Manado – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional 3 Mei 2012 harus menjadi momentum bagi komunitas pers untuk menuntut aparat hukum mengakhiri praktik impunitas pembunuh jurnalis. Sejak 1996, sedikitnya ada 8 jurnalis dibunuh yang kasusnya terbengkalai dan para pelakunya belum diadili. AJI Indonesia menjadikan tuntutan “Lawan Impunitas, Adili Pembunuh Jurnalis” sebagai tema peringatan 3 Mei 2012.
“Perilaku aparat penegak hukum yang terus mengambangkan delapan kasus pembunuhan jurnalis itu merupakan bentuk praktik impunitas negara kepada para pembunuh jurnalis. Aparat penegak hukum sengaja melindungi para pembunuh itu, sehingga mereka bebas dari hukuman pengadilan,” kata Ketua AJI Indonesia, Eko Maryadi melalui Ketua dan Sekretaris AJI Manado, Yoseph E Ikanubun dan Ishak Kusrant.
Lebih lanjut diungkapkan bahwa, delapan kasus pembunuhan jurnalis itu yang kasusnya tak terselesaikan adalah kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003), Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010) dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010).
Eko menyatakan praktik impunitas terindikasi dari berbagai ketidak-?tuntasan penyidikan. “Dalam kasus pembunuhan Udin Bernas misalnya, polisi menjadikan Dwi Sumadji alias Iwik sebagai tersangka. Padahal sejak awal keluarga Udin bersaksi Iwik bukan pembunuh Udin. Setelah pengadilan membebaskan Iwik dari dakwaan, polisi
seharusnya mencari tersangka sesungguhnya. Namun polisi tidak mau membuka lagi kasus itu,” kata Eko.
Praktik impunitas juga nampak pada kasus terbunuhnya Ersa Siregar dalam tembak-?menembak antara pasukan Gerakan Aceh Merdeka dan TNI di Desa Alue Matang Aron, Kecamatan Simpang Ulim, Kabupaten Aceh Timur pada 29 Desember 2003. Contoh kasus lainnya adalah kasus terbunuhnya Ardiansyah di Papua. “Dalam kasus Ersa, Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) waktu itu, Jenderal Ryamizard Ryacudu, sudah mengakui peluru yang menewaskan Ersa Siregar adalah peluru TNI. Namun, tidak ada pelaku penembakan yang diadili. Dalam kasus pembunuhan Ardiansyah di Papua, Mabes Polri sudah menyatakan ia dibunuh. Tetapi Polres Merauke tidak mau mencari pembunuhnya. Itu adalah bentuk praktik impunitas,” tegas Eko.
Eko menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI mengakhiri praktik impunitas bagi pembunuh jurnalis. “Komitmen mengakhiri praktik impunitas harus ditunjukkan dengan langkah nyata, yaitu membuka kembali kasus pembunuh Udin Bernas. Kasus itu harus segara diusut, karena akan kadaluarsa pada 16 Agustus 2014,” kata Eko.
Eko menyatakan, praktik impunitas bagi pembunuh jurnalis, juga para pelaku kekerasan terhadap jurnalis, membuat aparat negara dan warga tidak memahami bahwa jurnalis adalah profesi yang dilindungi hukum. Akibatnya, kasus kekerasan terhadap jurnalis terus saja terjadi. Data AJI Indonesia mencatat antara 1 Mei 2011 – 30 April 2012 terjadi 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis. “Polisi yang seharusnya menjadi aparat hukum yang menindak para pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Namun terus saja ada oknum polisi yang justru menjadi pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Dari 43 kasus kekerasan itu, lima diantaranya dilakukan oleh oknum polisi. Jika polisi terus mengabaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis, jurnalis akan selalu terancam,” kata keduanya.(*/gn)