Manado – Tujuh belas tahun yang lalu, tepatnya 16 Agustus 1996, jurnalis pemberani Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin menghembuskan napas terakhir. Jurnalis Harian Bernas itu meninggal dunia setelah tiga hari sebelumnya dianiaya sejumlah orang tak dikenal di depan rumah kontrakannya di Dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Kilometer 13, Yogyakarta.
Dan kini, 17 tahun setelah kematiannya, belum satu pun pembunuhnya diadili. Memang, ada seorang bernama Dwi Sumaji alias Iwik, warga Sleman, yang sempat diseret ke pengadilan dengan dakwaan membunuh Udin. Belakangan terungkap, Iwik disuruh mengaku sebagai pembunuh Udin oleh orang yang mengaku bernama Franki (Serma EW) dengan alasan untuk melindungi kepentingan Bupati Bantul saat itu, setelah sebelumnya dijanjikan pekerjaan, uang dan jaminan hidup keluarga.
Menurut Aliansi Jurnalis Independen, jika kasus ini termasuk pembunuhan berencana, maka kedaluarsanya akan terjadi tahun depan, 18 tahun setelah peristiwa terjadi. Kondisi ini menggerakkan AJI yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Untuk Udin (K@MU) menggelar aksi unjuk rasa menuntut pengungkapan kasus kematian Udin di titik nol kilometer atau perempatan Kantor Pos Besar Yogyakarta.
Massa berasal dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, LBH Yogyakarta, LBH Pers Yogyakarta, JPY, ICM, IDEA, PUSHAM UII, PUKAT UGM, Persma, dan Anti Tank. Mereka mengenakan pakaian hitam dan payung warna hitam sebagai simbol berduka atas tragedi pembunuhan Udin. Mereka juga membagikan stiker pada pengguna jalan yang melintas.
“Tahun depan adalah tahun kedaluarsa kasus Udin. Polisi harus bergerak untuk menuntaskan kasus ini,” kata koordinator aksi Tri Wahyu.
Usai menggelar aksi di titik nol kilometer, elemen wartawan Yogyakarta dan Koalisi Masyarakat Untuk Udin melanjutkan acara tabur bunga di pusara Muhammad Syafruddin di Dusun Kembangan, Desa Trirenggo, Kecamatan Bantul, DIY, usai salat Jumat sekitar pukul 13.30 WIB.
Polisi Menutup-nutupi?
Menurut Lembaga Bantuan Hukum Pers, 3 November 1997 Iwik dituntut bebas oleh jaksa. Pertimbangannya, dalam persidangan tidak diperoleh bukti dan keterangan yang menguatkan dakwaan jaksa bahwa Iwik adalah pembunuh Udin. Pada 27 November 1997 Iwik divonis bebas, Majelis Hakim yang terdiri dari Endang Sri Murwati SH, Mikaela Warsito SH, dan Soeparno SH. Dalam Pertimbangannya menyebutkan tidak ada bukti yang menguatkan Iwik adalah pembunuh Udin.
Penganiayaan yang mengakibatkan kematian Udin, sudah dapat dipastikan akibat dari pemberitaan yang ia tulis di Harian Bernas. Setidaknya ada beberapa tulisan dari Udin yang diduga sebagai pemicu tindakan penganiayaan tersebut, di antaranya adalah terkait dengan Penyunatan dana Inpres Desa Tertinggal di Desa Karangtengah, Kecamatan Imogiri, Bantul, Jawa Tengah, yang mendapat bantahan tegas dari Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo, dua hari setelah tulisan pertamanya turun.
Tulisan lain yang berpotensi sebagai penyebab penganiayaan adalah terkait dengan pemilihan Bupati Bantul masa jabatan 1996-2001 yang menyinggung ada surat kaleng berisi masalah uang Rp1 miliar yang diberikan seorang calon kepada salah satu yayasan Besar di Jakarta milik orang nomor satu waktu Itu.
Namun, menurut Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia, Aryo Wisanggeni, fakta-fakta yang sudah dilaporkan AJI bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum itu dikesampingkan oleh Kepolisian. “Pihak kepolisian masih memaksakan bahwa pelaku penganiayaan Udin adalah Dwi Sumaji alias Iwik, hal ini terlihat dari surat Polisi dengan nomor Kop B/4667/VIII/2012 tertanggal 15 Agustus 2012,” kata Aryo.
Surat tersebut merupakan surat balasan dari surat yang dikirim AJI dan LBH Pers ke Kepala Kepolisian. Balasan itu menegaskan bahwa kepolisian tetap berkeyakinan pelaku pembunuhan Udin adalah Dwi Sumaji alias Iwik. “Padahal Pengadilan Negeri Pada 27 November 1997 telah mengeluarkan Putusan yang membebaskan Dwi Sumaji dengan alasan tidak ada bukti yang menguatkan keterlibatan Iwik,” beber Aryo.
Atas dasar itu, AJI dan LBH Pers menilai polisi tidak serius mengusut kasus ini. “Bahkan terkesan polisi menutup-nutupi kasus ini,” imbuh jurnalis Harian Kompas ini.
LBH Pers mendesak Presiden RI untuk memerintahkan pihak Kepolisian segera melakukan penyidikan ulang dan mengungkap pelaku di balik penganiayaan yang mengakibatkan kematian Udin, kemudian mendesak Kepolisian untuk membentuk tim investigasi gabungan yang melibatkan praktisi media untuk mempercepat proses hukum.
Kepala Kepolisian DIY Brigadir Jenderal Haka Astana berjanji akan mengusut kasus kematian Udin yang sudah menjadi pekerjaan rumah Polda DIY selama 17 tahun. “Kami akan mempelajari temuan-temuan dari tim pencari fakta dan tentunya akan menggandeng pakar-pakar hukum karena polisi tak mungkin bekerja sendiri,” katanya.
Sementara itu, Gubernur DIY, Sri Sultan HB X mendukung agar kasus kematian wartawan Udin ini diungkap tuntas. Namun demikian kata Sultan untuk mengungkap kasus tersebut dibutuhkan fakta-fakta baru sehingga proses hukum itu bisa berjalan kembali. “Yang diperlukan adalah fakta-fakta otentik dan bukan hanya sekadar prasangka,” pungkasnya. (berbagai sumber/agust hari)