
Manado, BeritaManado.com – Gelombang pemusnahan dan penangkapan terkait produksi Captikus yang terus terjadi akhir-akhir ini telah menciptakan kekhawatiran besar di kalangan petani dan pengepul Captikus di Sulawesi Utara.
Captikus adalah minuman tradisional berbahan dasar nira pohon Aren.
Saat ini, Captikus kerap diperlakukan seolah-olah sebagai produk ilegal tanpa kejelasan aturan, meski merupakan warisan budaya dan sumber penghidupan utama ribuan warga.
“Yang dialami Petani hari ini adalah bentuk dari kriminalisasi dan pemusnahan masa depan Captikus,” ungkap Hizkia Rantung, Ketua Perhimpunan Peduli Captikus (PULINCA).
Padahal, kata dia, Captikus sudah ratusan tahun menghidupi masyarakat.
“Tidak sedikit anak petani yang sukses dalam dunia pendidikan dan pekerjaan hasil dari Captikus,” ujar dia.
“Petani dibuat bingung, di satu sisi dikejar aparat, di sisi lain pemerintah berbicara soal ekspor,” katanya.
Lanjut dia, ketidakpastian pasar dan belum adanya regulasi jelas membuat para petani Captikus terus berada dalam tekanan, baik secara ekonomi maupun hukum.
Dalam beberapa razia, produk Captikus disita dan dimusnahkan, tanpa memandang bahwa di balik itu terkandung nilai-nilai kehidupan, ribuan keluarga bergantung karenanya.
Lebih jauh, Hizkia menyoroti ironi dari narasi pemerintah.
“Gubernur Sulut dalam berbagai kesempatan telah menyatakan niat mulia untuk membawa Captikus ke pasar internasional. Kami sangat mendukung langkah itu,” kata Hizkia.
“Tapi, sebelum bicara ekspor, yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah hentikan kriminalisasi dan hadirkan regulasi yang adil,” ucapnya.
Untuk itu, menurut Hizkia, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara didesak segera merumuskan Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Gubernur (Pergub).
“Regulasi ini akan mengatur aspek legalitas produksi, distribusi, hingga pengemasan dan pemasaran Captikus,” ucap Hizkia.
Regulasi tersebut lanjut dia, tidak hanya penting untuk melindungi petani dan pengepul lokal, tetapi juga menjadi landasan menuju industrialisasi produk lokal berbasis budaya.
“Kami tidak menutup mata terhadap potensi penyalahgunaan. Tapi solusi bukan pemusnahan, melainkan pengaturan, hadirkan payung hukum,” ucap Hizkia.
“Captikus bisa menjadi aset ekonomi dan budaya, asalkan negara hadir untuk melindungi, bukan menghancurkan,” pungkasnya.
(***/TamuraWatung)