
Kyoto – Di pagi yang cerah beberapa hari yang lalu, dalam perjalanan rutin saya dengan sepeda menuju labo penelitian di Kyoto University Uji campus, saya berhenti sejenak di jembatan Ujigawa karena tertarik untuk mengamati pemandangannya. Dinamakan Sungai Uji karena membelah kawasan kecamatan Uji di pinggiran kota Kyoto. Sambil merasakan segarnya udara pagi, saya mulai mengamati fasilitas-fasilitas sumberdaya air sekitar sungai Uji. Dalam hati pun saya berkata, “Sungguh mengagumkan penataan lingkungan dan fasilitas-fasilitas infrastruktur di sini. Semuanya nampak betul-betul direncanakan dengan matang sebelum dibangun. Sistem pengendali banjir dengan bangunan-bangunan airnya megah. Tertata sangat apik, teratur dan serasi dengan sungai dan lingkungannya. Bagaimana kota-kota di Jepang bisa banjir kalau sistemnya seperti ini?”.
Badan sungai Uji demikian lebar, kira-kira ada tiga kali badan airnya. Mungkin ada selebar muara Sungai Tondano badan airnya. Rumah-rumah penduduk, kawasan industri yang berdiri di tepi sungai semuanya berada di luar batas daerah penguasaan sungai, dan begitu terlindung oleh tanggul banjir yang tinggi, kira-kira sepuluh meter dari permukaan air normal melampaui atap rumah. Tanggul banjir ini berdiri kokoh, dan bentuknya menyerupai bendung urug dengan pengaman kaki dari pasangan blok beton yang saling mengunci. Di kiri kanan punggung tanggul terletak jalan setapak dan jalan sepeda sepanjang sungai. Demikian pula pada kaki tanggul di sisi luar ditempatkan jalan kendaraan hotmix lengkap dengan segala bentuk marka jalan dan lampu lalu lintas pada setiap persimpangan yang ada. Tanggul banjir ini menjadi semakin indah dipandang karena dihiasi dengan deretan tanaman, rumput dan pepohonan menyerupai sabuk hijau di atas sungai.
Saya kemudian mengalihkan pandangan untuk memperhatikan sistem drainase dan outlet saluran primer yang keluar ke sungai. Tidak nampak ada saluran-saluran terbuka besar di tepi jalan. Semuanya tertutup kecuali saluran kecil seukuran talang air untuk mengalirkan air permukaan jalan menuju saluran sekunder ataupun primer bawah tanah, sebagai riol untuk mengalirkan semua air buangan ke sungai. Dan di setiap akhir outlet riol terpasang sluicegate atau pintu air otomatis untuk mengontrol debit dan laju aliran air masuk ke sungai, serta di beberapa tempat di atas tanggul banjir berdiri instalasi polder pumping system, yang berfungsi untuk mengalirkan air yang berpotensi menyebabkan terjadinya banjir ataupun genangan dalam kota. Pada salah satu polder, sepertinya terpasang sistem perekam tinggi muka air otomatis atau AWLR. Sluicegate akan terbuka pada kondisi muka air sungai normal, dan tertutup pada saat muka air sungai tinggi. Bilamana keadaan tersebut dibarengi dengan hujan deras dengan aliran permukaan tinggi terjadi dalam kota, maka sistem pompa polder akan berfungsi.
Sementara itu, tidak terlewatkan pula dalam amatan saya, di kejauhan terdapat sekelompok masyarakat tengah sibuk membersihkan saluran pembuang di pekarangan sendiri bahkan mengangkat sampah-sampah kecil yang tidak sengaja dibuang orang di jalan. Pemandangan yang saya saksikan terbilang sederhana, alamiah, tapi mengandung arti yang tak ternilai bagi masa depan lingkungan. Saya kemudian berpikir, sungai yang lebar tapi bersih dengan air mengalirnya yang juga bersih, sistem drainase yang terencana dengan baik lebih dari sekedar memenuhi kriteria perencanaan, tanggul banjir yang mampu melindungi kota dari terjangan banjir bandang sekalipun, dan budaya cinta lingkungan dan sadar bencana oleh masyarakat, barangkali itulah yang membuat kota-kota di Jepang dapat dikatakan bebas banjir.
Tiba-tiba saya tersadar bahwa saya masih harus melanjutkan perjalanan ke kampus. Dan saya pun melanjutkan perjalanan. Tiba di kampus, sebagaimana biasa, setelah mempersiapkan segala sesuatunya untuk bekerja, saya memasang komputer dan mengambil waktu sejenak untuk browsing internet, facebookan atau membaca koran. Ketika membuka beberapa mass media, hampir semuanya memberitakan bahwa Manado banjir lagi. Karena kesan di jembatan ujigawa tadi masih hangat dalam ingatan maka saya sedikit menggerutu dengan berita itu. Berbagai varian tanda tanya langsung muncul dalam benak saya, antara pertanyaan yang berujung pesimistis dan harapan bagi para pengambil kebijakan kota. Apakah memang sudah sulit kota Manado terbebas dari banjir?. Dalam tanda tanya yang besar tetapi masih penuh harap agar ada solusi yang baik untuk menanggulangi banjir, saya pun kemudian menulis artikel ini .
Banjir, Genangan dan Periode Ulang
Dalam diskusi umum, sering kita mendengar istilah genangan dan banjir. Dua istilah yang masih sering diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa genangan itu juga banjir, ada pula yang mengatakan bahwa genangan berbeda dengan banjir. Mungkin kita masih ingat, salah seorang gubernur yang pernah diserang habis-habisan di berbagai mass media hanya karena mencoba menjelaskan perbedaan kedua istilah tersebut. Tetapi terlepas dari dikotomi itu, marilah kita mempelajari definisi banjir dari dua sumber besar. Yang pertama adalah definisi menurut kamus “International Committee of Irrigation and Drainage (ICID’s) multilingual technical dictionary on irrigation and drainage, revised edition 2010”, yang tertulis dalam bahasa Inggris bahwa “Flood is a relatively high flow or stage in a river, markedly higher than usual; also the inundation of low land which may result there from. A body of water, rising, sweeling, and overflowing land not usually thus covered.” Yang artinya, banjir adalah suatu aliran atau panggung air di sungai yang relatif tinggi, lebih tinggi dari biasanya; atau genangan yang terjadi pada dataran rendah yang dapat bersumber dari sungai tersebut. Sebuah badan air yang meningkat permukaan airnya, meluap, dan melimpas, menutupi tanah tidak seperti biasanya. Yang kedua adalah dari glossarium National Weather Service, National Oceanic and Atmospheric Administration’s (NOAA), yang menulis bahwa: “Flood is any high flow, overflow, or inundation by water which causes or threatens damage”, yang artinya banjir adalah aliran tinggi apa saja, limpasan, atau genangan oleh air yang menyebabkan atau mengancam terjadinya kerusakan.
Kedua definisi di atas saya kutip dengan maksud agar kita bisa memahami tentang istilah banjir dalam konteks yang lebih luas. Dalam kamus ICID, definisi banjir tidak secara eksplisit mengandung pengertian suatu kondisi yang merugikan atau merusak. Sedangkan definisi dalam glosarium NOAA jelas mengungkap. Tetapi, meskipun implisit, definisi ICID pada kondisi tertentu mengandung pengertian banjir dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dan kerugian. Secara lebih rinci, banjir dari kamus ICID dapat diartikan dalam dua pengertian, yang sesuai lingkup tempat kejadian dan lingkup disain bangunan pengendali banjirnya, yaitu: 1). Pada kondisi tertentu, luapan di daerah rawa dapat membawa unsur hara yang bermanfaat dalam menyuburkan tanah, sedangkan bila terjadi di daerah pemukiman atau perkotaan, maka luapan tersebut—apakah akibat kejadian alam murni ataupun akibat ulah tidak bertanggungjawabnya manusia, dapat mengganggu, bahkan mengancam rusaknya lingkungan, kehilangan harta benda, bahkan nyawa manusia; 2). Pada suatu struktur bangunan air dan/atau pengendali banjir, keadaan banjir dapat terjadi bilamana struktur bangunan tidak mampu lagi menahan beban air, sehingga air dapat meluap atau merusak kondisi bangunan. Ketidakmampuan atau kerusakan struktur bangunan air tersebut dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu, kesalahan perencanaan dan/atau pembangunan, dan bencana alam. Pada sudut pandang pertama mengandung pengertian bahwa, meskipun debit banjir dan periode ulang saat kejadian sama atau lebih kecil dibanding debit banjir dan periode ulang rencananya, luapan dan pengrusakan struktur tetap terjadi.
Selanjutnya, dalam mendalami kejadian banjir, diperlukan juga pemahaman tentang pengertian debit dan periode ulang banjir. Bahwa pemahaman ini juga penting sekali bagi masyarakat antara lain karena menurut pengalaman istilah ini sering disalahterjemahkan oleh masyarakat akibat salah informasi yang diberikan oleh sumbernya. Kita ketahui bersama bahwa aliran air di sungai selalu berubah dan tidak konstan. Oleh karena itu untuk menggambarkan aliran banjir suatu sungai dipakailah istilah debit banjir, yang dinyatakan dalam besaran volume air mengalir per satu satuan waktu (m3/detik), dan kemungkinan terjadinya menurut periode ulang banjir. Sebagai contoh, bila kita menggunakan angka-angka pemisalan suatu debit banjir rencana sungai Tondano untuk periode ulang 50 tahun, misalnya adalah sebesar 300 m3/detik dan untuk periode ulang 100 tahun adalah sebesar 500 m3/detik. Pengertian masing-masing periode ulang dan debit banjir di atas adalah, untuk periode ulang 50 tahun, bahwa setiap tahunnya kemungkinan terjadinya debit banjir yang sama atau lebih besar dari 300 m3/detik di Sungai Tondano adalah sebesar 1/50 atau dua persen. Dan untuk periode ulang 100 tahun, bahwa setiap tahunnya kemungkinan terjadinya debit banjir yang sama atau lebih besar dari 500 m3/detik di Sungai Tondano adalah sebesar 1/100 atau satu persen. Dengan pengertian di atas maka, debit banjir berapapun bisa terjadi setiap tahun. Sehingga meskipun telah terlindungi oleh prasarana pengendali banjir yang direncanakan berdasarkan debit banjir periode tertentu, masyarakat harus tetap waspada, karena sewaktu-waktu banjir yang melampaui debit dan periode banjir rencana tersebut dapat saja terjadi.
Faktor-Faktor Penyebab
Faktor Alamiah
Hampir semua literatur yang menulis tentang banjir, mengemukakan bahwa banjir disebabkan oleh bermacam-macam faktor, baik alamiah maupun akibat perbuatan manusia. Dikatakan alamiah bilamana sumber penyebab antara lain adalah intensitas curah hujan yang sangat tinggi berlangsung, sebagai bagian dari siklus hidrologi. Siklus hidrologi adalah suatu siklus yang diawali dengan menguapnya air dari lautan menuju atmosfer dan jatuh kembali ke bumi sebagai hujan. Air itu, kemudian sebagiannya melimpasi permukaan dan sebagian lainnya diserap oleh tanah untuk beberapa waktu yang pada akhirnya mengalir masuk ke laut. Meskipun siklus hidrologi adalah suatu fenomena yang konstan, tetapi tidak selalu akan terjadi di tempat yang sama, dari tahun demi tahun. Jika terjadi secara konsisten di semua tempat, maka tidak akan pernah terjadi banjir dan kekeringan akibat siklus ini. Dengan demikian, di beberapa tempat mengalami curah hujan di atas rata-rata, sementara di tempat lain justru terjadi kekeringan. Dengan temuan dan penelitian terbaru dalam bidang klimatologi, yang menyatakan perubahan iklim akibat pemanasan bumi sementara berlangsung, menyebabkan lamanya waktu siklus hidrologi dan di mana tempat kejadiannya menjadi semakin tidak menentu. Sehingga musim hujan dan kemarau di Indonesia menjadi sulit ditebak kapan datangnya. Kadang-kadang, banjir juga dapat terjadi sebagai akibat dari kombinasi unik faktor-faktor yang tidak secara langsung melibatkan siklus hidrologi. Misalnya, wilayah pesisir dataran rendah akan mudah ditimpa banjir pada setiap kali air laut pasang, atau karena terjadi badai maupun tsunami.
Faktor Masyarakat
Dari penjelasan faktor penyebab alamiah di atas, memberi pengertian bahwa sebetulnya banjir alamiah, meskipun kadangkala muncul sebagai bencana merupakan suatu fenomena alam biasa. Tetapi bilamana kejadiannya berulang secara terus menerus, dengan waktu antara satu kejadian dengan kejadian berikutnya lebih pendek dari waktu dalam siklus atau periode ulangnya, sebagaimana apa yang terjadi di kota Manado, maka hal itu sudah merupakan kejadian luar biasa yang memerlukan perhatian serius. Data mengungkap bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun sedikitnya telah terjadi 3(tiga) kali banjir yang menyebabkan kerugian besar di kota Manado, yaitu pada tahun 1996, 2000 dan 2005 (Nanlohy et.al, 2008). Bahkan tahun inipun banjir kembali menerpa kota. Hal ini berarti, bahwa telah terjadi sesuatu yang menyimpang terhadap perilaku banjir di kota Manado, yang bukan lagi diakibatkan oleh faktor alamiah semata, tetapi besar kemungkinan dipengaruhi oleh faktor masyarakat.
Masyarakat adalah bagian dari lingkungan itu sendiri, sehingga segala proses yang terjadi di alam, walaupun tidak pada semua kejadian, tidak lepas dari peran masyarakat di dalamnya. Dalam soal banjir, meskipun masyarakat kota sendiri yang menjadi korban, masih banyak yang belum sepenuhnya menyadari bahwa karena peran mereka jugalah yang menyebabkan seringnya banjir terjadi di kota Manado. Beberapa hal berikut merupakan contoh. Keberadaan hunian sebagian masyarakat yang masih menempati daerah sempadan sungai, dan tindakan melebarkan halaman ke arah badan sungai sehingga mempersempit daerah penguasaan sungai. Sementara itu, disadari benar pula bahwa vegetasi sangat membantu untuk menahan curah hujan langsung jatuh ke tanah, namun praktek-praktek penggunaan lahan yang melanggar aturan seperti kegiatan dalam usaha pertanian, peternakan, dan penebangan hutan tanpa ijin dan terkontrol telah menghambat proses tersebut. Tanpa pertumbuhan alami vegetasi untuk menahan hujan dan limpasan airnya, sama artinya memaksa tanah menyerap kelembaban secara berlebihan, sehingga ketika batas penyerapan cepat tercapai dan hujan belum berhenti maka banjir akan terjadi. Bilamana keadaan tersebut terjadi di daerah hulu, maka yang menerima akibat terbesar dari kejadian banjir adalah daerah di bagian hilir. Banjir ini sering disebut sebagai banjir bandang, bila waktu datangnya terjadi secara cepat, atau banjir kiriman. Demikian juga, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi, maka perluasan lahan permukiman menjadi sebuah tuntutan yang harus dipenuhi, namun sebaliknya bila hal ini dilakukan secara tidak bertanggung jawab atau melanggar ketentuan tata ruang maka dapat memperparah efek banjir.
Faktor penyebab lain yang juga sangat penting diperhatikan adalah “bad habits” atau kebiasaan buruk masyarakat dalam membuang sampah di air yang mengalir, saluran air, sungai dan badan air lainnya. Kejadian yang paling sering terjadi, yang boleh dikatakan sudah di luar batas perilaku rasional, adalah kebiasaan untuk tidak mengumpulkan sampah dari warga kota yang tinggal di tepi sungai, bahkan dengan sadar langsung membuangnya ke sungai meskipun petugas sampah secara rutin datang mengangkut sampah sampai di depan rumah penduduk. Perilaku ini bahkan dilakukan tidak saja oleh lapisan masyarakat tertentu, tetapi juga oleh kalangan terpelajar, kalangan yang seharusnya memberi contoh dan teladan. Faktor penyebab seperti ini dalam pengalaman sulit direduksi karena sudah membudaya. Oleh karena itu upaya penyuluhan yang tidak kenal putus asa harus tetap dilakukan berbagai pihak, disamping perlunya penerapan penegakkan hukum yang lebih tegas.
Faktor Mismanagement
Maksud kata mismanagement di sini adalah careless or inefficient management, yaitu kurang tanggap atau ketidaktepatan, dan kurang efisiennya pengelolaan sistem pengendalian banjir yang ada. Ketidaktepatan pengelolaan berkaitan erat dengan mekanisme pengambilan keputusan di dalam menetapkan anggaran pembangunan. Sebagai contoh banyak hasil perencaaan sistem pengendali banjir oleh konsultan tidak dapat dikerjakan. Alasan yang sering dikemukakan oleh pihak pemberi kerja adalah karena keterbatasan dana. Kalau pun hasil perencanaan tersebut dikerjakan, proses perencanaannya terkesan terpimpin. Artinya merencanakan berdasarkan arahan direksi, bukan berdasarkan ide perencana. Sehingga tidak heran banyak bangunan yang mubasir bahkan turut menyumbang semakin parahnya kejadian banjir. Selanjutnya, kurang efisiennya pelaksanaan pengelolaan banjir sebagaimana dimaksud di atas antara lain dapat dilihat dari masih parsialnya penerapan sistem untuk memecahkan masalah banjir sungai. Sebagai contoh penanggulangan masalah banjir sungai Tondano, yang sebaiknya dilakukan dengan mekanisme ORPIM atau One River, One Plan, and One Integrated Management. Pada prakteknya masih dilaksanakan secara terpisah atau parsial oleh masing-masing pemangku kepentingan di setiap daerah yang dilalui sungai tersebut. Akibatnya sering terjadi di sana sini, disepanjang wilayah sungai, suatu diskonstruksi bangunan pengendali banjir, di mana bangunannya saja yang kelihatan megah tetapi pada saat banjir bandang datang bangunan tersebut justru menjadi penyebab kerusakan yang lebih besar, bahkan bangunan itu sendiri menjadi rusak. Akhirnya, dana besar yang telah dikeluarkan pun menjadi menjadi sia-sia.
Berangkat dari judul, seolah-olah ada pilihan mana sebenarnya yang paling memiliki andil terhadap peristiwa banjir di Manado. Tetapi dari uraian di atas, meskipun secara teori penyebab banjir itu bermacam-macam, baik faktor masyarakat maupun faktor mis-management, keduanyalah yang merupakan faktor penyebab utama kejadian banjir di Kota Manado. Masing-masing faktor cenderung memiliki peran sendiri-sendiri dan nyata pengaruhnya, sehingga bilamana hal ini dibiarkan terus terjadi, maka akumulasi perilaku “bad habits” masyarakat dan “mismanagement” dapat menyebabkan peristiwa banjir dikemudian hari terjadi lebih besar dan lebih parah lagi akibatnya.
Oleh sebab itu, untuk mencegah hal yang tidak diinginkan di atas terjadi, dan cita-cita memiliki kota Manado yang bebas banjir menjadi sebuah keniscayaan, maka diperlukan dorongan semangat baru dan optimisme serta tekad membangun yang tinggi dari setiap pemangku kepentingan, untuk secara terpadu bersinergi menanggulangi banjir. Sistem pengelolaan banjir DAS Tondano, termasuk kota Manado perlu ditinjau dan diredesain kembali, disesuaikan dengan kondisi yang ada sekarang. Tentu tidak perlu semegah dan seotomatis sistem yang ada di Jepang. Yang dibutuhkan adalah redesain sistem ini harus sesegera mungkin di laksanakan dengan mempertimbangkan faktor-faktor fleksibilitas, efektifitas, efisiensi dan komprehensif. Semoga.
Kyoto, Medio Desember 2010
Oleh : Dr. Peter Karl Bart Assa, ST., MSc
Staf Pengajar Fakultas Teknik Unsrat Manado
Sekretaris Himpunan Ahli Teknik Hidraulik (HATHI) Sulut