Oleh: Budi Susilo, Jurnalis
Jurnalis juga manusia, ciptaan Tuhan, yang berasal dari cairan sari pati, kemudian menggumpal menjadi daging dan tulang. Karenanya, jurnalis butuh biaya hidup, memenuhi sandang, pangan, papan bagi dirinya dan keluarga-keluarganya, sebab jurnalis bukan malaikat.
Wartawan atau jurnalis itu buruh, pekerja yang bekerja disebuah industri media, menjadi satu diantara faktor produksi yang turut pula dituntut mengejar keuntungan kapitalisasi industri.
Jurnalis juga berasal dari latar belakang sosial yang penuh ragam. Ada sosok jurnalis yang datang dari orang kumpulan ekonomi papan bawah, hidup dengan keprihatinan duka nestapa, yang idealismenya rawan tergadai, atau sebaliknya sangat diancungi jempol idealisme sucinya.
Serpihan hidup jaman ini, tak ayal, ada juga seorang jurnalis yang terlahir di sebuah keluarga mapan, yang kadang tidak menjamin idealismenya terjaga baik, atau idealismenya terbentengi baik tak terinjak-injak olehnya. Semuanya relatif, tergantung jalan hidup pribadi masing-masing.
Mau hidup kaya, silahkan agama tidak melarangnya. Namun mengejar kekayaan tersebut melalui jalan yang benar, sesuai tempatnya, mengerti akan tolak ukur nilai-nilai keadilan sosial kemasyarakatan.
Mau hidup berkemampuan ekonomi secara mapan, silahkan saja, sebab agama tidak mengharamkan, karena kemiskinan itu sesungguhnya membawa manusia pada dorongan kekufuran (kegelapan).
Pilihan sebagai jurnalis adalah panggilan hidup. Mau jadi hartawan, jangan jadi jurnalis. Mau seperti Don Juan yang punya segudang kekasih cinta, jangan menjadi jurnalis. Tetapi jika mau belajar hakikat hidup dan menjadi negarawan, profesi jurnalis adalah pilihannya.
Media sebagai alat perjuangan. Media sebagai curahan aspirasi nurani suci seorang wartawan. Media sarana pengubah hidup masyarakat yang ‘gelap’ menjadi ‘terang-benderang’. Inilah partikel-partikel idealisme yang harus melekat dalam diri jurnalis sebagai profesi terhormat.
Mau jadi jurnalis tujuannya mengejar harta benda. Mau jadi jurnalis agar memiliki kekebalan hukum lalu-lintas. Ingin menjadi jurnalis agar terlihat sangar, mampu mengancam orang-orang. Ini semua tentu saja telah menginjak-injak marwah profesi jurnalis.
Berkaca di jaman penjajahan. Pejuang-pejuang kemerdekaan kebanyakan, menekuni aktivitas jurnalis sebagai alat perjuangan kemasyarakatan, bukan sebagai alat sapi perah keuangan yang materialistik liberal. Sungguh celaka ‘tiga belas’, jika mengejar benda bergelimang harta, super kaya raya, hanya melalui jalan pintas lewat profesi jurnalis.
Di kode etik jurnalistik, tugas dan kewajiban seorang wartawan ialah mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum dengan memberi masyarakat informasi yang memungkinkan masyarakat membuat penilaian terhadap sesuatu masalah yang mereka hadapi. Dan karenanya, wartawan tidak diperbolehkan menyalahgunakan kekuasaan untuk motif pribadi atau tujuan yang tak berdasar.
Hati-hati akan godaan oportunis. Tak hanya profesi jurnalis, semua lini profesi juga mengalami hal sama, ada semacam dorongan nafsu materialistik yang begitu melilit menggurita, penyebab dari merebaknya konflik kepentingan. Bila tak mampu menahan diri, maka ancaman bahaya dunia dan akhirat menghantui kehidupan.
Disinggung dalam kode etik jurnalistik, wartawan harus mencegah terjadinya benturan kepentingan dalam dirinya. Tak boleh menerima apapun dari sumber berita atau terlibat dalam aktivitas yang dapat melemahkan integritasnya sebagai penyampai kabar informasi kebenaran.
Jika tak mampu dan waspada serta punya rasa bijak, maka akan terjebak pada hal-hal yang jahilia dan barbar. Karena itu, pegang kuat kode etik profesi yang sudah berlaku dan mengakar, jika mau selamat dan dicap orang bermartabat. Berhati-hatilah, sebab wartawan itu manusia, bukan malaikat. Salam perjuangan !. (*)
Oleh: Budi Susilo, Jurnalis
Jurnalis juga manusia, ciptaan Tuhan, yang berasal dari cairan sari pati, kemudian menggumpal menjadi daging dan tulang. Karenanya, jurnalis butuh biaya hidup, memenuhi sandang, pangan, papan bagi dirinya dan keluarga-keluarganya, sebab jurnalis bukan malaikat.
Wartawan atau jurnalis itu buruh, pekerja yang bekerja disebuah industri media, menjadi satu diantara faktor produksi yang turut pula dituntut mengejar keuntungan kapitalisasi industri.
Jurnalis juga berasal dari latar belakang sosial yang penuh ragam. Ada sosok jurnalis yang datang dari orang kumpulan ekonomi papan bawah, hidup dengan keprihatinan duka nestapa, yang idealismenya rawan tergadai, atau sebaliknya sangat diancungi jempol idealisme sucinya.
Serpihan hidup jaman ini, tak ayal, ada juga seorang jurnalis yang terlahir di sebuah keluarga mapan, yang kadang tidak menjamin idealismenya terjaga baik, atau idealismenya terbentengi baik tak terinjak-injak olehnya. Semuanya relatif, tergantung jalan hidup pribadi masing-masing.
Mau hidup kaya, silahkan agama tidak melarangnya. Namun mengejar kekayaan tersebut melalui jalan yang benar, sesuai tempatnya, mengerti akan tolak ukur nilai-nilai keadilan sosial kemasyarakatan.
Mau hidup berkemampuan ekonomi secara mapan, silahkan saja, sebab agama tidak mengharamkan, karena kemiskinan itu sesungguhnya membawa manusia pada dorongan kekufuran (kegelapan).
Pilihan sebagai jurnalis adalah panggilan hidup. Mau jadi hartawan, jangan jadi jurnalis. Mau seperti Don Juan yang punya segudang kekasih cinta, jangan menjadi jurnalis. Tetapi jika mau belajar hakikat hidup dan menjadi negarawan, profesi jurnalis adalah pilihannya.
Media sebagai alat perjuangan. Media sebagai curahan aspirasi nurani suci seorang wartawan. Media sarana pengubah hidup masyarakat yang ‘gelap’ menjadi ‘terang-benderang’. Inilah partikel-partikel idealisme yang harus melekat dalam diri jurnalis sebagai profesi terhormat.
Mau jadi jurnalis tujuannya mengejar harta benda. Mau jadi jurnalis agar memiliki kekebalan hukum lalu-lintas. Ingin menjadi jurnalis agar terlihat sangar, mampu mengancam orang-orang. Ini semua tentu saja telah menginjak-injak marwah profesi jurnalis.
Berkaca di jaman penjajahan. Pejuang-pejuang kemerdekaan kebanyakan, menekuni aktivitas jurnalis sebagai alat perjuangan kemasyarakatan, bukan sebagai alat sapi perah keuangan yang materialistik liberal. Sungguh celaka ‘tiga belas’, jika mengejar benda bergelimang harta, super kaya raya, hanya melalui jalan pintas lewat profesi jurnalis.
Di kode etik jurnalistik, tugas dan kewajiban seorang wartawan ialah mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum dengan memberi masyarakat informasi yang memungkinkan masyarakat membuat penilaian terhadap sesuatu masalah yang mereka hadapi. Dan karenanya, wartawan tidak diperbolehkan menyalahgunakan kekuasaan untuk motif pribadi atau tujuan yang tak berdasar.
Hati-hati akan godaan oportunis. Tak hanya profesi jurnalis, semua lini profesi juga mengalami hal sama, ada semacam dorongan nafsu materialistik yang begitu melilit menggurita, penyebab dari merebaknya konflik kepentingan. Bila tak mampu menahan diri, maka ancaman bahaya dunia dan akhirat menghantui kehidupan.
Disinggung dalam kode etik jurnalistik, wartawan harus mencegah terjadinya benturan kepentingan dalam dirinya. Tak boleh menerima apapun dari sumber berita atau terlibat dalam aktivitas yang dapat melemahkan integritasnya sebagai penyampai kabar informasi kebenaran.
Jika tak mampu dan waspada serta punya rasa bijak, maka akan terjebak pada hal-hal yang jahilia dan barbar. Karena itu, pegang kuat kode etik profesi yang sudah berlaku dan mengakar, jika mau selamat dan dicap orang bermartabat. Berhati-hatilah, sebab wartawan itu manusia, bukan malaikat. Salam perjuangan !. (*)