Sejak Desember tahun lalu rupiah semerbak baunya.
Ia menjadi buah bibir karena demokrasi bertekuk lutut padanya.
Saat pemilu 17 april 2019 lalu rupiah memang menjadi hati nurani masyarakat yang paling independent dalam menanggapi setiap perkembangan politik dinegeri ini, ia suara yang paling genuine, paling jujur, paling bisa dipercaya.
Rupiah tak terkontaminasi dan terdistorsi oleh kepentingan golongan, suku, agama manapun.
Disinilah para politisi instan nan prakmatis menaruh harapan besar karena rupiah dianggap sebagai panglima kebenaran sejati.
Lorong gelap ini dilalui para caleg yang memandang bahwa hukum dan aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) banyak tafsir serta keputusan yang selalu memihak pada titipan penguasa, dilain sisi pendapat manusia sulit ditemukan aura kejujurannya.
Demokrasi memang tidak pernah final sepanjang planet bumi kita ini ada.
Prosedur formal dan substansial pada pemilu 2019 ini dianggap tidak pernah ada, karena hari- hari terakhir sebelum pemunggutan suara di TPS para caleg mengaku bahwa mereka berbasis partai, tapi dalam menggalang masa mereka mendapat legitimasi dan bisik-bisik dari para pemimpin daerah, tidak mengherankan jika aparatur sipil kampung (ASK) banyak yang ikut terlibat membelengu nurani dan menutupnya dengan rupiah atas perintah atasan mereka.
Praktek-praktek seperti ini menyebabkan politik dinegeri ini tidak pernah dewasa dan mati suri.
Lima tahun sekali rakyat diajak bertabiat menerima rupiah sebagai imbalan atas kehadiran mereka di TPS.
Maka jangan heran jika kita banyak melahirkan legislator siang-malam, bicara siang lain malam lain.
Budaya dan moral kita telah terbelenggu oleh rupiah.
Peran institusi sangat penting untuk melibas pemilih irasional prakmatis menjadi pemilih rasional dan berperadaban demokrasi, adalah tugas dan tanggung jawab negara sebagai fungsi.
Oleh: Annes Supit