Jakarta, BeritaManado.com — Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tegaskan imunisasi ganda atau lebih dari satu jenis vaksin tidak akan menyebabkan kematian pada anak.
Bahkan sebaliknya, pemberian lebih dari satu antigen vaksin akan bisa memberikan perlindungan ganda.
Hal ini sesuai rekomendasi Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI).
ITAGI menyebutkan bahwa imunisasi ganda aman dan memberikan manfaat yang sangat baik karena pelayanan imunisasi akan menjadi efisien.
Dalam hal ini, seorang anak akan segera terlindungi dari beberapa Penyakit yang dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) dalam sekali kunjungan.
Sementara Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan RI, dr Prima Yosephine MKM mengatakan bahwa suntikan imunisasi ganda tidak hanya diterapkan di Indonesia.
“Imunisasi ganda tidak menyebabkan kematian. Miliaran vaksin telah diberikan dengan cara imunisasi ganda di seluruh dunia,” jelas Prima seperti dilansir dari suara.com jaringan beritamanado.com, Rabu (3/7/2024).
“Lebih dari 160 negara memberikan minimal dua suntikan dalam satu sesi imunisasi dalam jadwal imunisasi rutinnya, termasuk Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dan Kanada. Di Indonesia sendiri, di Provinsi Yogyakarta, imunisasi ganda di Provinsi Yogyakarta sudah diterapkan sejak tahun 2007,” lanjut Prima.
Menilik skala nasional, sejak 2017 Indonesia telah memperkenalkan pemberian imunisasi ganda sejak.
Hal ini seperti pada jadwal imunisasi DPT-HB-Hib-3 yang diberikan bersamaan dengan imunisasi polio suntik Inactivated Poliovirus Vaccine atau IPV pada bayi usia 4 bulan.
Demikian juga pada imunisasi lanjutan, yakni pada pemberian imunisasi campak rubella-2 dan DPT-HB-Hib-4 yang diberikan pada anak usia 18 bulan.
Adapun vaksin DPT-HB-HiB diberikan guna mencegah 6 penyakit, antara lain difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, serta pneumonia atau radang paru dan meningitis alias radang selaput otak yang disebabkan infeksi kuman Hib.
Di sisi lain, kasus kematian setelah pemberian imunisasi, kata Prima, sangat jarang terjadi alias termasuk extremely rare.
Sementara bila kondisi itu terjadi maka wajib dilakukan investigasi dan kajian kausalitas alias hubungan sebab akibat secara detail dan menyeluruh.
“Sampai saat ini data menunjukkan, mayoritas kasus-kasus tersebut adalah kejadian koinsidental, Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang tidak disebabkan oleh vaksin maupun kesalahan prosedur,” papar Prima.
Di pihak lain, Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI), Prof Dr dr Hindra Irawan Satari SpA(K) MTropPaed juga menegaskan, imunisasi sudah direkomendasikan sejak tahun 2003 dan tidak menyebabkan kematian.
“Hampir semua vaksin dapat diberikan secara ganda. Pemberian lebih dari 3 jenis antigen tidak akan menyebabkan kematian,” tegasnya.
“Kombinasi apapun secara umum tepat untuk dilakukan. Efek yang timbul umumnya ringan, berlangsung singkat dan sembuh dengan atau tanpa pengobatan,” sambung Prof. Hindra.
Sementara soal potensi efek imunisasi yang berkaitan dengan kematian, kata Prof Hindra, terdapat kondisi KIPI berat yang dinamakan syok anafilaktik.
Sedangkan reaksi anafilaktik akibat vaksinasi tersebut jarang terjadi di masyarakat.
Dijelaskannya, jika penerima vaksin mengalami KIPI berat maka akan menunjukkan gejala yang parah dan biasanya tidak berlangsung lama setelah imunisasi dilakukan seperti kecacatan, syok anafilaktik dan alergi.
Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan yang cepat dan tepat.
“KIPI berat imunisasi adalah syok anafilaktik yang timbul 30 menit setelah imunisasi,” terangnya.
Terkait hal ini, menurut Prima, syok anafilaktik setelah imunisasi ini bisa terjadi dalam hitungan menit setelah vaksin diberikan dan lagi-lagi kondisi ini sangat jarang terjadi.
“Kasus anafilaktik sangat jarang terjadi dan mayoritas dapat menyebabkan kematian segera setelah pemberian imunisasi, biasanya dalam 30 menit pertama. Namun, hal ini tetap harus dibuktikan melalui investigasi dan kajian kausalitas yang mendalam atau menyeluruh,” pungkas Prima.
(jenlywenur)