Manado – Setiap pembangunan pasti ada konsekuensi, tapi soal instansi berwenang harus lebih arif dan jangan terkesan seolah-olah ‘penyerobotan’.
Demikian pernyataan pengamat politik dan kemasyarakatan, Paul Adrian Sembel melalui akun facebook terkait aksi blokade pemilik lahan pada proyek pembangunan atau pelebaran jalan termasuk blokade lahan pada proyek pelebaran ruas Ringroad I dekat terowongan Teling-Tingkulu.
“Rakyat pasti sangat menginginkan adanya pembangunan tapi harus didialogkan terutama kepada masyarakat pemilik lahan. Harus clear juga soal ganti ruginya, kecuali ada pemilik yang rela lahannya dilalui proyek pelebaran jalan, tapi itu harus sepengetahuan pemilik agar punya etika dan instansi berwenang tidak dianggap arogan dan semau gue,” jelas Sembel.
Lanjutnya, masalah pembangunan infrastruktur jalan di Sulut selalu mendapat tantangan soal pembebasan tanah/lahan. Inipun sudah barapakali dikeluhkan oleh Gubernur sehubungan dengan proyek Tol Manado-Bitung, Ringroad II dan Ringroad III, pelebaran jalan Manado-Tomohon, dan lain-lain, padahal dananya sudah tersedia.
Ini memang harus di dialogkan dengan masyarakat sebab berbeda tipikal/karakter orang Manado (Sulut) dengan seperti di Jawa, Sumatera atau tempat lainnya di Indonesia.
Sosialisasi kepada masyarakat khususnya ke pemilik tanah yang lokasinya akan dilalui suatu proyek perlu dilakukan supaya manfaat suatu pembangunan juga bisa dipahami.
“Demi pembangunan, budaya ‘sei reen’ harus dihilangkan dan yang paling penting konsultatif bukan konfrontatif. Jika mekanisme ini sudah dilakukan dan tetap masih ada rakyat yang ‘kumabal’ gas jo, atau istilah orang Tountemboan bilang..‘waya mio’ (kase biar akang) yang nda nge’ sebab itu sudah masuk kategori menghambat pembangunan demi kepentingan umum,” jelas Sembel. (jerrypalohoon)