Sitaro – Proses demokrasi pilcaleg yang berlangsung 9 April 2014 lalu menyisakan penyesalan khusus bagi warga pendatang di wilayah kabupaten kepulauan Sitaro. Harapan warga untuk dapat menyalurkan aspirasi sebagai hak politik seluruh rakyat Indonesia terpaksa diurungkan oleh aturan kaku yang ditetapkan penyelenggara pemilu.
Menurut KPUD Sitaro melalui PPS, warga yang tidak bisa memilih dikarenakan tidak memiliki formulir A.5 sebagai pengantar dari tempat para warga itu terdaftar menurut alamat KTP. Memang, sebagian warga tersebut berasal dari Manado yang datang bekerja di Sitaro.
Warga pendatang yang didominasi PNS ini sempat melakukan perdebatan dengan beberapa ketua PPS karena mereka memiliki KTP dan terdaftar sebagai warga negara asli Republik Indonesia.
“Ini KTP berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Untuk caleg kabupaten dan provinsi mungkin kami bisa dibatasi untuk tidak memilih tapi untuk DPR-RI dan DPD-RI, kami kira di seluruh wilayah Sulawesi Utara kan sama”. Ketus Jeki, salah-satu warga pendatang di Sitaro.
Menurut pria yang ber-KTP Manado tersebut, dalam hal ini fleksibilitas KPUD Sitaro terhadap peraturan KPU dimana KPUD Sitaro mungkin bisa memfasilitasi warga luar untuk memilih nantinya pada saat rekapitulasi, KPUD Sitaro bisa melakukan konfirmasi pada KPUD asal warga pendatang tersebut.
“Ini kan bisa diatur, toh tidak mungkin warga tersebut akan memilih di dua tempat karena jarak dengan daerah asal sangat jauh dan beda pulau,” tukas jeki.
Lanjutnya, ini bisa menjadi bahan evaluasi karena adanya formulir A.5 tersebut untuk memfasilitasi seluruh warga Indonesia yang berada secara mendadak ataupun karena pekerjaan harus keluar dari daerah tempatnya terdaftar.
“Sangat miris pula misalnya apabila ada warga yang mendadak harus dirawat di rumah sakit dan berada jauh dari tempatnya terdaftar dan tidak punya formulir A.5 karena tidak mungkin pulang hanya untuk mengambil formulir A.5 sementara untuk pulang memakan waktu dan biaya hingga akhirnya warga tersebut terpaksa menjadi golput bukan karena keinganannya tapi karena kakunya aturan yang katanya dibuat untuk meningkatkan partisipasi penduduk terhadap pileg, juga untuk menekan angka golongan putih,” jelas Jeki. (*/QLu)
Sitaro – Proses demokrasi pilcaleg yang berlangsung 9 April 2014 lalu menyisakan penyesalan khusus bagi warga pendatang di wilayah kabupaten kepulauan Sitaro. Harapan warga untuk dapat menyalurkan aspirasi sebagai hak politik seluruh rakyat Indonesia terpaksa diurungkan oleh aturan kaku yang ditetapkan penyelenggara pemilu.
Menurut KPUD Sitaro melalui PPS, warga yang tidak bisa memilih dikarenakan tidak memiliki formulir A.5 sebagai pengantar dari tempat para warga itu terdaftar menurut alamat KTP. Memang, sebagian warga tersebut berasal dari Manado yang datang bekerja di Sitaro.
Warga pendatang yang didominasi PNS ini sempat melakukan perdebatan dengan beberapa ketua PPS karena mereka memiliki KTP dan terdaftar sebagai warga negara asli Republik Indonesia.
“Ini KTP berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Untuk caleg kabupaten dan provinsi mungkin kami bisa dibatasi untuk tidak memilih tapi untuk DPR-RI dan DPD-RI, kami kira di seluruh wilayah Sulawesi Utara kan sama”. Ketus Jeki, salah-satu warga pendatang di Sitaro.
Menurut pria yang ber-KTP Manado tersebut, dalam hal ini fleksibilitas KPUD Sitaro terhadap peraturan KPU dimana KPUD Sitaro mungkin bisa memfasilitasi warga luar untuk memilih nantinya pada saat rekapitulasi, KPUD Sitaro bisa melakukan konfirmasi pada KPUD asal warga pendatang tersebut.
“Ini kan bisa diatur, toh tidak mungkin warga tersebut akan memilih di dua tempat karena jarak dengan daerah asal sangat jauh dan beda pulau,” tukas jeki.
Lanjutnya, ini bisa menjadi bahan evaluasi karena adanya formulir A.5 tersebut untuk memfasilitasi seluruh warga Indonesia yang berada secara mendadak ataupun karena pekerjaan harus keluar dari daerah tempatnya terdaftar.
“Sangat miris pula misalnya apabila ada warga yang mendadak harus dirawat di rumah sakit dan berada jauh dari tempatnya terdaftar dan tidak punya formulir A.5 karena tidak mungkin pulang hanya untuk mengambil formulir A.5 sementara untuk pulang memakan waktu dan biaya hingga akhirnya warga tersebut terpaksa menjadi golput bukan karena keinganannya tapi karena kakunya aturan yang katanya dibuat untuk meningkatkan partisipasi penduduk terhadap pileg, juga untuk menekan angka golongan putih,” jelas Jeki. (*/QLu)