ADAT dan budaya, sebagaimana agama, masih menjadi pijakan kuat masyarakat kota Tahuna Kabupaten Kepulauan Sangihe. Daerah itu terkenal “bersih” dari pub, diskotek, café bahkan bar, area-area hiburan malam yang biasanya diselingi bisnis pemuas syahwat.
Tetapi siapa sangka para pekerja seks komersil (PSK) berkembang di Tahuna belakangan bak cendawan di musim penghujan. Ironinya lagi, pelaku profesi tertua di dunia itu sebagian besar masih belia. Saat matahari bersinar, mereka berseragam sekolah, namun selepas itu adalah teman tidur bagi pria hidung belang.
Soal PSK belia di Tahuna, sedikit banyak terungkap dari penuturan pengemudi taksi gelap pada beritamanado Sabtu (22/6). Sebut saja namanya Alex, lelaki yang mengaku pernah menjadi perantara bagi beberapa PSK belia berseragam sekolah. Awal pertemuan Alex dengan gerombolan pemuas syahwat itu terjadi beberapa bulan silam ketika dirinya selesai menurunkan penumpang tiba–tiba di depan salah satu sekolah tingkat atas dicegat oleh beberapa siswa yang meminta mengantarkan mereka jalan–jalan.
“Beberapa siswi berseragam sekolah mencegat saya dan minta diantar jalan-jalan, pokoknya mereka mengaku akan membayar,” ujarnya.
Dari percakapan mereka diketahui anak-anak di bawah umur ini merupakan wanita panggilan yang yang beroperasi di Tahuna. Praktik yang dilakukan jelas sangat-sangat terselubung karena masih duduk di bangku sekolah.
“Kita kaget dengar penuturan mereka, apalagi ini anak–anak yang masih duduk di bangku sekolah dan tak tanggung- tanggung mereka menawarkan diri dengan harga 300.000 rupiah sekali main,” tutur lelaki berkulit gelap ini.
Hasil investigasi beritamanado, selain siswa berseragam putih abu–abu, ada juga sejumlah mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Tahuna yang berprofesi sebagai wanita panggilan. Namun modus yang mereka gunakan dengan memakai jasa perantara atau mucikari yang sudah biasa mereka kenal.
Lantas bagaimana melayani tamu? Dalam melakukan aksinya, para ayam kampus itu bukan di hotel–hotel yang ada di Kota Tahuna, namun dengan mengunakan jasa tempat kost temannya yang seprofesi, seakan–akan hanya bertamu saja dan selanjutnya pemilik kamar kost akan keluar dengan alasan ke supermarket atau lainnya. Sehingga sulit bagi masyarakat untuk mengetahui sepak terjang para pelaku.
“Kalau mahasiswi ini tarifnya dari 300.000 sampai 500.000 sekali main, Tergantung kalau tamu lokal tentu agak murah, tapi kalau ada tamu luar daerah harganya pasti tinggi,” sebut Alex.
Mengetahui siswi dan mahasiswi yang menjadi wanita panggilan, sulit dideteksi oleh orang tua maupun guru–guru yang ada di sekolah, sebab tidak ada tanda khusus bahkan perilaku dan penampilan mereka seperti siswi dan mahasiswi lainya. (gun)