Nofrianandi Van Gobel
UMUR panjang, tahun ini kita semua masih bisa diberi kesempatan memperingati Hari Pendidikan Nasional atau biasa dikenal Hardiknas.
Di momen ini, penulis berharap semua guru di Indonesia lebih khusus di daerahku, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, mampu menjadi penentu.
Karena bagi saya, kemampuan seorang guru melihat dan mengontrol muridnya sangatlah penting.
Tugas guru dibutuhkan setiap murid.
Sebelum ke pembahasan, izinkan penulis sedikit memberikan sepenggal kisah nyata.
Hal ini saya temui sewaktu duduk di bangku sekolah, sekitar 10 tahun lalu.
Singkatnya, sewaktu saya memasuki sekolah sebagai murid baru.
Kala itu, penulis banyak bertemu teman baru.
Tentunya denga beragam sifat.
Tapi mereka baik semua.
Dari sekian teman itu, perhatian saja tertuju pada satu karakter.
Sebut saja namanya Aldi (nama penganti).
Aldi ini orangnya berbeda dari kami.
Dia tak sepintar-pintar amat.
Aldi bahkan kesulitan dalam belajar, dan sering dianggap memiliki keterbelakangan mental.
Aldi pun beberapa kali tidak naik kelas.
Begitu info yang sempat saya dengar.
Tidak bisa membaca dan menulis membuat Aldi sering mendapat nilai buruk.
Semua guru di tempat Aldi bersekolah menganggap ia murid bodoh.
Nyaris tak bisa diandalkan.
Yang paling disesalkan, orang tua yang juga mendampingi Aldi di rumah, tidak mengetahui perkembangan Aldi.
Tapi, ini mungkin hanya firasat penulis saja.
Itulah mengapa saya berharap, guru itu harus bisa jadi penentu.
Sebab kisah ini berkaitan dengan kemampuan seorang guru melihat dan mengontrol muridnya.
Dari cerita ini, jelas mengabarkan, guru-guru di tempat Aldi sekolah tidak mampu melihat dan mengontrol siswanya.
Selama sekolah, Aldi tidak pernah mengalami perkembangan.
Padahal Aldi punya satu kelebihan.
Melukis.
Dalam kepercayaan orang Islam (agamaku), seorang anak yang lahir sudah membawa potensi masing-masing.
Tinggal bagaimana menggali dan mengasahnya.
Di sini, penulis tidak sedang menyalahkan siapa-siapa.
Hanya berharap, ada perbaikan dalam sistim pendidikan kita, termasuk belajar dari kehidupan Aldi.
Penulis yakin kondisi serupa juga terjadi di sekolah lain.
Kembali ke topik dan kisah Aldi berlanjut.
Aldi kemudian memutuskan berhenti bersekolah.
Saya dan teman-teman sadar, keputusan Aldi itu memang sudah matang.
Lulus sekolah, hubungan saya dan teman-teman tetap terjalin.
Kami kemudian memutuskan mengunjugi Aldi.
Di rumahnya, Aldi sedang bersama seorang pria.
Gayanya bisa ditebak, pria tersebut seorang seniman.
Ternyata seniman itu sedang mengajak Aldi agar Aldi mau melukis lagi.
Maklum kekecewaan Aldi sejak di sekolah masih menjadi duri di hatinya.
Setelah Aldi bertemu dengan seniman tersebut, ia menjadi anak dengan kelebihan luar biasa.
Aldi berprestasi di bidang melukis.
Kisal Aldi membuat saya menyimpulkan sebenarnya pendidikan tergantung kualitas seorang pendidik.
Bagaimana menghasilkan siswa yang bukan hanya mengutamakan aspek kognitifnya.
Ini tujuan besar dari penulis, bahwa pendidikan kita harus membutuhkan seorang seperti seniman itu, yang benar-benar mengorbankan waktu mendidik Aldi.
Guru adalah pondasi bangsa.
Juga orang tua kedua kami.
Tanggungjawab ini membuat guru wajib menggali potensi setiap anak didiknya.
Selamat Memperingati Hari Pendidikan Nasional, Minggu, 2 Mei 2021.
(***)