Minut, BeritaManado.com – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengumumkan Kolintang masuk dalam hasil seleksi Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) Indonesia diusulkan dalam daftar Intangible Cultural Heritage (ICH) UNESCO.
Ini menjadi angin segar bagi pecinta alat musik kolintang yang telah berjuang agar kolintang sebagai alat musik yang berasal dari suku Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara bisa diakui dunia.
Kesiapan tim dalam mendukung pendaftaran Kolintang ke UNESCO dibahas bersama dalam Webinar ‘Kolintang goes to UNESCO’ yang digagas Sanggar Limeka, Kabupaten Minahasa Utara (Minut), Rabu (2/3/2022) malam.
Webinar kolintang ini didukung oleh Persatuan Insan Kolintang Nasional (PINKAN) Indonesia serta menghadirkan sejumlah narasumber yang memahami perjalanan alat musik kolintang serta unsur pemerintah yang memahami proses pendaftaran di UNESCO.
Mereka adalah akademisi yang menjabat Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia bidang kebudayaan (2011–2014) Prof. Dr. Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch., PhD, musikus kenamaan Indonesia Franki Raden, Tim Ahli Warisan Budaya Takbenda Indonesia (2016) Prof. Dr. Pudentia, MPSS, Ketua DPP PINKAN Indonesia Penni Marsetio, Pembina PINKAN Mayor Jenderal TNI (Purn.) Lodewyk Pusung, Ketua Sanggar Limeka Roring Mokoagow dan moderator budayawan asal Minut Lydia Katuuk.
Dalam dialog tersebut, salah satu poin yang menarik dibahas yaitu kolintang yang diusulkan sebagai nominasi multinasional (Jointly submission) dengan negara lain.
Diketahui, kolintang diusulkan bersama Filipina dengan alat musik kulintang karena memiliki kesamaan nama meski alat musik yang berbeda yaitu Kolintang Minahasa terbuat dari kayu sedangkan Kulintang Mindanao terbuat dari besi.
Prof. Wiendu yang juga masuk dalam tim Kolintang goes to UNESCO menyebutkan bahwa pendaftaran kolintang lewat jointly submission, adalah cara tercepat untuk terdaftar ICH UNESCO.
“Hal yang terbaik dan termudah saat ini yaitu lewat jalur multinasional karena persaingan yang lebih sedikit. Karena jika didaftarkan secara tunggal, maka harus bersaing dulu dengan rekomendasi usulan WBTb Indonesia lainnya seperti tempe, Reog Ponorogo, jamu, ulos, dan tenun,” ujar keduanya.
Sementara itu Franki menuturkan, pihaknya sudah mendiskusikan jalur multinasional dengan perwakilan Filipina dan mereka sepakat untuk sama-sama diusulkan dengan Indonesia.
“Filipina senang sekali dan bangga bisa sama-sama berjuang mendaftarkan Kulintang dan Kolintang ke UNESCO. Dan jika nanti lolos, tidak akan ada pengaruhnya untuk Indonesia. Tidak ada yang bisa saling klaim karena dua jenis alat musik ini memang berbeda,” ujar Frankia yang juga merupakan seniman jebolan jurusan musik pada Institut Kesenian Jakarta tahun (1974) serta peraih sejumlah penghargaan pada Festival Film Indonesia.
Pendaftaran secara jointly submission bersama negara Filipina ini juga disetujui oleh Ketua Umum PINKAN Indonesia Penni Marsetio dan Pembina PINKAN Mayor Jenderal TNI (Purn.) Lodewyk Pusung.
“Memang banyak tantangan, tapi setelah saya mendapat penjelasan, saya mengerti. Semoga yang ada di Manado dan komunitas-komunitas ini perlu dipahami. Awalnya memang saya menolak terkait pendaftar secara bersama dengan negara lain ini. Tetapi setelah saya mendapat penjelasan terkait hal ini saya bisa mengerti dan memang cara ini yang paling efektif untuk Kolintang goes to UNESCO. Saya berharap bagi teman-teman yang lain dan saudara, saudari, para pencinta Kolintang dapat mencari tahu dan memahami terlebih dahulu terkait cara pendaftaran Kolintang ini cara jointly submission. Besar harapan saya kita bersama berjuang untuk Kolintang goes to UNESCO,” ujar Pusung dan diiyakan Penny Marsetio.
Sementara itu, tokoh masyarakat Sulut Angelica Tengker mengharapkan agar PINKAN semakin intens melakukan sosial terkait rencana pendaftaran Kolintang lewat jalur multinasional sehingga dipahami masyarakat.
“Masyarakat khususnya di Sulut banyak yang tidak memahami dalam proses pengusulan ke UNESCO, sehingga ketika ada kabar masuk jointly submission maka ada pemikiran, kolintang sebagai identitas masyarakat Minahasa seolah-olah hilang, bukan milik Minahasa lagi dan mungkin akan diklaim oleh Filipina. Mungkin Pinkan bisa menjelaskan sehingga keresahan ini tidak perlu muncul,” pesan Tengker.
(Finda Muhtar)