Manado, BeritaManado.com — Tahun 2020 dan 2021 merupakan tahun yang penuh tantangan di mana negara-negara di dunia secara bersamaan berjuang untuk mencegah penyebaran virus Covid-19.
Pertumbuhan Ekonomi
Sejumlah strategi telah ditempuh dalam rangka menekan angka penyebaran virus, beberapa negara mengambil langkah pengetatan dan pembatasan aktivitas masyarakat.
Sebagai hasilnya, angka pertumbuhan ekonomi di beberapa negara di dunia mulai mengalami perbaikan, khususnya pada triwulan I dan II 2021.
Namun, sayangnya, pada awal tahun tersebut pula, muncul varian virus Covid-19 baru, yaitu Varian Delta dengan kecepatan penyebaran/penularan 6 kali lebih cepat dibandingkan yang sebelumnya.
Negara maju maupun negara berkembang pun kembali memberlakukan pembatasan.
Sebagai dampak dari penurunan aktivitas masyarakat, lagi-lagi kinerja perekonomian dari negara-negara di dunia melambat.
Hal ini terjadi terutama pada mitra dagang utama Sulut, di mana pertumbuhan ekonomi dari negara-negara tersebut cenderung melambat pada triwulan III (TwIII) 2021.
Program PPKM yang diimplementasikan hampir sepanjang triwulan III 2021 untuk mencegah penyebaran Varian Delta juga telah menahan kinerja perekonomian nasional.
Pada TwIII 2021 perekonomian nasional tumbuh 3,51% (yoy), tetap positif meskipun cenderung melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 7,07% (yoy).
Pembatasan aktivitas sosial ekonomi masyarakat mendorong perlambatan realisasi konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh 1,01% (yoy) pada Tw-III 2021.
Sejalan dengan peningkatan ketidakpastian, investasi dan konsumsi pemerintah juga cenderung tumbuh melambat pada Tw-III 2021.
Meskipun demikian, ekspor yang masih tumbuh tinggi menjaga kinerja perekonomian nasional tetap positif.
Secara garis besar, sebagian besar provinsi di Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan pada Tw-III 2021 sebagai dampak dari pemberlakuan PPKM, termasuk Provinsi Sulawesi Utara.
Sebagaimana dampak pemberlakuan pembatasan yang terjadi pada negara maju dan berkembang lainnya, demikian jugalah yang dialami oleh Provinsi Sulawesi Utara.
Setelah 1 tahun terdampak pandemi, tahun 2021 sesungguhnya merupakan tahun bangkitnya perekonomian Sulawesi Utara.
Setelah mengalami pertumbuhan negatif selama 3 (tiga) triwulan berturut-turut pada tahun 2020, perekonomian Sulut tumbuh 1,87% (yoy) pada triwulan I dan 8,49% (yoy) pada triwulan II 2021.
Penurunan kurva kasus Covid-19 Sulut antara Februari hingga Juni telah meningkatkan kembali aktivitas masyarakat sehingga mendorong kenaikan permintaan domestik.
Kondisi ini ditunjukkan oleh konsumsi rumah tangga yang tumbuh kuat pada semester I 2021.
Selain itu, realisasi belanja modal pemerintah dan investasi swasta yang tumbuh signifikan menjadi pendorong utama perekonomian Sulut pada semester I 2021.
Hal itu dijelaskan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Utara Arbonas Hutabarat dalam Diskusi Akhir Tahun Perbankan dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Sulawesi Utara, pekan lalu.
Arbonas menjelaskan, dari sisi eksternal, membaiknya perekonomian negara mitra dagang utama dan tren kenaikan harga komoditas meningkatkan ekspor luar negeri, khususnya ekspor minyak nabati yang merupakan komoditas utama ekspor luar negeri Sulut.
Dari sisi lapangan usaha, pemulihan terjadi pada lapangan usaha Transportasi dan Perdagangan yang terkait erat dengan peningkatan mobilitas masyarakat.
Sedangkan membaiknya realisasi belanja modal APBD dan APBN menjadi pendorong kinerja sektor konstruksi, yang terindikasi dari kenaikan pengadaan semen di Sulut.
Adapun pulihnya permintaan eksternal mendorong perbaikan kinerja lapangan usaha industri pengolahan di hilir maupun lapangan usaha pertanian termasuk perkebunan di hulu.
Namun demikian, varian delta Covid-19 yang menyebar dengan cepat menyebabkan proses pemulihan perekonomian kembali terhambat.
PPKM kembali diberlakukan di Indonesia sepanjang Juli-September 2021, sehingga kinerja perekonomian nasional dan daerah kembali tertahan.
Alhasil, pada triwulan III, perekonomian Sulut tumbuh melambat sebesar 3,15% (yoy) sejalan dengan perlambatan realisasi konsumsi dan mobilitas masyarakat.
Realisasi anggaran pemerintah pun tidak bisa secepat pada semester I.
Demikian pula permintaan negara-negara mitra dagang yang menurun sehingga menyebabkan pertumbuhan ekspor Sulut kembali melambat pada triwulan III.
“Meski demikian, kami menilai perekonomian Sulut masih berada dalam arah lintasan perbaikan sebagaimana ditunjukkan oleh pertumbuhan kumulatif triwulan III 2021 sebesar 4,45% (ctc),” ujar Arbonas.
Memasuki triwulan IV 2021, ekonomi diprakirakan menguat seiring dengan penurunan kasus aktif Covid-19 dan percepatan vaksinasi di Sulawesi Utara.
Kinerja industri dan pertanian diperkirakan tetap tumbuh positif sejalan dengan tren positif ekspor komoditas andalan Sulut.
Percepatan realisasi belanja modal maupun operasional baik yang bersumber dari APBD maupun APBN juga diperkirakan akan meningkat sesuai dengan pola musimannya dan menjadi salah satu sumber pertumbuhan perekonomian Sulut.
Berlanjutnya pemulihan ekonomi Sulut akan ditunjang stabilitas sistem keuangan yang tetap terjaga dan tumbuh positif.
Sampai dengan September 2021 penyaluran kredit yang berlokasi proyek di Sulut tercatat tumbuh 9,86% (yoy) dengan kualitas penyaluran kredit yang terjaga dengan rasio NPL sebesar 2,93%.
Kabar baiknya, kredit modal kerja tercatat tumbuh paling tinggi yang mengindikasikan tanda-tanda pulihnya dunia usaha.
Bercermin dinamika tahun 2021, terbatasnya aktivitas dan mobilitas masyarakat berpengaruh signifikan pada proses pemulihan ekonomi, sedangkan proses vaksinasi berperan penting dalam mengawal peningkatan aktivitas di tengah kondisi pandemi yang masih berlangsung.
Memasuki tahun 2022, aktivitas masyarakat masih akan menjadi kunci perbaikan perekonomian daerah.
Kenaikan kasus aktif Covid-19 diharapkan tidak terjadi lagi pada 2022.
Tingkat vaksinasi yang relatif tinggi merupakan modal besar bagi perekonomian Sulut untuk menjaga aktivitas yang mendukung normalisasi konsumsi domestik.
Selain itu, mobilitas diperkirakan akan berangsur mendekati level sebelum pandemi sehingga berdampak positif terhadap dua lapangan usaha utama Sulut yaitu transportasi dan perdagangan.
Selain itu, harga komoditas yang masih tinggi akan menjaga insentif produksi pada industri pengolahan dan perkebunan sebagai bahan baku.
Kinerja perikanan diperkirakan membaik seiring menurunnya anomali cuaca pada 2022.
Dari sisi perbankan, percepatan penyaluran kredit menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun demikian, masih terdapat beberapa risiko perekonomian daerah yang perlu diperhatikan yaitu ketidakpastian perekonomian global yang relatif masih tinggi, risiko gangguan mata rantai global serta risiko biaya logistik yang berada pada level tinggi di samping risiko penyebaran Covid-19 yang masih mengancam.
Gangguan mata rantai global berdampak pada risiko perubahan sourcing produksi di berbagai negara.
Sementara itu, kenaikan biaya logistik berisiko menurunkan daya saing komoditas strategis Sulut.
“Memperhatikan perkembangan data-data indikator perekonomian terkini, kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi Sulut menguat pada tahun 2021 yaitu akan berada pada kisaran 4,2% s.d 5,0% (yoy) dan terus menunjukkan perbaikan pada kisaran 4,5 – 5,5 % (yoy) pada tahun 2022,” kita Arbonas.
Inflasi
Sejalan dengan pemulihan perekonomian, tekanan inflasi di Sulawesi Utara mengalami peningkatan yang terpantau pada 2 (dua) kota pencatatan inflasi yaitu Manado dan Kotamobagu.
Kenaikan permintaan masyarakat di tengah proses adaptasi produksi dan distribusi mendorong kenaikan atau normalisasi harga di berbagai komoditas strategis.
Sejalan dengan itu, pola musiman tekanan inflasi bulanan juga kembali pada pola sebelumnya, tercermin pada kenaikan inflasi di periode HBKN Idul Fitri yang lalu seiring adanya kenaikan aktivitas masyarakat dibanding periode yang sama tahun lalu.
Di sisi lain, kebijakan stimulus konsumsi oleh pemerintah masih menekan harga-harga terutama yang diatur oleh pemerintah seperti tarif angkutan udara dan tarif listrik, yang bersamaan dengan pemberlakuan PPKM pada triwulan III 2021 sehingga mendorong inflasi tetap terkendali pada rentang sasarannya.
Meski demikian, perlu dicatat bahwa pergerakan tekanan inflasi, baik di Manado dan Kotamobagu selama tahun 2021 sebagian besar dipengaruhi oleh komoditas perikanan.
Preferensi konsumsi masyarakat Sulawesi Utara pada komoditas perikanan yang tetap tinggi di tengah distorsi pasokan dalam bentuk gangguan cuaca, menjadi faktor pendorong kenaikan tekanan inflasi.
“Selanjutnya inflasi tahun 2022 kami perkirakan akan meningkat sejalan dengan akselerasi pemulihan ekonomi daerah. Membaiknya konsumsi rumah tangga diperkirakan akan mendorong kenaikan permintaan terhadap komoditas-komoditas pangan strategis seperti BARITO dan Ikan. Sementara, berkurangnya stimulus pemerintah diperkirakan akan memberikan tekanan inflasi terutama pada tarif angkutan udara dan tarif listrik, di samping kenaikan gradual harga sub kelompok tembakau,” ungkap Arbonas.
Memperhatikan hal-hal tersebut, Bank Indonesia memperkirakan inflasi tahun 2021 tetap berada pada rentang 3,0 ± 1% (yoy).
“Sementara itu, meskipun meningkat, tekanan inflasi untuk tahun 2022 kami perkirakan masih akan terkendali pada rentang 3,0 ± 1% (yoy) baik di Manado maupun Kotamobagu,” ucap Arbonas.
Arah Kebijakan Bank Indonesia Tahun 2022
Bauran kebijakan Bank Indonesia pada tahun 2022 akan terus disinergikan dan dijadikan sebagai bagian dari arah kebijakan ekonomi nasional untuk mengakselerasi pemulihan sekaligus menjaga stabilitas perekonomian.
Secara garis besar, arah kebijakan moneter pada tahun 2022 akan lebih diarahkan untuk menjaga stabilitas (“pro-stability”), baik dalam pencapaian sasaran inflasi dan stabilitas nilai tukar, maupun stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Sedangkan 4 kebijakan lainnya akan terus diarahkan untuk dan sebagai bagian dari upaya bersama untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional (“pro-growth”).
Kebijakan Moneter
Dalam ranah kebijakan moneter, pada tahun 2022 kebijakan moneter Bank Indonesia akan lebih diarahkan untuk menjaga stabilitas dengan tetap mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Kebijakan suku bunga rendah akan tetap dipertahankan sampai terdapat indikasi awal kenaikan inflasi.
Suku bunga kebijakan Bank Indonesia saat ini sebesar 3,50% terendah dalam sejarah.
Fokus kebijakan suku bunga diarahkan pada penguatan efektivitas transmisinya pada penurunan suku bunga kredit perbankan melalui kebijakan transparansi suku bunga serta pendalaman pasar uang untuk menurunkan masih tingginya perbedaan imbal hasil SBN jangka menengah-panjang dengan suku bunga PUAB.
Normalisasi kebijakan moneter Bank Indonesia akan dilakukan dengan penurunan secara bertahap kelebihan likuiditas yang sangat besar di perbankan.
Penyesuaian likuiditas dimaksud akan dilakukan secara terukur dan sangat hati-hati agar tidak mengganggu kemampuan perbankan untuk menyalurkan kredit dan melakukan pembelian SBN, sehingga akan tetap mendukung terjaganya stabilitas moneter dan sistem keuangan serta berlangsungnya proses pemulihan ekonomi nasional.
Kebijakan Sistem Pembayaran
Bank Indonesia juga akan terus memperluas digitalisasi sistem pembayaran pada tahun 2022 untuk mempercepat integrasi ekosistem ekonomi dan keuangan digital, termasuk untuk mendorong ekonomi-keuangan inklusif.
Kebijakan sistem pembayaran akan tetap diarahkan pada lima fokus strategi pokok, yaitu percepatan konsolidasi industri sistem pembayaran; pengembangan infrastruktur sistem pembayaran yang 3I
(Interoperable, Interconnected, dan Integrated), aman, dan andal; pengembangan praktik pasar yang aman, efisien dan wajar; mempercepat persiapan penerbitan Digital Rupiah dan implementasi digitalisasi pengelolaan uang Rupiah; memperkuat sinergi dan koordinasi dengan Pemerintah (Pusat dan Daerah), perbankan, dan asosiasi baik sistem pembayaran, fintech dan e-commerce.
Langkah-langkah konkret telah dilakukan oleh pemerintah, perbankan dan Bank Indonesia untuk mendorong digitalisasi di Sulut.
Salah satunya melalui implementasi QRIS untuk mendukung pembayaran tanpa kontak.
Percepatan penggunaan QRIS terus dilakukan di seluruh wilayah Sulawesi Utara, per Desember 2021 sudah ada 122.688 merchant pengguna QRIS.
Sebagai bentuk peningkatan suplai dan fasilitasi digitalisasi akusisi merchant pengguna QRIS menjadi langkah penting dalam meningkatkan fasilitas pembayaran bagi konsumen.
Ke depan, program pengembangan QRIS akan terus dilakukan.
Melalui Program S.I.A.P QRIS diharapkan terbentuk pasar dan pusat perbelanjaan yang Sehat, Inovatif, dan Aman pakai QRIS untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Pada tahap awal melalui program yang merupakan kolaborasi antara Bank Indonesia dan Kementerian Perdagangan RI, telah diimplementasikan di 51 pasar dan 45 pusat perbelanjaan di beberapa kabupaten dan Provinsi dan selanjutnya akan diperluas ke lebih banyak pasar dan pusat perbelanjaan di seluruh Indonesia.
Di Sulawesi Utara program ini telah dicanangkan di pasar Tanawangko dan Manado Town Square.
Melalui program tersebut, diharapkan pedagang dan pengunjung dapat terbiasa melakukan transaksi pembayaran secara digital.
Pencanangan program SIAP QRIS di Tanawangko dan Manado Town Square akan menjadi awal bagi diimplementasikannya digitalisasi di seluruh pasar rakyat dan pusat perbelanjaan di Sulut.
KEBIJAKAN MAKROPRUDENTIAL
Berikutnya terkait kebijakan makroprudensial, Bank Indonesia akan melanjutkan kebijakan makroprudensial longgar pada tahun 2022 untuk meningkatkan kredit/pembiayaan perbankan guna mendukung pemulihan ekonomi nasional dengan tetap turut menjaga stabilitas sistem keuangan.
Dalam hal ini, kebijakan makroprudensial longgar melalui penetapan kembali Rasio CCyB (Countercyclical Capital Buffer), fleksibilitas pemenuhan rasio PLM (Penyangga Likuiditas Makroprudensial) sebesar 6% dengan SBN yang dimiliki untuk direpokan kepada Bank Indonesia, serta rasio FLTV/LTV KPR/KPA sebesar 100% dan uang muka KKB sebesar 0% bagi bank yang memenuhi kriteria NPL/NPF rendah akan tetap berlaku sampai dengan akhir Desember tahun 2022.
Kebijakan makroprudensial untuk meningkatkan pembiayaan perbankan seperti RIM dan transparansi suku bunga juga akan dilanjutkan dan bahkan akan diperkuat efektifitasnya dengan pengawasan makroprudensial kepada perbankan.
Kebijakan makroprudensial longgar juga akan diperluas untuk mendorong kredit/pembiayaan pada sektor-sektor prioritas sebagai bagian koordinasi kebijakan KSSK dalam pemulihan ekonomi nasional.
Rumusan dan implementasi kebijakan makroprudensial ini akan disesuaikan dengan kondisi sektor prioritas dimaksud dan kendala yang dihadapi perbankan dalam penyalurannya, antara lain dalam bentuk insentif/disinsentif GWM maupun bentuk lainnya.
9 Sektor Siap Kredit
Lebih dalam terkait respon kebijakan makroprudential, Bank Indonesia bersinergi mendorong kredit perbankan dan transformasi sektor keuangan.
Penawaran kredit perbankan relatif kondusif, suku bunga menurun, likuiditas melimpah, dan lending standard membaik sehingga kebijakan berfokus pada permintaan dunia usaha melalui akselerasi peningkatan dan kemudahan pembiayaan dari sektor keuangan kepada dunia usaha.
Dalam jangka pendek, kebijakan untuk mendorong penyaluran kredit perbankan akan difokuskan dengan mempertimbangkan kondisi baik dari sisi penawaran kredit oleh perbankan maupun sisi permintaan kredit dari dunia usaha.
Pemetaan sektor-sektor prioritas siap kredit telah dilakukan untuk memahami faktor mana yang lebih dominan dan respons kebijakan yang diperlukan.
Secara nasional, ada 9 sektor yang siap untuk menerima peningkatan pembiayaan kredit berdasarkan kondisi yang sedang dialami.
Untuk industri makanan minuman, kimia, otomotif, dan alat angkut lainnya, angka penyaluran kredit sedang mengalami peningkatan dipicu oleh faktor permintaan dari korporasi serta lembaga perbankan yang juga siap untuk membiayai.
Sementara sektor-sektor lainnya masih perlu diberikan insentif untuk mendorong kredit, baik berupa insentif di sektor riil agar prospek bisnis lebih baik, maupun insentif ke perbankan dalam bentuk jaminan kredit, insentif suku bunga, serta pelonggaran kebijakan makroprudensial.
Lebih lanjut, 4 di antara 9 sektor siap yang telah dipetakan secara nasional tersebut ternyata juga memiliki keselarasan dengan sektor yang signifikan di Sulawesi Utara yaitu, sektor perkebunan, hortikultura, tanaman pangan, dan makanan & minuman.
6 Sektor Prioritas di Sulut
Selanjutnya spesifik di Provinsi Sulawesi Utara, terdapat 6 sektor lapangan usaha utama yang berperan penting dalam menopang perekonomian Sulut, dilihat berdasarkan aspek tenaga kerja, struktur PDRB, keterkaitan sektor dan risiko penularan.
Terjaganya aktivitas ekonomi pada 6 LU ini menjadi kunci pemulihan ekonomi bagi Provinsi Sulawesi Utara.
Bahkan 3 dari LU tersebut juga telah selaras dengan pemetaan sektor siap kredit secara nasional yaitu Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan, Industri Pengolahan, dan Perdagangan.
” Dan dapat kita lihat perkembangan kredit perbankan yang diberikan kepada sektor-sektor tersebut di Sulawesi Utara selama tiga tahun terakhir. Hal ini, kami harapkan dapat menjadi referensi dan pertimbangan kepada perbankan untuk dapat meningkatkan penyaluran kredit kepada sektor-sektor tersebut,” ujar Arbonas.
RPIM dan UMKM KPJU Sulut
Selain itu, dalam rangka mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, Bank Indonesia juga akan melakukan peningkatan akses pembiayaan inklusif dan pengembangan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan Perorangan Berpenghasilan Rendah (PBR) melalui pengaturan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM).
Kebijakan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) akan terus ditingkatkan efektivitas implementasinya baik dalam bentuk upaya klasterisasi dan korporatisasi UMKM, bersinergi dengan Pemerintah, mendorong kerja sama bank dengan lembaga mitra penyalur UMKM, maupun dengan pengembangan sekuritas pembiayaan UMKM yang dapat memenuhi persyaratan.
Bank Indonesia juga bersinergi dengan Pemerintah dalam perluasan akses pembiayaan serta pengembangan UMKM, termasuk kelompok berpenghasilan rendah, dan subsisten.
Terkait UMKM di Sulawesi Utara, dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Utara merekomendasikan sejumlah Komoditas, Produk dan Jenis Usaha Unggulan UMKM Provinsi Sulut pada tahun 2021.
Komoditas-komoditas strategis tersebut ada di berbagai kabupaten/kota di Sulawesi Utara dan berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut.
Berbagai dukungan terhadap KPJU Unggulan tersebut perlu dimobilisasi, antara lain dalam bentuk program atau stimulus belanja pemerintah daerah, penyederhanaan akses pasar dan perizinan, serta tersedianya dukungan modal terutama dari perbankan.
Proses pemulihan perekonomian daerah membutuhkan sinergi antar lembaga dan pemangku kepentingan, termasuk dengan lembaga perbankan dan akademisi.
“Kami berharap, sinergi kebijakan antara Bank Indonesia dengan lembaga perbankan melalui BMPD dan akademisi melalui ISEI selaku mitra kerja di daerah dapat terus terjalin dengan baik. Pemulihan ekonomi regional perlu menjadi perhatian kita bersama. Oleh karena itu, optimisme dan perspektif positif perlu terus diperkuat untuk menyongsong masa depan ekonomi Sulut yang lebih baik,” pungkas Arbonas.
(srisurya)