Pulukadang: Banggar DPR Terkesan Seperti “anak kecil” Merajuk
Oleh: Prof. Ishak Pulukadang
MANADO – Akhir-akhir ini terkuak di media massa hasil pemeriksaan KPK terhadap penyimpangan proyek di Kemennakertrans yang melibatkan pimpinan Banggar DPR. Menariknya pimpinan Banggar karena adanya tuduhan itu, melakukan sikap mogok untuk tidak mau membahas APBN 2012. Disatu pihak bagi Permadi politisi dalam
diskusi di Law center TV-ONE sikap Banggar DPR ini terkesan seperti “anak kecil” merajuk, suatu sikap yang akan merugikan rakyat.
Tetapi dipihak lain tentu pimpinan Banggar punya alasan tersendiri yang mungkin saja sikap pengunduran diri mereka ini sebagai bentuk pertanggungan jawab moral politisi sebagaimana kita saksikan di Jepang karena menghindari rasa malu atas suatu tuduhan karena merasa bersalah dengan mengundurkan diri dari jabatan kabinet. Bila demikian sikap itu bisa kita pahami.
Selanjutnya yang menarik bagi penulis untuk mengomentari masalah tuduhan keterlibatan Banggar DPR ini adalah bahwa tuduhan ini meindikasikan kepada kita bahwa ternyata tidak hanya dikalangan lembaga eksekutif terjadi korupsi tetapi juga di lembaga legislatif dengan melakukan kolusi atau sekongkol membuat kebijakan yang mrerugikan uang negara. Hal ini selain terjadi di pusat juga terjadi didaerah.
Di Pusat hal yang sama antara lain sudah pernah terjadi di DPR dalam kasus-kasus BLBI yang melibatkan BI dan Pimpinan serta Anggota DPR yang terkait juga didaerah seperti kasus MBH gate di Sulut yang melibatkan mantan penjabat Wakil Gubenur, Asisten dan kepala Biro serta anggota DPRD Sulut waktu yang lalu. Inilah persoalan besar yang dihadapi bangsa kita di era reformasi ini.
Persoalannya yang utama adalah jika Kolusi terjadi antara eksekutif dan legislatif yang merugikan uang negara dan mengorbankan kepentingan rakyat, siapa lagi yang diharapkan rakyat untuk bisa melakukan kontrol kepada eksekutif dan legislatif ?
Sebenarnya pertanyaan ini tidak perlu muncul jika DPR yang memiliki fungsi mengawasi eksekutif dalam perencanaan, kebijakan dan pelaksanaan kebijakan tidak melakukan kolusi seperti ini. Tetapi faktanya hal ini makin marak saja di pusat sehingga djadikan contoh oleh daerah. Bagi penulis untuk mengatasi persoalan besar ini ada 5 cara yang salaing terkait bisa ditempuh.
Pertama : Hukuman bagi koruptor harus diperberat. Selama ini terkesan hukuman bagi koruptor “sangat ringan” sehingga tidak membuat para pelaku (pejabat politik) tidak jera dan takut. Bahkan mereka terkesan tidak merasa malu melakukannya karena selain untuk mengembalikan kost yang sudah dikeluarkannya untuk membeli kendaraan mengikuti pemilu (kada) juga unutk mengembalikan kost yang sudah dikeluarkannya selama kampanye sehingga kalaupun mereka akan kedapatan berkorupsi mereka merasa hukumannya ringan. Sebab selain dalam masa tahanan mereka bisa hidup enak karena bisa merehabilitasi rutan juga bisa melakukan kegiatan dengan menunjukkan kedermawanan dengan kegiatan rohani padahal uang yang digunakan uang korupsi.
Hukuman yang dijatuhkan hakim di Indonesia terkesan ringan karena mereka yang melakukan korupsi 65 Milyard misalnya hanya dihukum 7 tahun penjara.Sedangkan di China seorang yang korupsi 41 Millyard ( wakil ketua Kongres China /Wakil ketua DPR ) dihukum mati. Oleh karena itu UU pidana di Indonesia perlu ditinjau lagi bila hukuman bagi koruptor terkesan ringan dan bagi aparat penegak hukum dan terutama hakim-hakim diperlukan rekrutmen yang betul-betul selektif dan teruji kejujurannya berpihak pada kepentingan negara.
Kedua : Pejabat negara yang berasal dari pimpinan parpol harus melepaskan jabatannya pada saat telah menjabat pimpinan negara atau daerah. Hal ini perlu karena ketika ia terpilih sebagai pejabat negara/daerah ia bukan hanya melayani kepentingan partainya tetapi kepentingan seluruh komponen rakyat dipusat/daerah. Sebab ketika ia terpilih sebagai pejabat negara/daerah berakhirlah kepemimpinannya sebagai pimpinan partai karena telah menjapejabat di pimpinan negara/daerah yang melayani kepentingan seluruh rakyat dengan prinsip persamaan tanpa diskriminasi yang merupakan salah satu prinsip kepemerintahan yang baik (good Governance).
Ketiga : Meningkatkan tingkat pendapatan aparat. Memang peningkatan pendapatan aparat ini tidak sepenuhnya menjadi jaminan aparat itu berlaku jujur dan bersih tetapi tingkat pendapatan yang rendah selama ini menjadi pendorong para aparat memanfaatkan kedudukannya (budaya mumpung) selama menjabat. Mengamati pendapatan para pegawai swasta dengan tingkat pendapatan yang memadai dan menggiurkan disertai penilaian kinerja yang objektif serta incentif yang baik serta sanksi yang tegas memberi spirit kerja yang baik serta berprilaku jujur dan bersih.
Keempat : Perlunya pendidikan politik dengan materi utama kepemimpinan dan Etika pemerintahan bagi politisi. Fakta menunjukkan mereka yang menjadi pejabat politik umumnya berasal dari politisi dan pengusaha yang tidak punya pengalaman dalam pemerintahan sehingga seringkali mereka dalam jabatannya sebagai pejabat negara/daerah melakukan kebijakan dengan mengabaikan asas-2 utama dalam managemen/kepemimpinan pemerintahan termasuk keuangan dan proyek.
Oleh karena itu sekarang ini pemerintah melalui Mendagri merasa perlu melakukan diklat bagi kepala daerah dan Wakil kepala daerah yang baru terpilih suatu langkah yang tepat. Karena ada pengalaman ada Kepala Daerah yang terpilih berasal dan diusung parpol tidak tau memberikan disposisi terhadap surat yang masuk dan melakukan pelanggaran prosedur adminsitrasi dalam kinerjanya. Bahkan terjadi konflik antara Kepala daerah dan Wakilnya karena wakilnya tak kebagian kewenangan karena tak pernah ada disposisi yang ditujukan padanya bahkan tak pernah diundang dalam acara- acara penting, padahal keterpilihan mereka adalah karena citra keduanya bukan hanya citra positif calon kepala daerah.
Kelima : Dalam jangka menengah dan panjang perlu pendidikan agama yang efektif sejak dini melalui kelompok bermain dan TK serta sejenisnya sehinga sejak dini telah terbentuk pribadi yang jujur, adil dan bersih. Ada dalam sejarah agama printah untuk berlaku jujur dan adil serta contoh-2 prilaku yang menunjukkan sikap jujur yang patut diteladani. Problematikannya . sanksi dalam agama bersifat nanti sehingga tidak atau kurang mampu menghalangi sesorang ketika diperhadapkan dengan kenikmatan duniawi walalupun ia tahu hanya bersifat sementara termasuk ketika ia menjadi pejabat dengan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme yag dilarang dalam peraturan perudang-undangan.
Kenapa demikian sebab utamanya karena alasan-alasan ia mengahadapi kehidupan duniawi yang bersifat segera dan yang berkaitan dengan alasan yang telah disebutkan pertama sd keempat diatas.
Keenam : Perlunya prinsip chek and balance of power antar lembaga legislatif. Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa dari tahun 1945 sd 1959 sistim pemerintahan negara kita didominasi oleh legislatif yang berekses kepada instabilits pemerintahan, konflik pusat dan daerah bahkan munculnya gerakan separatisme. Sebagai reaksinya muncul dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 dan pelaksanaan UUD secara murni dan Konsekwen s/d tahun 1998 tetapi memunculkan dominasi eksekutif yang memunculkan pula otoriterisme Presiden dengan kebijakan Presiden Seumur hidup serta lembaga-lembaga negara menjadi pembantu presiden dan tidak ada pemilu s/d tahun 1971. Antara tahun 1966 s/d 1998 terjadi suptremasi militer dengan kepemimpinan yang cendrung otoriter dan KKN ( tap MPR) yang mengabaikan prinsip persamaan dan ham.
Kemudian antara tahun 1999 s/d 2004 kembali sistim pemerintahan negara didominasi oleh legislatif dengan segala ekses dimana terjadi instabilitas pemerintahan dan konflik elit serta KKN meluas sampai kedaerah-daerah. Kemudian pula antara tahun 2004 s/d sekarang sudah diterapkan prinsip balance of power antara eksekutif dan legislatif dimana baik Presiden dan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga kedudukan eksekutif legitimet
seimbang dengan lembaga legislatif. Tetapi tidak terjadi saling kontrol bahkan terjadi kolusi antara eksekutif dan legisaltif seperti kasus-kasus yang telah disebutkan diatas.
Oleh karena itu sejak tahun 2004 oleh Fraksi Utusan Daerah (FUD) telah memperakarsai pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga yang sama kedudukannya dengan DPR dalam rangka cek and balance of power – yang bukan mengikuti model sistim negara federal tetapi berdasarkan pengalaman Indonesia sendiri sebagaimana telah dikemukakan diatas. Akan tetapi kedudukan dan funksi DPD baru menjadi pembantu DPR sehingga tidak bisa mengawasi DPR dalam kebijakannya.
Hal ini disebabkan DPR yang produk parpol tidak ingin ada lembaga yang sama kedudukannya dengannya apalagi berfungsi mengawasinya. Kenyataan menunjukkan ternyata lembaga DPR melalui pejabat -pejabat dan anggota komisi dan Banggarnya mempergunakan posisi mereka melakukan kolusi dengan eksekutif sehingga diperlukan lembaga lain seimbang dengan DPR agar terjadi check and balance of power dalam sistim pemerintahan negara. Inilah salah satu cara menghindari sistim pemerintahan negara dari tindakan kolusi yang merugikan keuangan negara dan kepentingan rakyat. Tetapi oleh karena kedudukan dan fungsi DPD baru menjadi pembantu DPR maka DPD dan Rakyat harus berjuang untuk mengubah UUD 1945 agar posisi dan fungsi DPD bisa seimbang dengan DPR.
Prof. Ishak Pulukadang
mantan anggota MPR-RI 1999-2004/Dosen Pasca Sarjana Unsrat dan
Universitas Satyagamadi Manado.