Manado, BeritaManado.com – COVID-19 adalah penyakit baru, sehingga para ahli pun masih terus mempelajari perilakunya.
Hal ini membuat wabah COVID-19 sejak awal disertai oleh sebuah fenomena lain yang disebut dengan “infodemi”.
Istilah ini merujuk pada ‘wabah’ berupa informasi palsu dan menyesatkan, seperti klaim bahwa mengenakan masker menghambat pernapasan.
Akibatnya, banyak orang mengalami kesulitan menemukan informasi terbaru dan hal ini menjadi celah yang dimanfaatkan oknum untuk mendapatkan keuntungan dengan menyebarkan kabar palsu.
Berikut tiga contoh hoax viral terkait Covid-19:
1. Pandemi Covid-19 hanya sandiwara
Beredar sebuah pesan berantai di WhatsApp yang menyatakan bahwa komunitas Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengeluarkan sebuah pernyataan ilmiah tentang pandemi Covid-19 yang hanya merupakan sebuah sandiwara.
Dalam pesan tersebut juga disebutkan bahwa beberapa negara seperti Swedia, Chechnya, dan Tajikistan sama sekali tidak memiliki kasus Covid-19 karena negara-negara tersebut telah menolak imbauan dari WHO.
Lebih lanjut, pesan berantai tersebut juga mengimbau masyarakat untuk mengikuti beberapa langkah yang disarankan oleh komunitas IDI, yaitu hanya memakai masker ketika tidak sedang berbicara, tidak berlebihan membatasi pergerakan masyarakat, serta membuka kembali institusi pendidikan.
Berdasarkan hasil penelusuran, pesan berantai tersebut bukan dari IDI. Melansir dari Liputan6, Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar IDI, Dr. Adib Khumaidi, SpOT menegaskan bahwa IDI tidak pernah mengeluarkan pernyataan seperti yang dimuat dalam pesan berantai tersebut.
Klaim bahwa Swedia, Chechnya, dan Tajikistan sama sekali tidak memiliki kasus Covid-19 juga tidak benar.
Terhitung hingga 23 Juni 2021, Swedia telah melaporkan 1.084.636 kasus Covid-19, Chechnya telah melaporkan 12.553 kasus, dan Tajikistan telah melaporkan 13.731 kasus.
Pesan berantai serupa juga pernah beredar pada Maret 2021 lalu. Artikel dengan topik tersebut telah dimuat dalam situs turnbackhoax.id dengan judul artikel “[SALAH] “Tulisan ini dari kawan-kawan komunitas IDI (Ikatan Dokter Indonesia)” yang diunggah pada 24 Maret 2021.
Dengan demikian, pesan berantai yang beredar di WhatsApp mengatasnamakan IDI tersebut dapat dikategorikan sebagai Konten yang Menyesatkan/Misleading Content.
2. Vaksinasi dapat menyebabkan varian baru virus Corona.
Beredar postingan di Twitter oleh akun @Incredibhaarat, yang memposting narasi dari pernyataan seseorang ahli virologi dan pemenang Nobel Prize dari Prancis, Luc Montagnier, yang menyatakan bahwa vaksinasi dapat menyebabkan varian baru virus Corona.
Postingannya juga disertai video berdurasi 45 detik sebagai bukti.
Dalam video 45 detik tersebut, ahli virologi dari Prancis Luc Montagnier menyatakan jika vaksinasi dapat menyebabkan varian virus Corona baru, Luc juga mengklaim bahwa tingginya vaksinasi di sebuah negara berbanding lurus dengan kenaikan jumlah pasien terinfeksi COVID-19.
Postingan @Incredibhaarat beredar di tengah agenda vaksinasi yang dilakukan sebagian besar negara untuk menghentikan pandemi COVID-19.
Setelah dilakukan penelusuran fakta terkait, sejumlah ahli menyatakan bahwa klaim vaksinasi akan menciptakan varian baru virus Corona adalah TIDAK BENAR.
World Health Organization (WHO) menjelaskan, vaksinasi tidak dapat menyebabkan virus Corona asli bermutasi menjadi varian baru.
Hal yang menyebabkan virus Corona bermutasi adalah karena virus menyebar secara luas dalam populasi yang besar, serta menginfeksi banyak orang.
“Semakin banyak peluang yang dimiliki virus untuk menyebar, semakin banyak ia bereplikasi – dan semakin berpeluang untuk mengalami perubahan,” ungkap WHO.
Lebih lanjut, dilansir dari Reuters, Dr. Robert Bollinger, seorang spesialis penyakit menular di Fakultas Kedokteran Universitas Johns Hopkins menjelaskan kepada Reuters melalui email bahwa, dibandingkan orang yang tidak divaksin, orang yang sudah divaksin akan cenderung kebal terhadap infeksi virus Corona varian baru dan tidak berpotensi menyebarkan varian pula.
Dr. Bollinger juga menjelaskan, orang-orang yang tidak divaksinasi lebih rentan terinfeksi virus, dan dari orang terinfeksi tersebut akan menyebarkan lagi ke orang-orang yang tidak divaksin.
Penyebaran dalam tingkat tinggi itulah yang kemudian menciptakan mutasi baru virus Corona hingga menjadi varian baru. Lebih dari 99,9% dari semua varian virus Corona berasal dari dan menyebar ke orang yang tidak divaksin.
Berdasarkan data yang terkumpul dapat disimpulkan bahwa, klaim @Incredibhaarat adalah HOAX dan termasuk kategori Konten yang Menyesatkan.
3. Orang tanpa gejala tidak dapat menularkan penyakit dan kekebalan usai vaksinasi
Beredar di media sosial Facebook sebuah artikel yang diklaim merupakan pernyataan berkaitan dengan hasil penelitian dari Dr. Michael Yeadon seorang bekas ketua saintis di firma vaksin pFizer.
Dalam artikel tersebut ada beberapa Point yang disebutkan.
Poin pertama bahwa orang tanpa gejala tidak dapat menularkan penyakit. Faktanya, laporan dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat pada Maret tahun ini memperkirakan bahwa 50 persen penularan covid-19 terjadi sebelum orang mengembangkan gejala, sementara 30 persen orang yang terinfeksi tetap bebas gejala.
Poin kedua berkaitan dengan varian, dalam artikel tersebut dikatakan bahwa orang yang telah melakukan vaksin tubuhnya akan kebal terhadap varian baru virus Covid 19.
Faktanya Uji klinis menunjukkan vaksin Pfizer / BioNTech, misalnya, 95% efektif mencegah infeksi covid 19.
Namun, penelitian selanjutnya yang dilakukan di Qatar menunjukkan bahwa itu mungkin kurang efektif sekitar 75% efektif jika dibandingkan dengan varian Afrika Selatan.
Ketiga berkaitan dengan vaksin, yeadon mengklaim bahwa vaksin Covid 19 memberikan efek samping mengerikan hingga kematian.
Setelah dilakukan penelusuran berkaitan dengan klaim tersebut, ditemukan fakta bahwa penerima vaksin covid 19 di AS sejak 14 Desember 2020 hingga 29 Maret 2021 mencapai 145 juta dosis.
Lalu ada 2.509 kematian (0,0017 persen) kematian bagi orang yang sudah divaksin.
Bahkan menurut laporan data dari CDC dengan mempertimbangkan akta kematian, otopsi, dan catatan medis tidak ada bukti bahwa vaksin berkontribusi pada kematian.
Dengan demikian informasi yang beredar di whatsapp terkait klaim dari yeadon tersebut tidak benar, sehingga informasi tersebut masuk dalam kategori konten yang menyesatkan.
TERTINGGI DI ASIA
Data yang dihimpun dari Unicef, Indonesia, salah satu negara dengan angka kasus hoax tentang COVID-19 tertinggi di Asia.
Sebuah survei nasional yang dilaksanakan pada tahun 2020 menemukan bahwa antara 64 hingga 79 persen responden tidak dapat mengenali misinformasi di dunia maya.
Mayoritas responden di dalam survei yang dilaksanakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Katadata Insight Center (KIC) ini juga menyatakan media sosial sebagai sumber informasi mereka yang utama.
Dampak dari misinformasi yang menjadi viral tidak berhenti di ranah media sosial.
Pengguna media sosial yang menemukan dan memercayai hoaks di sebuah platform daring sering kali menyampaikan kembali kabar itu kepada orang lain secara pribadi.
Akibatnya, rasa takut dan cemas serta informasi keliru perihal pengobatan menjalar melampaui media sosial.
Isu mengenai hoaks Covid-19 mendominasi pemberitaan sejak pandemi 2020.
Kementerian Kominfo mencatat sebanyak 5.829 hoaks seputar Covid-19 beredar di media sosial, dengan temuan isu mencapai 2.171 konten per 17 April 2022.
Hoaks seputar Covid-19 beredar lewat Facebook mencapai 5.109 unggahan, Twitter sebanyak 577 unggahan, YouTube mencapai 55 unggahan, Instagram dengan 52 unggahan, dan TikTok dengan 36 unggahan.
Kemkominfo pun telah menangani hoaks seputar Covid-19 untuk menghentikan sebarannya, pada periode yang sama sebanyak 5.599 hoaks seputar Covid-19 telah ditindaklanjuti dan 767 konten telah diserahkan ke penegak hukum.
Sebaran hoaks seputar Covid-19 yang terus meningkat harus diwaspadai, agar masyarakat tidak dirugikan karena mempercayai informasi palsu.
Jumlah sebaran hoaks seputar Covid-19 pada 17 April 2022 mengalami kenaikan dibandingkan pada 16 April 2022, dimana sebanyak 5.825 hoaks seputar Covid-19 beredar di media sosial dan temuan isu mencapai 2.171 konten pada 16 April 2022.
Masyarakat Anti Fitnah (Mafindo) menemukan hoax yang berkaitan dengan pandemi Covid-19 di tanah air.
Presidium Mafindo Bidang Periksa Fakta Eko Juniarto mengatakan, ada sejumlah hoax yang melibatkan anak-anak di tengah pandemi Covid-19.
Berita seorang anak di China yang disuapi berudu hidup sempat viral di media sosial.
Berita tersebut ditulis dengan narasi “Korelasi video anak disuapi berudu hidup dengan virus corona”.
Mafindo menegaskan, hal tersebut tidaklah benar karena foto tersebut diambil pada April 2018, atau sebelum pandemi Covid-19.
“Ini anak kecil diberikan cebong ini sebenarnya kejadian viral April 2018. Ini kemudian diviralkan lagi Januari 2020, seolah-olah ini virus di China”, ungkap Eko saat berbicara di forum World Vaccine Update (26/7).
Selain itu, beredar pula sebuah foto seorang dokter yang berfoto dengan anaknya.
Foto tersebut ditulis dengan narasi “Foto terakhir dokter Hadio berdiri di depan pagar menemui anak sebelum meninggal karena Covid-19”.
Mafindo pun menepis isu tersebut, menurut Eko hal tersebut tidaklah benar karena dokter tersebut bukanlah dokter Hadio.
“Foto terakhir dokter Hadio berdiri di depan pagar menemui anak sebelum meninggal. Tapi ini dokter dari Malaysia, bukan dokter Hadio,” ujarnya.
Banyaknya hoax yang beredar, membuat informasi yang sampai di masyarakat menjadi simpanan siur.
Oleh karena itu, masyarakat diminta untuk memeriksa dan menganalisa betul informasi sebelum disebarluaskan.
Peran literasi digital pun sangat penting, karena dengan literasi digital mampu membuat kita untuk berpikir kritis, kreatif, dan inovatif dalam menghadapi masalah yang sedang terjadi.
Literasi digital juga mampu membantu dalam memecahkan masalah, berkomunikasi menjadi lebih lancar, dan juga mampu berkolaborasi dengan lebih banyak orang.
Literasi digital sendiri dapat diartikan sebagai kecakapan menggunakan media digital dengan beretika dan bertanggungjawab untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi.
Semboyan “jempolmu, harimaumu” kini terasa semakin nyata dalam menyikapi informasi yang beredar di dunia maya.
(***/Finda Muhtar)