Manado – Menjelang pelaksanaan Pilkada Manado 9 Desember 2015 mendatang, keikutsertaan pasangan Jimmy Rimba Rogi-Boby Daud belum sepenuhnya dipastikan karena terganjal dengan keputusan KPU Manado yang telah menerbitkan berita acara pembatalan akan keputusan sebelumnya yang menyatakan pasangan yang diusung Golkar dan PAN telah memenuhi syarat.
Ketua tim pemenangan pasangan Imba-Boby yang juga merupakan mantan ketua KPU Manado, Dolfie Angkouw membeberkan dasar hukum yang memperboleh seorang mantan terpidana mengikuti pesta demokrasi dalam menentukan pemimpin Kota Manado untuk periode 2015-2020.
“PUU Mahkamah Konstitusi nomor 42 tahun 2015 memperbolehkan mantan terpidana jadi calon kepala daerah yang mengugurkan pasal 7 undang-undangan Pilkada. Dalam keputusan MK tersebut didalamnya tidak terdapat istilah bebas bersyarat,” kata Angkouw.
Lanjut dijelaskannya, dalam PKPU serta perubahan PKPU 12 tahun 2015 tidak terdapat istilah bebas bersyarat, hanya bersedia mengumumkan di media bahwa yang bersangkutan pernah terpidana alias mantan narapidana dengan surat keterangan dari Lapas.
“Jimmy Rimba Rogi sudah mematuhi seluruh persyaratannya yang diatur dalam PKPU. Sehingga sudah memenuhi syarat sebagai calon,” tambahnya.
Angkouw pun membeberkan salah satu alasan yang mendasar sehingga Imba-Boby berkali-kali dicekal dalam pencalonannya sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Manado.
“Karena popularitasnya melebihi calon lain, maka harus di TMS (tidak memenuhi syarat) kan alias dianulir,” sindir Angkouw.
Ia pun menduga, penyelenggara Pilkada Manado telah melakukan pelanggaran kode etik dengan sejumlah keputusan yang diterbitkan oleh lembaga independen tersebut.
“KPU RI dan Bawaslu RI dipakai alat kekuasaan tekanan dan perintah KPU Sulut, Bawaslu Sulut dengan menonaktifkan Paransi (Ketua KPU Manado) dari jabatannya dan keanggotaannya di KPU Manado serta penonaktifan Panwaslu Manado menggambarkan intervensi terstruktur karena tanpa hasil DKPP, baik Paransi dan Panwaslu telah dinonaktifkan. Padahal jika merujuk ke undang-undang penyelenggara pemilu nomor 15 tahun 2011, penonaktifan anggota penyelenggara pemilu harus berdasarkan putusan DKPP,” tegasnya. (leriandokambey)
Manado – Menjelang pelaksanaan Pilkada Manado 9 Desember 2015 mendatang, keikutsertaan pasangan Jimmy Rimba Rogi-Boby Daud belum sepenuhnya dipastikan karena terganjal dengan keputusan KPU Manado yang telah menerbitkan berita acara pembatalan akan keputusan sebelumnya yang menyatakan pasangan yang diusung Golkar dan PAN telah memenuhi syarat.
Ketua tim pemenangan pasangan Imba-Boby yang juga merupakan mantan ketua KPU Manado, Dolfie Angkouw membeberkan dasar hukum yang memperboleh seorang mantan terpidana mengikuti pesta demokrasi dalam menentukan pemimpin Kota Manado untuk periode 2015-2020.
“PUU Mahkamah Konstitusi nomor 42 tahun 2015 memperbolehkan mantan terpidana jadi calon kepala daerah yang mengugurkan pasal 7 undang-undangan Pilkada. Dalam keputusan MK tersebut didalamnya tidak terdapat istilah bebas bersyarat,” kata Angkouw.
Lanjut dijelaskannya, dalam PKPU serta perubahan PKPU 12 tahun 2015 tidak terdapat istilah bebas bersyarat, hanya bersedia mengumumkan di media bahwa yang bersangkutan pernah terpidana alias mantan narapidana dengan surat keterangan dari Lapas.
“Jimmy Rimba Rogi sudah mematuhi seluruh persyaratannya yang diatur dalam PKPU. Sehingga sudah memenuhi syarat sebagai calon,” tambahnya.
Angkouw pun membeberkan salah satu alasan yang mendasar sehingga Imba-Boby berkali-kali dicekal dalam pencalonannya sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Manado.
“Karena popularitasnya melebihi calon lain, maka harus di TMS (tidak memenuhi syarat) kan alias dianulir,” sindir Angkouw.
Ia pun menduga, penyelenggara Pilkada Manado telah melakukan pelanggaran kode etik dengan sejumlah keputusan yang diterbitkan oleh lembaga independen tersebut.
“KPU RI dan Bawaslu RI dipakai alat kekuasaan tekanan dan perintah KPU Sulut, Bawaslu Sulut dengan menonaktifkan Paransi (Ketua KPU Manado) dari jabatannya dan keanggotaannya di KPU Manado serta penonaktifan Panwaslu Manado menggambarkan intervensi terstruktur karena tanpa hasil DKPP, baik Paransi dan Panwaslu telah dinonaktifkan. Padahal jika merujuk ke undang-undang penyelenggara pemilu nomor 15 tahun 2011, penonaktifan anggota penyelenggara pemilu harus berdasarkan putusan DKPP,” tegasnya. (leriandokambey)