(Sebuah Tinjauan Ekologis-Filosofis)

Oleh: Hermansius Jorsen, S.S
Mempersalahkan orang lain itu mudah. Namun untuk mengoreksi diri sendiri dan melihat liyan sebagai “aku” yang lain dalam kontes ekologi mengatasi persoalan sampah menjadi sebuah keniscayaan. Mengkritik liyan itu tak butuh pikiran panjang, yang harus dikedepankan sebenarnya adalah keterampilan mengkritik diri sendiri.
Persoalan sampah menjadi problematika kehidupan masyarakat urban. Urugensinya terletak pada budaya konsumerisme yang tinggi dan tidak diimbangi dengan sebuah kesadaran entitas diri akan kehadiran “aku” bersama yang lain. Maka perlu sikap kritis dan rasional untuk mengatasinya. Yang dibutuhkan adalah pengenalan akan “aku” dan “liyan”
Who am I (Siapakah Aku)?
Pertanyaan ini menjadi penting untuk memaknai siapakah sesungguhnya manusia itu. Manusia atau “aku” adalah keseluruhan jiwa, raga dan akal budi. Kebenaran itu mutlak dan tidak dapat diganggu gugat karena menjadi syarat yang esensial yang ada pada manusia. “Aku” bukanlah bagian per bagian. Kepalaku bukanlah “aku”. Tanganku bukanlah “aku”. Kakiku bukalah “aku”. Lalu siapakah aku? “Aku” adalah keseluruhan dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Sokrates dalam dekripsinya pertama-tama mengatakan bahwa manuia adalah jiwanya. Aristoteles menyebut manusia adalah makluk berakal budi. Sedangkan Descartes menyebut manusia itu adalah pikirannya, sehingga muncul istilah cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Pernyataan para filosof ini belum bisa dikatakan “Aku” melainkan bagian dari “aku”. Karena “aku” adalah keseluruhan manusia yang satu dan utuh.
Siapakah Liyan?
Liyan atau “yang lain” (the other) adalah sebuah terminologi yang dipakai dalam filsafat fenomenologi. Liyan membedakan diri dengan yang lain dalam konteks “ada bersama yang lain”. Meskipun liyan terpisah dari “aku” namun liyan sesungguhnya otoritas diri dan proyeksi diri yang ada diluar diri. Pencetus teori fenomenologi ini adalah Edmund Gustav Albrecht Husserl. Yang menjadi pembahasan utama dari fenomenologi Husserl ialah membaca realitas yang tidak berhenti pada teks melainkan pada pengalaman konkrit manusia (Armada Riyanto 2018). Metode filsafat fenomologi diterapkan sebagai fondasi dalam memaknai fenomena dan relasi antara “aku” dan liyan.
“Aku” dan liyan sesungguhnya adalah relasi, dimana “aku” itu adalah liyan dan liyan itu adalah “aku”. Relasi keduanya telah melahirkan sebuah konsep “you are the other of me”. Inilah pengakuan eksistensi akan “aku” dan liyan.
Ketika Sampah menjadi Liyan
Persoalan sampah melahirkan krisis ekologi yang akut. Proses penanganannya merupakan “gerakan sosial”dan berkelanjutan serta memiliki ideologi yang kuat dalam pelaksanaannya.
Sampah dicap sebagai sesuatu yang kotor dan menjijikan. Maka perlu ditundukan, diatur dan harus dibasmi. Bahasa manusia yang seperti itu di bentuk berdasarkan pola kekuasaan yang top-dawn dan hirarkis, dimana mekanisme, fantasi dan subjektifitas manusia dibangun atas dasar “bahaya”. Justru sampah yang kotor dan jijik perlu dikelolah, dimanfaatkan guna keseimbangan holistik.
Tak dapat dipungkiri, manusia memiliki ketergantungan penuh dengan alam dan lingkungan sekitar. Itulah realitas yang ada di luar diri dalam krangka kehidupan bersama liyan. Ketergantungan manusia sebagai reduksi akan “aku” yang hadir diluar diri sebagai liyan. Manusia perlu menumbuhkan “sensifitas linguistik”dalam memandang alam, manusia yang lain dan lingkungan sekitar. Diskursus sampah yang melahirkan liyan dalam konsepsi rasional akan membantu manusia memandang yang lain (the other) sebagai sebuah proyeksi diri “aku”.
Tentu hal ini bukan sebuah perkara mudah tanpa ada kesadaran bersama. Penanganan sampah tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, namun perlu andil dari setiap elemen. Maka pentingnya sebuah refolusi dengan jalan kolaborasi bersama lembaga agama, organisasi masyarakat, pelaku usaha dan lembaga-lembaga swadaya lainnya.
Dalam hal ini sampah bukan lagi menjadi persoalan “aku” tetapi lebih jauh dari itu sampah menjadi problematika “aku” dan liyan. Sikap yang dituntut bersama liyan adalah prilaku sadar kebersihan dan sadar pengelolaan sampah yang baik melalui sosialisasi persampahan dan semacamnya. Tujuan yakni untuk membangun sebuah kesadaran kolektif.
Dengan demikian, persoalan sampah bukan persoalan yang lain sama sekali dari “aku” tetapi, persoalan sampah adalah persoalan “aku yang lain”. Pengalaman ada bersama yang lain ini membawa sebuah konsekuensi bahwa “aku” juga ada bagi liyan.
Penulis mengajak kita semua, mari kita jaga lingkungan alam sekitar kita dengan berprilaku membuang sampah pada tempatnya. Sebab melestarikan alam dan lingkungan sekitar kita sama dengan kita melestarikan kehidupan. Ketika “aku” adalah kehidupan itu, maka pada saat yang sama liyan juga adalah kehidupan itu.
“When we heal the earth, we heal ourselves” (ketika kita menyembuhkan bumi, kita menyembuhkan diri kita sendiri). (*)