Founding Father House (FFH) Dian Permata.
Jakarta, BeritaManado.com – Dari empat anggota DPD yang kerap menghiasi ruang pemberitaan di media massa, tiga di antaranya merupakan bekas tokoh partai politik.
Fadel Muhammad, La Nyalla Mattaliti, dan Mahyudin merupakan tiga orang yang sebelumnya pernah aktif di partai politik dan pada 2019 terpilih sebagai senator.
Sebulan pasca dilantik pada 1 Oktober 2019, terhitung hanya 37 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang menghiasi ruang berita.
Artinya, dari 136 anggota DPD yang ada saat ini, baru 27 persen senator yang unjuk diri berbagi opini di enam media massa.
Institut Riset Indonesia (INSIS) bersama Founding Fathers House (FFH) mendata intensitas kemunculan para anggota DPD sebagai narasumber berita di enam media massa sepanjang Oktober 2019.
Keenam media massa ini adalah Detik.com, Tribunnews.com, Kompas, Koran Sindo, Koran Tempo, dan Rakyat Merdeka.
Riset dengan metodologi purposive sampling ini mengambil unit analisis dari 232 judul berita yang ditayangkan di enam media massa.
Untuk media online, unit analisis terbanyak berasal dari pemberitaan di Tribunnews.com sebanyak 54 berita.
Sementara itu, untuk media cetak, unit analisis terbanyak berasal dari pemberitaan di Rakyat Merdeka sebanyak 20 berita.
“Berdasarkan pemberitaan di enam media massa itulah INSIS-FFH menyimpulkan, figur bekas Parpol mendominasi citra DPD Republik Indonesia. Para senator ini masuk ke Senayan untuk mewakili daerahnya dan bukan mewakili partai politiknya. Rupanya keterkenalan sejumlah senator ini tidak lepas dari rekam jejak mereka sebagai bekas orang Parpol,” papar peneliti INSIS Wildan Hakim dalam siaran persnya (6/12/2019).
Senator Fadel Muhammad terhitung paling sering muncul di berita dengan jumlah kemunculan sebanyak 79 kali.
Disusul La Nyalla Mattaliti dengan 36 kali kemunculan dan Mahyudin sebanyak 10 kali kemunculan.
“Yang menarik adalah pengutipan pernyataan dari Sultan Bachtiar Najamudin. Dari perhitungan, nama Sultan Bachtiar ini dikutip sebanyak 13 kali. Sultan Bachtiar dari penelusuran kami bukan bekas tokoh partai politik. Tapi dia sosok lama di DPD, karena sebelumnya sudah pernah menjabat sebagai senator mewakili daerah pemilihan Bengkulu,” papar Wildan Hakim yang juga akademisi di Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Al Azhar Indonesia.
Sementara itu, peneliti politik dari Founding Father House (FFH) Dian Permata menambahkan, kemunculan nama Sultan Bachtiar Najamudin di 13 judul berita bisa memberikan harapan adanya senator muda yang bisa mewarnai pertarungan opini di media massa. Mengingat usia Sultan yang kini baru 40 tahun.
“Senator Jimly Asshiddiqie yang diperkirakan banyak dikutip media massa, ternyata hanya muncul delapan kali. Sementara itu, senator Evi Apita Maya hanya muncul tujuh kali dalam pemberitaan,” tegas Dian Permata.
Evi merupakan anggota DPD dari Daerah Pemilihan Nusa Tenggara Barat (NTB) yang pernah digugat Farouk Muhammad dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta pada Kamis (18/7/2019).
Evi digugat karena fotonya di alat peraga kampanye terlihat terlalu cantik.
Dalam olah data berbasis media monitoring ini, INSIS dan FFH membagi 232 judul berita ke dalam tujuh kategori.
Dari ketujuh kategori yang sudah ditetapkan, ke-37 senator Senayan ini banyak berkomentar untuk berita berkategori politik.
Berita politik yang dikomentari ini meliputi isu-isu seputar perebutan kursi pimpinan MPR, profil anggota DPD, perebutan kursi pimpinan DPD, serta perebutan kursi pimpinan Alat Kelengkapan Dewan DPR.
Sekilas Institut Riset Indonesia (INSIS)
Institut Riset Indonesia atau INSIS lahir pada 2013. Kelahiran INSIS diinisiasi sejumlah pegiat riset bidang komunikasi politik.
Di masa-masa awal, INSIS banyak berkiprah untuk riset seputar politik di Indonesia.
Namun seiring perkembangan kebutuhan riset di Indonesia, INSIS mulai mengembangkan riset berbasis mahadata (big data) dari pemberitaan di media online dan media cetak.
INSIS berharap big data media monitoring ini bisa dimanfaatkan untuk beragam riset baik untuk kepentingan akademik maupun industri sesuai kustomisasi yang diinginkan.
INSIS bercita-cita mengembangkan budaya riset dengan metodologi yang tepat, menyajikan data secara kredibel, dan diolah secara profesional.
(***/Finda Muhtar)