalisasi layanan angkutan umum ini juga bisa dibantu dengan sebuah tim adhoc di bawah Gubernur Jakarta untuk menyusun strategi dan skenario revitalisasi manajemen angkutan umum. Tim ini bisa terdiri dari pihak independen yang berkompeten di bidang transportasi. Diharapkan dengan tim ad-hoc ini proses revitalisasi akan mengalami percepatan. Tim ini juga berfungsi mengawal proses revitalisasi manajemen angkutan umum di Jakarta yang akan dijalankan oleh Dinas Perhubungan atau Dinas Transportasi dan Infrastruktur. Perbaikan dan revitalisasi ini mendesak dilakukan demi keyakinan bahwa tahun 2014 Jakarta tidak terjadi kemacetan total sebagaimana disampaikan banyak ahli transportasi atas akutnya masalah kemacetan di Jakarta. Tentu langkah ini juga membutuhkan kemauan bekerja bersama antara pengelola kota Jakarta dan pemerintah pusat. Tanpa ada dukungan nyata dari pemerintah pusat maka Jakarta yang indah, tidak macet dan bagus layanan angkutan umumnya akan tinggal sebagai ilusi. Semoga di masa mendatang ada langkah dan upaya nyata bersama menyelesaikan kemacetan kota Jakarta.
Perbincangan ini kerjasama KBR68H dengan YAPPIKA, Masyarakat Peduli Pelayanan Publik serta didukung oleh USAID