Ratahan – Sekitar 41 Persen atau sekitar 22.540 hektar lahan di Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra) ternyata masuk kategori lahan kritis.
Data ini berdasarkan peta lahan kritis dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Tondano tahun 2021.
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air, pengertian lahan kritis dijabarkan lahan yang fungsinya kurang baik sebagai media produksi, meliputi tumbuhnya tanaman budidaya maupun non budidaya.
Lahan kritis diketahui dapat berdampak pada terjadinya erosi tanah yang bisa berpotensi sebabkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
Selain itu, lahan kritis juga merupakan salah satu indikator adanya degradasi lingkungan, akibat dari berbagai jenis pemanfaatan sumber daya lahan yang kurang bijaksana.
Dampak lahan kritis sesungguhnya tidak hanya pemunduran sifat-sifat tanah saja, namun juga mengakibatkan penurunan fungsi konservasi, fungsi produksi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Sementara Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Mitra, Desten Katiandagho mengatakan, jika menilik peta tersebut, lahan kritis di Mitra terletak di kawasan hutan, bahkan sebagian masuk kawasan hutan lindung.
Terkait hal ini, pihaknya akan berkonsultasi dengan UPTD Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) 5 Tomohon.
“Sebab untuk kawasan hutan sudah bukan wewenang kabupaten. Jadi kami akan berkonsultasi dengan instansi yang berwenang terkait upaya untuk konservasi tanah atau rehabilitasi lahan kritis ini,” pungkas Desten Katiandagho, Rabu (19/1/2022).
Selanjutnya terkait apakah salah satu penyebab lahan kritis ini adalah akibat ulah manusia, dirinya tidak menampik hal tersebut.
“Hal ini juga yang akan menjadi salah satu persoalan yang akan dikonsultasikan agar lahan kritis tidak bertambah, bahkan menjadi sangat kritis,” katanya.
Adapun dari peta tersebut, ada dua titik yang ternyata masuk kategori sangat kritis, yakni di seputar Gunung Soputan dan di sekitar wilayah hutan Ratatotok.
(jenlywenur)