Oleh : Jackson Kumaat
Nirman Sa’ali (53 tahun) sanggup memanjat gerobak sampah yang sudah menggunung seorang diri (Foto: dok.pribadi)
Pagi tadi, saya ingin membaca koran di teras depan rumah. Seperti biasa, setiap mentari bersinar, sejumlah orang melintas. Di antaranya adalah pedagang sayur
gerobak, loper koran dan tukang sampah. Sosok yang terakhir ini, cukup menarik perhatian saya. Tukang sampah di kompleks tempat tinggal saya di kawasan Cilandak Jakarta ini, usianya sudah terlihat tua. Tapi tenaganya luar
biasa. Warga di sini biasa memanggilnya Pak Nirman. Nama lengkapnya Nirman bin Sa’ali, asal Krawang Jawa Barat.
Sebenarnya, saya kurang suka menyebut Pak Nirman sebagai ‘tukang sampah’, karena ada kesan negatif yang berhubungan dengan sampah. Padahal, tugas Pak Nirman sangat mulia. Sebelum penghuni kompleks ini memulai aktivitas, Pak Nirman justru sudah menuntaskan pekerjaannya. Seluruh sampah rumah tangga telah terangkut ke dalam gerobak reotnya.
Pak Nirman, sama seperti orang kecil kebanyakan, memiliki sifat pemalu. Pernah suatu ketika saya menawarinya sarapan, tapi ditolaknya dengan sopan. Tapi begitu sepiring nasi lauk komplit dan teh manis diletakkan di meja teras, tak lama kemudian disambarnya. Saya mengintip dari balik jendela, betapa ia menikmati sarapan disamping gerobak yang beraroma tak sedap itu. Ia tak risih
menyantap sepiring nasi, meski (maaf) ada sejumlah ulat dan belatung berjatuhan di bawah gerobak sampah.
”Makan di sini lebih nikmat, pak,” begitu alasannya kenapa enggan makan di kursi teras.
Saya jadi ingat sebuah pepatah lama, yang bunyinya kira-kira seperti ini, ‘Orang
yang paling bahagia di dunia adalah orang yang menikmati makanan di tengah timbunan sampah bersama keluarga. Dan orang yang paling menderita adalah
orang kaya yang koma menanti ajal di rumah sakit tanpa keluarga’.
Kini, Pak Nirman tampak tak sekuat dulu. Iya lebih sering didampingi anak mantunya, terutama setelah gerobak terisi penuh sampah yang menggunung. Tampaknya, pria berusia 53 tahun ini lebih mengandalkan tenaga anak mantunya untuk menarik gerobak. Maklum, perjalanan menarik gerobak berisi sampah lumayan jauh. Jarak tempuh Pak Nirman dan gerobaknya dari Cilandak menuju tempat penampungan sampah di sekitar Ragunan, mencapai 3 kilometer.
Pagi tadi sebelum berangkat ke kantor, saya menyempatkan diri mengobrol dengan Pak Nirman. Kebetulan, tugasnya mengangkut sampah dari bak sampah di depan rumah, sudah selesai. Ia hanya menyapu jalan kompleks yang kotor oleh puntung-puntung rokok dan bungkus permen. Ia berkisah, sejak menetap di Jakarta tahun 1980, dirinya tak mempunyai pekerjaan tetap. Apalagi, Pak Nirman tak sempat menamatkan pendidikan di SD di Krawang.
Ia memiliki 7 orang anak, 3 perempuan dan 4 laki-laki. Semuanya berhasil ia tamatkan hingga SMA. Ada kesedihan kecil, karena ketidak-mampuan menyekolahkan anak-anak hingga ke tingkat perguruan tinggi. Tapi bagi saya, seorang ayah yang berhasil menyekolahkan anak-anak hingga SMA atau umur dewasa, adalah sebuah tindakan luar biasa. Apalagi ini dilakukan oleh seorang yang berprofesi sebagai tukang sampah.
Dari mana sumber penghidupan Pak Nirman? Rupanya, Pak Nirman tak digaji oleh Pemda DKI Jakarta, meski telah bekerja selama 20 tahun lebih. Bahkan, ‘baju dinas’-nya yang berwarna oranye khas petugas kebersihan, harus dibelinya seharga Rp50 ribu. Mungkin sama dengan tukang sampah di sejumlah
tempat di Jakarta atau daerah lain, penghasilan Pak Nirman sangat tergantung dari uluran tangan warga.
Memang, setiap warga kompleks disini patungan untuk jasa petugas kebersihan. Masing-masing rumah sebesar Rp 100 ribu. Jumlah rumah di kompleks kecil ini, sebanyak 20 rumah. Itu artinya, Pak Nirman memiliki penghasilan rata-rata Rp 2 juta per bulan. ”Tapi kan gak semua rumah nyumbang segitu.Ada yang pelit, cuma ngasih Rp 50 ribu,” ujarnya dengan logat Sunda sambil terkekeh.
Saat ini, ada dua keluarga penghuni kompleks yang pindah rumah. Otomatis, penghasilan Pak Nirman berkurang Rp 200 ribu. Untuk menutupi kebutuhan, Pak Nirman tak kehabisan akal. Ia punya langganan baru di kompleks sebelah. Dan jika dihitung jumlahnya, pendapatan Pak Nirman mencapai Rp 3 juta. Itu belum jasa pemisahan sampah organik dan anorganik, yang setiap harinya
berkisar Rp 20-30 ribu.
Nah, itulah jawabannya kenapa Pak Nirman eksis sebagai tukang sampah. Lelaki yang sudah punya 3 orang cucu ini mengaku rutin mudik Lebaran ke kampung halamannya di Krawang bersama keluarga. Malah, setiap Hari Raya Idul Fitri ia turut menyumbang baju baru dan sejumlah uang ke anak-anak yatim piatu di kampung halamannya.
”Yang penting, kita ikhlas memberi ke orang yang membutuhkan,” tuturnya
sambil tersenyum. (*editjry)
Oleh : Jackson Kumaat
Nirman Sa’ali (53 tahun) sanggup memanjat gerobak sampah yang sudah menggunung seorang diri (Foto: dok.pribadi)
Pagi tadi, saya ingin membaca koran di teras depan rumah. Seperti biasa, setiap mentari bersinar, sejumlah orang melintas. Di antaranya adalah pedagang sayur
gerobak, loper koran dan tukang sampah. Sosok yang terakhir ini, cukup menarik perhatian saya. Tukang sampah di kompleks tempat tinggal saya di kawasan Cilandak Jakarta ini, usianya sudah terlihat tua. Tapi tenaganya luar
biasa. Warga di sini biasa memanggilnya Pak Nirman. Nama lengkapnya Nirman bin Sa’ali, asal Krawang Jawa Barat.
Sebenarnya, saya kurang suka menyebut Pak Nirman sebagai ‘tukang sampah’, karena ada kesan negatif yang berhubungan dengan sampah. Padahal, tugas Pak Nirman sangat mulia. Sebelum penghuni kompleks ini memulai aktivitas, Pak Nirman justru sudah menuntaskan pekerjaannya. Seluruh sampah rumah tangga telah terangkut ke dalam gerobak reotnya.
Pak Nirman, sama seperti orang kecil kebanyakan, memiliki sifat pemalu. Pernah suatu ketika saya menawarinya sarapan, tapi ditolaknya dengan sopan. Tapi begitu sepiring nasi lauk komplit dan teh manis diletakkan di meja teras, tak lama kemudian disambarnya. Saya mengintip dari balik jendela, betapa ia menikmati sarapan disamping gerobak yang beraroma tak sedap itu. Ia tak risih
menyantap sepiring nasi, meski (maaf) ada sejumlah ulat dan belatung berjatuhan di bawah gerobak sampah.
”Makan di sini lebih nikmat, pak,” begitu alasannya kenapa enggan makan di kursi teras.
Saya jadi ingat sebuah pepatah lama, yang bunyinya kira-kira seperti ini, ‘Orang
yang paling bahagia di dunia adalah orang yang menikmati makanan di tengah timbunan sampah bersama keluarga. Dan orang yang paling menderita adalah
orang kaya yang koma menanti ajal di rumah sakit tanpa keluarga’.
Kini, Pak Nirman tampak tak sekuat dulu. Iya lebih sering didampingi anak mantunya, terutama setelah gerobak terisi penuh sampah yang menggunung. Tampaknya, pria berusia 53 tahun ini lebih mengandalkan tenaga anak mantunya untuk menarik gerobak. Maklum, perjalanan menarik gerobak berisi sampah lumayan jauh. Jarak tempuh Pak Nirman dan gerobaknya dari Cilandak menuju tempat penampungan sampah di sekitar Ragunan, mencapai 3 kilometer.
Pagi tadi sebelum berangkat ke kantor, saya menyempatkan diri mengobrol dengan Pak Nirman. Kebetulan, tugasnya mengangkut sampah dari bak sampah di depan rumah, sudah selesai. Ia hanya menyapu jalan kompleks yang kotor oleh puntung-puntung rokok dan bungkus permen. Ia berkisah, sejak menetap di Jakarta tahun 1980, dirinya tak mempunyai pekerjaan tetap. Apalagi, Pak Nirman tak sempat menamatkan pendidikan di SD di Krawang.
Ia memiliki 7 orang anak, 3 perempuan dan 4 laki-laki. Semuanya berhasil ia tamatkan hingga SMA. Ada kesedihan kecil, karena ketidak-mampuan menyekolahkan anak-anak hingga ke tingkat perguruan tinggi. Tapi bagi saya, seorang ayah yang berhasil menyekolahkan anak-anak hingga SMA atau umur dewasa, adalah sebuah tindakan luar biasa. Apalagi ini dilakukan oleh seorang yang berprofesi sebagai tukang sampah.
Dari mana sumber penghidupan Pak Nirman? Rupanya, Pak Nirman tak digaji oleh Pemda DKI Jakarta, meski telah bekerja selama 20 tahun lebih. Bahkan, ‘baju dinas’-nya yang berwarna oranye khas petugas kebersihan, harus dibelinya seharga Rp50 ribu. Mungkin sama dengan tukang sampah di sejumlah
tempat di Jakarta atau daerah lain, penghasilan Pak Nirman sangat tergantung dari uluran tangan warga.
Memang, setiap warga kompleks disini patungan untuk jasa petugas kebersihan. Masing-masing rumah sebesar Rp 100 ribu. Jumlah rumah di kompleks kecil ini, sebanyak 20 rumah. Itu artinya, Pak Nirman memiliki penghasilan rata-rata Rp 2 juta per bulan. ”Tapi kan gak semua rumah nyumbang segitu.Ada yang pelit, cuma ngasih Rp 50 ribu,” ujarnya dengan logat Sunda sambil terkekeh.
Saat ini, ada dua keluarga penghuni kompleks yang pindah rumah. Otomatis, penghasilan Pak Nirman berkurang Rp 200 ribu. Untuk menutupi kebutuhan, Pak Nirman tak kehabisan akal. Ia punya langganan baru di kompleks sebelah. Dan jika dihitung jumlahnya, pendapatan Pak Nirman mencapai Rp 3 juta. Itu belum jasa pemisahan sampah organik dan anorganik, yang setiap harinya
berkisar Rp 20-30 ribu.
Nah, itulah jawabannya kenapa Pak Nirman eksis sebagai tukang sampah. Lelaki yang sudah punya 3 orang cucu ini mengaku rutin mudik Lebaran ke kampung halamannya di Krawang bersama keluarga. Malah, setiap Hari Raya Idul Fitri ia turut menyumbang baju baru dan sejumlah uang ke anak-anak yatim piatu di kampung halamannya.
”Yang penting, kita ikhlas memberi ke orang yang membutuhkan,” tuturnya
sambil tersenyum. (*editjry)