Minsel – Indonesian Corruption Watch (ICW) melaporkan ada setidaknya 40 bupati yang terjerat tindak pidana korupsi. Lalu, Departemen Dalam Negeri malah menyatakan bahwa ada tujuh gubernur, tiga wakil gubernur, dan 62 bupati/walikota tersangkut perkara korupsi hingga tahun 2007 lalu. Sementara, akhir 2009
lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka informasi kepada masyarakat perihal kasus-kasus korupsi yang menimpa puluhan pejabat di daerah. Berdasar laporan KPK, setidaknya ada 19 bupati/walikota yang tersangkut perkara korupsi (data belum memasukkan wakil bupati/walikota). Menurut Wakil Ketua KPK M. Jasin, kasus-kasus korupsi tersebut paling banyak terjadi karena modus penyalahgunaan APBD (misalnya penggunaan DAK dan DAU) dan pengadaan barang-barang, jasa, serta sarana dan prasarana di daerah yang tidak sesuai dengan prosedur.
Banyaknya kasus korupsi yang menjerat para pejabat atau kepala daerah tersebut juga menjadi salah satu keprihatinan Christiany Eugenia Paruntu, kandidat bupati Minahasa Selatan dari Partai Golkar. Tetty Paruntu, demikian panggilan akrab politisi berlatar belakang pengusaha tersebut, mengakui bahwa pangkal persoalan korupsi yang menimpa para bupati itu ada dua sebab.
Pertama, bisa jadi karena praktik-praktik pengelolaan pemerintahan yang kurang cermat sehingga perilaku korup tidak terdeteksi dengan sejak dini.
“Mungkin saja pejabat bersangkutan atau bawahannya tidak mengetahui aturan yang benar. Bisa juga karena tidak menyadari perbuatannya bisa dikategorikan korupsi. Atau, mungkin pelanggaran itu sudah biasa dilakukan sebelumnya. Padahal, peraturan berubah dan gerakan pemberantasan korupsi sekarang semakin intensif,” jelas Tetty. Akibat kurang paham aturan, tidak berhati-hati, dan juga karena kebiasaan buruk itulah akhirnya banyak bupati di daerah terjerat perkara korupsi.
Sebab kedua, kemungkinan adalah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri, keluarga, kelompok, atau elemen-elemen dalam partai politik yang mengusung pejabat tersebut. Bisa saja si bupati terperangkap perkara korupsi akibat “kewajiban” balas jasa kepada pihak-pihak yang telah mengusungnya menjadi pejabat. “Hal semacam itu bisa terjadi juga karena ketidakmandirian finansial pada saat mencalonkan diri,” ungkap Tetty, sembari menekankan pentingnya seorang politisi memiliki kemandirian finansial sebelum terjun ke pemilihan pejabat publik.
Lalu, bagaimana dengan program pencegahan korupsi yang hendak diusung oleh Tetty Paruntu semisal dirinya berhasil memenangkan kursi bupati Minsel? Sesuai dengan aspirasi atau masukan-masukan dari berbagai pihak, Tetty memandang bahwa kunci pencegahan korupsi adalah perbaikan internal birokrasi. “Saya harus membenahi internal birokrasi, terutama bagian pengelolaan keuangan. Saya akan mempekerjakan orang-orang yang ahli di bidang tersebut, misalnya bisa saja saya ambil dari BPKP untuk bantu saya,” tegas Tetty Paruntu, yang dikenal memiliki jaringan luas di tingkat nasional
tersebut.
“Sementara masukan agar saya memiliki staf-staf ahli untuk membenahi masalah ini juga saya perhatikan,” tutur putri sulung Prof. Dr. Jopie Paruntu, mantan Rektor Universitas Sam Ratulangi. “Saya juga akan memberikan training-training keahlian khusus kepada para staf birokrasi. Mereka harus dibekali dengan wawasan serta pengetahuan yang cukup tentang pencegahan dan penanggulangan korupsi,” tambah Tetty.
Namun, lebih dari semua itu, Tetty menekankan pentingnya leadership dalam pembenahan birokrasi. “Saya berjanji akan menjadi teladan bagi semua supaya apa yang menjadi cita-cita kita ke depan akan berhasil. Sebab, pemimpin yang baik menginspirasi pengikutnya untuk memiliki kepercayaan kepadanya. Namun, pemimpin yang besar menginspirasi pengikut mereka untuk memiliki kepercayaan kepada diri mereka sendiri. Bahwa mereka bisa membangun dengan baik, cepat, dan efektif tanpa korupsi,” tegas Tetty sembari terus memohon doa dan dukungan dari seluruh warga Minsel. Dan, semoga cita-cita dan tekad yang mulia tersebut dapat terlaksana atas bimbingan Tuhan. Amin.