AMURANG – Aktifitas pabrik aspal curah milik PT Maesa Nugraha terus menuai kontroversi. Diantaranya penolakan dari beberapa pihak. Bukan saja para nelayan, melainkan pihak Pemkab Minahasa Selatan juga memintakan perusahan yang berdomisili dan beroperasi di wilayah Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) diminta untuk angkat kaki. Pasalnya keberadaannya dianggap mengganggu aktifitas para nelayan.
“Sebetulnya, PPI Amurang hanya diperuntukan untuk para nelayan. Selain itu juga area tersebut menjadi kawasan perikanan tangkap oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dengan demikian, sudah sepantasnya perusahaan itu memikirkan untuk pindah lokasi yang tidak mengganggu aktifitas lainnya,” tegas Meiky Rumagit, warga Ranoiapo Jumat (30/09).
Menurut Kabag SDA Setdakab Minsel Sam Slat bahwa, penegasan penolakan juga tertuang dalam surat bupati tertanggal 06 September 2011, “intinya sudah tidak diperbolehkan ada aktifitas aspal curah do PPI Amurang, ujarnya dibenarkan Camat Amurang Barat Handrie Lumapow, selaku pemerintah yang “berkuasa” di wilayah tersebut.
Menariknya, pihak perusahaan Detty Worek berkilah bahwa aktifitas bongkar muat aspal curah tersebut tidak dilakukan di dermaga, melainkan dilakukan dalam posisi kapal di luar kawasan dermaga, dan sudah memberikan uang kompensasi kepada Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Minsel sebesar 2,5 juta sekali muat.
“Lihat saja, kemarin kami tidak lagi melakukan aktifitas di kawasan dermaga itu, karena memang sudah dilarang, makanya kita tidak memberikan uang bongkar hanya saja sebelum pembongkaran terakhir ini, dalam pemuatan aspal curah sebelumnya, kita memberikan uang “biaya bongkar” kepada Kepala DKP melalui bendaharanya,” ungkap Worek ketika dihubungi via hand phone, Jumat (30/9).
Menurut Worek lagi, kegiatan perusahaan yang sudah berjalan sekitar setahun lebih itu sudah melakukan aktifitas bongkar muat sebanyak empat kali, dua kali di era Bupati Ramoy Luntungan, sekali pada jaman Plt Bupati Onibala, dan terakhir kali pekan lalu, dengan total investasi Rp 20 miliar, dan kompensasi ke Pemkab Minsel lewat MoU sebesar Rp 100 juta, dan lamanya operasi sampai 20 tahun.
Kepala DKP Minsel Ir Arifin Kiay Demak ketika dikonfirmasi, tak menampiknya, namun dirinya sempat kesal karena tudingan miring tersebut. Jangan semabarangan ba tudu, memang ada yang membayar karena memang sudah diatur dalam Perda yakni Biaya Labuh Tambat. Tapi nilainya tidak sekecil itu, dan saya tidak pernah terima uang tersebut,” tegas Ariffin. (ape)