
Oleh: Ferry Daud Liando
(Dalam Webinar GMKI Tomohon, 2 Oktober 2020)
Minggu lalu secara resmi tahapan kampanye Pilkada 2020 bergulir. Untuk memastikan tahapan ini bebas penularan Covid-19, KPU RI telah menerbitkan PKPU 13/2020. Aturan ini merupakan perubahan kedua atas PKPU 6/2020 tentang kampanye Pilkada 2020.
Ada semangat dari KPU RI agar kampanye tidak mencelakai banyak orang terutama penularan virus Covid-19. Rapat umum dan kampanye akbar dilarang. Kegitan pertemuan terbatas dimungkinkan tapi hanya terbatas 50 orang. Kampanye daring atau virtual juga dimungkinkan.
Dalam literatur Ilmu politik, kampanye itu merupakan bentuk komunikasi politik antara institusi atau aktor politik dengan publik. Kampanye itu bermaksud meyakinkan publik agar memperoleh dukungan atas sebuah gagasan kebijakan atau mendapat dukungan suara dalam pemilihan.
Membatasi ruang publik dalam kampanye akbar atau rapat umum maka secara otomatis mengganggu komunikasi politik baik bagi pihak yang memberi keyakinan maupun pihak yang hendak dipengaruhi.
Membatasi jumlah kehadiran massa dapat membelenggu hak-hak politik warga negara mendapatkan informasi. Bisa jadi 50 orang itu hanya berisikan tim sukses atau pemilih aktif saja. Sementara pemilih pasif tak akan terfasilitasi.
Pemilih aktif adalah pemilih yang yang dimobilisasi oleh aktor-aktor yang akan memiliki dampak langsung jika calon yang didukung itu menang. Mereka tidak sekedar hanya akan memilih calon tertentu tapi akan secara aktif bertindak secara langsung dalam proses pemenangan. Misalnya ikut membiayai kampanye, ikut menyebarkan informasi terkait kelebihan calon bahkan ikut menyebarkan kampanye hitam bagi calon lain. Sementara pemilih pasif atau pemilih yang selama ini belum memiliki kepastian tentang pilihan, tak akan bisa terjangkau oleh kampanye.
Alternatif kampanye virtual atau daring akan sulit bagi daerah-daerah yang belum terjangkau jaringan internet secara merata. Pengguna gadget hanya sebagian besar dimiliki oleh kalangan anak muda dan sebagian masyarkat perkotaan. Sehingga hak-hak politik masyarkat usia lanjut dan masyarakat pedesaan tak dapat difasilitasi. Untuk mendukung protokol kesehatan, aturan itu sepertinya tepat.
Namun untuk mendukung protokol demokrasi sepertinya tidaklah tepat. Larangan kampanye akbar dan pembatasan kehadiran, tak hanya membatasi hak politik masyarakat namun juga membatasi hak politik pasangan calon dalam mempengaruhi pemilih.
Prinsip keadilan pemilu tak berwujud sebab kampanye Pilkada hanya akan lebih menguntungkan pihak incumbent yang sudah dikenal publik. Sementara calon yang lain terpkasa harus berinovasi mencari jurus baru agar dapat dikenal publik melalui kampanye.
Kita berharap PKPU ini menjadi pedoman agar protokol kesehatan benar-benar terimplementasi dengan baik. Namun tantangannya adalah seberapa besar daya gedor PKPU itu dalam menertibkan pasangan calon, tim pemenangan ataupun pihak lain dalam kampanye. Apakah sanksinya akan cukup efektif untuk melahirkan efek jerah.
Bagaiamana proses pembuktian bahwa pasangan calon tertentu membuat pelanggaran dan siapa saja pihak yang berhak bertindak atas dugaan pelanggaran itu. Atas pelanggaran yang terbukti dilakukan maka sanksi hanyalah sebatas sanksi administrasi berupa teguran, pembubaran kampanye atau pengurangan masa kampanye selama tiga hari.
PKPU tak mengatur soal sanksi diskualifikasi pasangan calon. Sebab UU 10/2016 hanya mengatur diskualifikasi apabila terbukti melakukan politik uang secara terstruktur, sistimatis dan masif, melakukan mutasi jabatan dalam waktu yang dilarang dan membuat kebijakan yang menguntungkan calon. Peluang pemidanaan bagi pasangan calon sebetulnya memunginkan. Sebab ada UU lain seperti UU kekarantinaan wilayah dan UU wabah penyakit.
Namun tak ada legal standing bagi penyelenggara terutama Bawaslu dalam proses pemidanaan. Jika oleh kepolisian bahwa pasangan calon terbukti melakukan dugaan pelanggaran pidana, maka belum secara otomatis pasangan calon didiskualifikasi pada saat itu. Sebab proses peradilan membutuhkan waktu yang panjang. Bisa jadi putusan pengadilan ditetapkan ketika pasangan calon telah terpilih dan dilantik.
Kewenangan Bawaslu dalam menindak pasangan calon perlu diperkuat dengan UU yang setara dengan UU Pilkada. Kewenangan Bawalsu hanya berkaitan dengan pengawasan, penanganan dan penindakan pelanggaran Pilkada.
Dalam UU 10/2016 tak ada satu pasalpun yang menyebut penanganan pelanggaran protokol Covid-19. PKPU 13/2020 tak cukup kuat sebagai legal standing bagi Bawaslu dalam bertindak.
Ketika terjadi polemik antara Bawalsu dan KPU RI akibat pro kontra mantan narapidana menjadi calon legislatif tahun 2019, Bawaslu bersikap tak akan melarang mantan narapidana menjadi calon. Bawaslu beralasan bahwa larangan itu hanya diatur dalam PKPU bukan diatur dalam UU 10/2016. Jika Bawaslu terlalu jauh masuk dalam ranah penindakan pelanggar protokol kesehatan oleh pasangan calon karena perintah PKPU 13/2020 maka Bawaslu tak konsisten dengan sikapnya.
Cara terbaik melaksanakan Pilkada Ditengah Covid-19 dapat diakukan dengan dua cara.
Pertama, Presiden perlu mengeluarkan perppu baru. UU 6/2020 merupakan penetapan Perppu 2/2020 menjadi UU. Isinya hanya sebatas menunda pelaksanaan dari September menjadi Desember 2020 dan ketentuan yang memungkinkan penudaan Pilkada.
Sementara pelaksanaan Pilkada Ditengah Covid-19 membutuhkan banyak variasi atau inovasi baru. UU 10/2016 menyebut bahwa pemungutan suara dilakukan di TPS. Padahal pemungutan bisa saja diakukan door to door bagi wilayah-wlayah yang rawan. Batas pemungutan suara hanya sampai pukul 13.00. Padahal untuk menghindari kerumunan perlu diatur pengelompokan pemilih atau aturan berjarak. Namun resikonya adalah waktu pencoblosan tidak mungkin hanya sampai pukul 13.00.
Ketentuan kewenangan Bawaslu tentang pengawasan dan penindakan pelanggaran non Pilkada perlu diatur. Bawslu memerlukan legal standing dalam bertindak. Agar tegas, Perppu juga harus membuat ketentuan baru terkait syarat diskualifikasi pasangan calon apabila melanggagar protokol kesehatan.
Kedua, perlu memikirkan waktu yang ideal kapan tahapan pilkda itu dilanjutkan. Tak perlu harus menunggu waktu sampai penularan Covid-19 berakhir. Tapi paling tidak tahapan bisa dilanjutkan apabila penularan mulai menurun, vaksinnya sudah ada, ketaatan dan kesadaran masyarakat telah didisiplinkan serta kondisi keuangan negara dalam posisi stabil. Jika empat hal ini memungkinkan maka kapanpun tahapan Pilkada bisa dilaksanakan, tanpa harus menunggu penularan Covid-19 berakhir.