Jakarta – Kisruh politik di institusi demokrasi Indonesia masuk tahap stadium ganas. Adu jotos, jual-beli pukulan, banting meja serta gelas, saling sabotase, dan lainnya seolah telah menjadi tabiat yang dilazimkan. Kisruh ini dilatarbelakangi perbedaan adu argumen, ide, gagasan, ideologi. Padahal kanalisasi untuk mengatasi kisruh itu jauh-jauh hari sudah dibuat.
Suramnya wajah institusi demokrasi Indonesia paska Pilpres 2014 dimulai di DPR. Munculnya drama Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) menjadi muaranya. Kisruh itu menular di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Perebutan posisi Ketua Umum menjadi bara panasnya. Dan, terbaru di Partai Golkar. Musabab juga sama yang dialami PPP.
Publik terus-menerus dicecoki oleh politisi atau anggota partai politik dengan metode penyelesaian konflik yang jauh diambang batas nalar. Akibat karut-marutnya wajah institusi demokrasi Indonesia menyebabkan melorotnya kepercayaan publik terhadap mereka.
“Prilaku bar-bar (adu jotos-red) yang dipertontonkan oleh politisi baik yang ada di partai politik atau di DPR harus segera dihentikan. Bila perlu diamputasi. Karena akan terus mengganggu tumbuh kembangnya bibit baru yang baru di institusi demokrasi kita,” ujar peneliti senior Founding Fathers House (FFH) Dian Permata, di Jakarta, Rabu (26/11/2014).
Dalam data riset survei nasional FFH periode September-Oktober 2012 tentang kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi Indonesia dalam hal ini partai politik, diketahui 1 persen publik mengaku sangat percaya, 28,8 persen percaya, 50 persen tidak percaya, 11,7 persen sangat tidak percaya, dan 8,5 persen tidak tahu.
Di periode April-Mei 2014, 2,2 persen sangat percaya, 19,2 persen percaya, 59,5 persen tidak percaya, 7,2 persen sangat tidak percaya, dan 11,9 persen tidak tahu. “Jika dibandingkan dengan tahun 2012 dan 2014 maka ada penurunan signifikan tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik. Ini tidak bisa dilepaskan makin banyak anggota partai politik yang terjerat kasus korupsi dan gratifikasi”
Sedangkan di periode Mei-Juni 2014, 2,5 persen sangat percaya, 23,6 persen percaya, 54,5 persen tidak percaya, 6,9 persen sangat tidak percaya, dan 12,5 persen tidak tahu. “Jika dilihat secara agregat maka tingkat kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi seperti partai politik hanya ada dikisaran 23-29 persen. Artinya sekitar 60 persenan publik tidak percaya dengan partai politik. Angka ini sangat mengkhawatirkan”
Untuk itu, kata alumnus University Sains Malaysia (USM) itu, para elit partai politik harus dapat menahan diri ketika dihadapkan dalam tujuan politik mereka. Jika para anggota partai politik tidak merubah prilaku politik maka yang akan tercemar berikutnya adalah tingkat partisipasi publik dalam mengikuti hajatan politik seperti pemilihan umum. Publik akan merasa emoh berpartisipasi karena ulah para anggota partai politik itu sendiri.
Menurut Dian, publik tentu rindu dengan prilaku anggota partai politik yang santun dalam memperjuangkan sebuah gagasan, ide, ideologi, dan lainnya. Contoh idealnya ketika para founding father berdebat panjang dan panas di majelis Konstituante Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). “Karena itu, Partai Golkar, sebagai salah satu partai besar dalam peta politik Indonesia, harus dapat keluar dari kemelut yang melilitnya. Apalagi mereka memiliki segudang kader mumpuni”.(***)
Jakarta – Kisruh politik di institusi demokrasi Indonesia masuk tahap stadium ganas. Adu jotos, jual-beli pukulan, banting meja serta gelas, saling sabotase, dan lainnya seolah telah menjadi tabiat yang dilazimkan. Kisruh ini dilatarbelakangi perbedaan adu argumen, ide, gagasan, ideologi. Padahal kanalisasi untuk mengatasi kisruh itu jauh-jauh hari sudah dibuat.
Suramnya wajah institusi demokrasi Indonesia paska Pilpres 2014 dimulai di DPR. Munculnya drama Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) menjadi muaranya. Kisruh itu menular di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Perebutan posisi Ketua Umum menjadi bara panasnya. Dan, terbaru di Partai Golkar. Musabab juga sama yang dialami PPP.
Publik terus-menerus dicecoki oleh politisi atau anggota partai politik dengan metode penyelesaian konflik yang jauh diambang batas nalar. Akibat karut-marutnya wajah institusi demokrasi Indonesia menyebabkan melorotnya kepercayaan publik terhadap mereka.
“Prilaku bar-bar (adu jotos-red) yang dipertontonkan oleh politisi baik yang ada di partai politik atau di DPR harus segera dihentikan. Bila perlu diamputasi. Karena akan terus mengganggu tumbuh kembangnya bibit baru yang baru di institusi demokrasi kita,” ujar peneliti senior Founding Fathers House (FFH) Dian Permata, di Jakarta, Rabu (26/11/2014).
Dalam data riset survei nasional FFH periode September-Oktober 2012 tentang kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi Indonesia dalam hal ini partai politik, diketahui 1 persen publik mengaku sangat percaya, 28,8 persen percaya, 50 persen tidak percaya, 11,7 persen sangat tidak percaya, dan 8,5 persen tidak tahu.
Di periode April-Mei 2014, 2,2 persen sangat percaya, 19,2 persen percaya, 59,5 persen tidak percaya, 7,2 persen sangat tidak percaya, dan 11,9 persen tidak tahu. “Jika dibandingkan dengan tahun 2012 dan 2014 maka ada penurunan signifikan tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik. Ini tidak bisa dilepaskan makin banyak anggota partai politik yang terjerat kasus korupsi dan gratifikasi”
Sedangkan di periode Mei-Juni 2014, 2,5 persen sangat percaya, 23,6 persen percaya, 54,5 persen tidak percaya, 6,9 persen sangat tidak percaya, dan 12,5 persen tidak tahu. “Jika dilihat secara agregat maka tingkat kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi seperti partai politik hanya ada dikisaran 23-29 persen. Artinya sekitar 60 persenan publik tidak percaya dengan partai politik. Angka ini sangat mengkhawatirkan”
Untuk itu, kata alumnus University Sains Malaysia (USM) itu, para elit partai politik harus dapat menahan diri ketika dihadapkan dalam tujuan politik mereka. Jika para anggota partai politik tidak merubah prilaku politik maka yang akan tercemar berikutnya adalah tingkat partisipasi publik dalam mengikuti hajatan politik seperti pemilihan umum. Publik akan merasa emoh berpartisipasi karena ulah para anggota partai politik itu sendiri.
Menurut Dian, publik tentu rindu dengan prilaku anggota partai politik yang santun dalam memperjuangkan sebuah gagasan, ide, ideologi, dan lainnya. Contoh idealnya ketika para founding father berdebat panjang dan panas di majelis Konstituante Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). “Karena itu, Partai Golkar, sebagai salah satu partai besar dalam peta politik Indonesia, harus dapat keluar dari kemelut yang melilitnya. Apalagi mereka memiliki segudang kader mumpuni”.(***)