Manado – Menyikapi insiden penembakan terhadap warga Picuan oleh aparat kepolisian, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado, YDRI, KontraS Sulawesi, Walhi Sulut, Tri Prasetya, AMAN Sulut, PEKA, Aviciena dan Liga Manasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Sulut, menggelar konferensi pers bersama di Wale Kofi Esa, Marina Plaza Manado.
Dalam pernyataan bersama Andi Suaib dari Kontras Sulawesi, Syarif Hidayat dari Yayasan Dian Rakyat Indonesia, Maharani Rani dari LBH Manado dan Edo Rahman dari Walhi Manado mengungkapkan bahwa pertambangan rakyat di Desa Picuan Lama, Kecamatan Motoling Timur, Kabupaten Minahasa Selatan itu sudah beroperasi sejak tahun 1990 dengan mendapatkan izin resmi berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pertambangan Umum No 673K/20.01/DJP/1998 tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat untuk Bahan Galian Emas di daerah Alason dan Ranoyapo Kabupaten Minahasa.
Namun belakangan ini masuklah PT Sumber Energi Jaya (SEJ) dengan berpatokan pada SK Bupati Minahasa Selatan No. 87 tahun 2010 tentang Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi dengan masa kontrak selama 20 tahun di kawasan pertambangan rakyat tersebut. Sehingga warga pun keberatan, lalu melakukan perlawanan karena dianggap mengancam eksistensi tambang tradisional yang selama ini menghidupi mereka.
Aksi penolakan dan perlawanan warga, berbuntut pada tindakan represif serta anarki dari aparat kepolisian yang diduga menjaga objek milik PT SEJ. Dan berdasarkan data yang berhasil dihimpun menyatakan, peristiwa kekerasan oleh aparat kepolisian kepada warga berlarut-larut hingga dalam kurun waktu hingga dua bulan.
Menurut Maharani, berdasarkan data yang dirangkum LBH Manado, selain aksi kekerasan tersebut, polisi juga melakukan penculikan terhadap tiga orang warga Picuan, yang hingga kini belum diketahui keberadaannya. “Tiga orang warga Picuan, diinformasikan hilang sejak Selasa (5/6). Diduga ketiga orang warga yang diinformasikan bernama Raven Sumangkut, Fredi Rumondor dan Fanly Tendean diculik aparat kepolisian, karena pihak keluarga tidak diberitahu sedikit pun,” tegas Rani.
Senada dengan itu Andi Suaib dari Kontras Sulawesi justru menemukan fakta menarik bahwa dari hasil pengamatan dan informasi dari warga serta fakta di lapangan, ia menduga polisi melakukan penembakan bukan untuk tujuan melumpuhkan warga tapi sepertinya untuk menghabisi warga, karena dari posisi warga dan aparat serta posisi tembakan yang berada di belakang, jelas kemungkinan warga ditembak saat sedang berlari menghindar dari aparat.
Suaib juga mempertanyakan motif Kapolres Minsel yang terkesan menutupi fakta di lapangan, bawasannya aksi penembakan itu benar-banar terjadi dan bukan akibat panah wayer. “Kapolres harus jujur dan tidak melakukan pembohongan publik. Bagaimana bisa kondisi luka korban sangat jelas akibat tembakan senjata api, mau dibilang akibat panah wayer,” kata Suaib. (oke)