Manado – Bencana alam silih berganti terjadi di bumi Indonesia tercinta, mulai dari ujung barat di mana terjadi gempa diikuti oleh tsunami di Provinsi Aceh (tahun 2004) dan Provinsi Sumatera Barat (tahun 2009), di Indonesia bagian tengah dimana terjadi bencana gempa di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (tahun 2006), dan juga di ujung Timur Indonesia dimana terjadi bencana banjir di Provinsi Papua Barat yang menewaskan lebih dari 148 orang (tahun 2010).
Provinsi Sulawesi Utara juga tidak luput dari bencana alam. Belum lepas dari ingatan kita, ketika terjadi bencana banjir dan longsor pada bulan Februari 2013 yang menewaskan setidaknya 10 korban jiwa dan mengakibatkan tidak kurang dari 41.863 jiwa harus mengungsi karena kehilangan tempat tinggalnya.
Beban dari seorang korban bencana alam tentu sangatlah berat, mereka bukan hanya kehilangan harta-benda dan juga sanak saudara, bahkan ada di antara para korban yang juga kehilangan semangat untuk memulai hidupnya kembali. Ketika terjadi bencana, relatif bantuan pelayanan kesehatan secara fisik cukup tersedia, namun seringkali pelayanan kesehatan jiwa terkesan diabaikan.
Padahal selain diberikan pengobatan secara fisik, mereka juga sangat membutuhkan pendampingan dalam upaya menata kembali hidup mereka dan menjaga agar jiwa mereka tidak terganggu ketika harus menghadapi cobaan hidup yang maha dahsyat itu.
Aditya Anugrah Moha (ADM), sebagai anggota Komisi IX-DPR RI yang berasal dari Daerah Pemilihan Sulawesi Utara ditugaskan oleh Fraksi Partai Golkar untuk ikut serta di dalam Panitia Kerja Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa (Panja Keswa).
Salah satu tujuan dari akan disahkannya RUU tentang Keswa tersebut adalah memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama mereka yang menjadi korban bencana alam.
Sebagai anggota Panja Keswa, ADM banyak mencari referensi tentang kesehatan jiwa, termasuk pelayanan kesehatan jiwa di dalam fase bencana. ADM sangat prihatin dengan kenyataan bahwa anggaran untuk pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia masih sangat rendah, masih kurang satu persen dari total anggaran kesehatan nasional. “Padahal total anggaran kesehatan nasional di dalam APBN sendiri masih sangat jauh dari amanat UU Kesehatan yang menyatakan bahwa anggaran kesehatan minimal 5% dari total APBN. Saat ini, anggaran kesehatan untuk tahun 2013 baru mencapai sekitar 2.1% dari total APBN,” ujarnya.
ADM beserta seluruh anggota fraksi Partai Golkar, terutama yang duduk di Komisi IX, tidak pernah bosan untuk mendorong Pemerintah meningkatkan anggaran kesehatan di dalam APBN.
Selain anggaran kesehatan jiwa yang masih sangat rendah, ADM juga menemukan fakta yang cukup menyedihkan selama penyusunan RUU tentang Kesehatan Jiwa ini, antara lain adalah jumlah Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Indonesia masih tinggi.
“Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menyatakan bahwa jumlah penderita gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai satu juta orang, sementara 19 juta lainnya mengalami gangguan jiwa ringan atau sedang. Bahkan, Kementerian Kesehatan memperkirakan masih ada tidak kurang 18.000 kasus pemasungan di Indonesia,” tuturnya.
Selain itu, masih sangat kurangnya jumlah ahli kesehatan jiwa di Indonesia juga masih sangat rendah saat ini jumlah psikiater di Indonesia yang hanya sekitar 660 orang. Ini artinya seorang psikiater di Indonesia harus melayani 400.000 penduduk, sedangkan idealnya satu orang psikiater melayani 30.000 penduduk. Belum lagi tidak semua provinsi di Indonesia mempunyai rumah sakit jiwa, masih ada sekitar 8 provinsi yang belum mempunyai rumah sakit jiwa, dua di antaranya ada di Pulau Sulawesi, yaitu Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Barat.
Melalui RUU tentang Kesehatan Jiwa yang sedang disusun ini, ADM berharap agar supaya pelayanan kesehatan jiwa dapat diperbaiki serta perlindungan terhadap ODGJ, para tenaga kesehatan jiwa yang berinteraksi langsung dengan pasien ODGJ, dan para keluarga ODGJ dapat ditingkatkan.
ADM juga akan berusaha fokus agar RUU tentang Kesehatan Jiwa ini dapat meningkatkan upaya preventif dan promotif dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi kepada masyarakat agar mereka lebih paham untuk melakukan deteksi dini terhadap kemungkinannya terjadi gangguan jiwa kepada seseorang. “Upaya promotif dan preventif tersebut tentu harus dititikberatkan di fasilitas pelayanan kesehatan dasar seperti Puskesmas dengan melibatkan masyarakat sekitar,” kata putra Totabuan ini.
Salah satu hambatan dalam pemberian pelayanan kesehatan jiwa adalah masih adanya stigma di masyarakat bahwa penderita gangguan jiwa harus dikucilkan, hal ini menyebabkan sebagian orang enggan untuk mencari bantuan padahal mereka sadar bahwa mereka butuh bantuan agar terhindar dari gangguan jiwa. Dengan mengedukasi masyarakat dan melibatkannya dalam upaya pemberian pelayanan kesehatan jiwa, diharapkan pada masa mendatang orang tidak lagi malu untuk berobat ketika kesehatan jiwanya merasa terganggu, karena sesuai pepatah, “tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa”
ADM berharap agar seluruh rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Sulawesi Utara, dapat selalu mendukung dan mengawasi ADM dalam menunaikan tugasnya sebagai wakil rakyat. “Saya berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk mengawal RUU tentang Kesehatan Jiwa ini agar segera dapat disahkan dan dapat memberikan manfaat positif yang nyata diterima oleh masyarakat, khususnya bagi ODGJ, para tenaga kesehatan jiwa, serta keluarga ODGJ,” kunci alumnus Fakultas Kedokteran Unsrat Manado ini. (*)