Oleh: Dr. Frangky Jessy Paat, SP, M.Si
(Akademisi Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi)
– sambungan. bagian tulisan sebelumnya, lihat bagian bawah tulisan ini.
Tantangan Liberalisasi Perdagangan dan Tekanan Globalisasi Pasar
Pada tahun 2015 mendatang, Indonesia akan menghadapi pasar bebas ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC). Pemerintah telah menyiapkan strategi dalam menghadapi integrasi ekonomi ASEAN dengan mendorong agenda hilirisasi industri guna meningkatkan nilai tambah bagi produk alam Indonesia. Pemerintah telah menetapkan prioritas pembangunan hilirisasi industri nasional terhadap sektor strategis Indonesia, yaitu industri berbasis hasil tambang dan industri berbasis pertanian. Sebagai Negara agraris, maka pemerintah harus mengalokasikan anggaran pada penetapan APBN 2014 untuk meningkatkan perekonomian pelaku ekonomi kecil seperti petani, nelayan, dan UMKM. Bukan hanya persoalan modal saja, tetapi lebih kepada upaya pemerintah untuk melindungi pelaku ekonomi kecil. Yang paling krusial adalah pengalokasian anggaran sektor pertanian.
Sektor pertanian Indonesia dihadapkan pada persaingan pasar yang semakin kompetitif, ditengah dinamika perubahan lingkungan strategis internasional. Ratifikasi berbagai kesepakatan internasional, memaksa setiap negara membuka segala rintangan perdagangan dan investasi, serta membuka kran ekspor-impor seluas-luasnya. Hal tersebut akan mendorong persaingan pasar yang semakin ketat, sebagai akibat integrasi pasar regional/internasional terhadap pasar domestik. Praktek perdagangan bebas yang cenderung menghilangkan perlakukan non-tariff barrier telah berdampak besar terhadap sektor pertanian Indonesia, baik di tingkat mikro (usahatani) maupun di tingkat makro (nasional-kebijakan). Di tingkat mikro, liberalisasi perdagangan ini sangat terkait dengan efisiensi, produktivitas dan skala usaha. Sedangkan di tingkat makro, kebijakan pemerintah sangat diperlukan untuk melindungi petani produsen dan masyarakat konsumen. Pada kenyataannya kelompok negara maju lebih berhasil dalam mengamankan petaninya agar tetap bergairah berproduksi. Sementara negara-negara berkembang relatif kurang berhasil memproteksi petani produsen dan masyarakat konsumen.
Tantangan sektor pertanian Indonesia ke depan yang harus dihadapi adalah bagaimana meningkatkan daya saing komoditas pertanian dengan karakteristik yang sesuai keinginan konsumen dan memiliki daya saing yang tinggi, baik di pasar domestik ataupun pasar ekspor. Pengembangan daya saing dan ekspansi pasar komoditas ekspor tradisional harus lebih ditingkatkan, terutama pengembangan produk olahan pertanian. Di samping pengembangan komoditas dan produk pertanian baru yang memiliki permintaan pasar yang tinggi harus segera dirintis dan diwujudkan. Aturan baru perbankan pada minggu ke tiga medio agustus tahun 2013, melalui keputusan dewan Gubernur bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan (BI rate) di tingkat 6,50 persen yang menunjukkan prioritas BI pada pertumbuhan ekonomi dengan asumsi bahwa nilai tukar rupiah masih tertekan, serta ekspor masih belum cukup kuat untuk menopang pertumbuhan ekonomi akibat masih lemahnya permintaan ekonomi global dan melemahnya daya beli akibat inflasi yang meningkat berpengaruh terhadap perlambatan konsumsi rumah tangga.
Medio awal September kembali lagi Bank Indonesia melakukan rapat darurat untuk memutuskan menaikkan suku bungan acuan (BI rate) menjadi tujuh persen, tingkat inflasi bakal diatas sembilan persen, ditambah defisit neraca perdagangan pada bulan juli 2013 yang mencapai 2,3 milyar dollar AS dan impor masih tetap tinggi. Pilihan BI ini jelas berat karena akan mengorbankan tingkat pertumbuhan ekonomi. Langkah BI ini berdampak pada pengetatan kebijakan yang berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan sector pertanian yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, fluktuasi harga, yang berimplikasi pada produksi serta nilai tukar petani (NTP). Pertumbuhan ekonomi yang rendah punya konsekuensi yang begitu luas ditengah upaya mengurangi tingkat pengangguran lebih dari 717 juta orang dan 2,1 juta orang memasuki lapangan pekerjaan setiap tahun. Alokasi anggaran yang diberikan kepada sektor pertanian bertujuan untuk meningkatkan produktivitas petani. Pemerintah harus membuktikan komitmen untuk memperjuangkan pelaku ekonomi kecil baik soal modal, serta asuransi petani.
Di samping permasalahan yang terkait dengan ketersediaan dan pengembangan lahan beririgasi, ketersediaan, akses, dan penerapan varietas unggul baru serta teknologi spesifik lokasi, pengembangan produksi pertanian juga menghadapi permasalahan yang terkait dengan ketersediaan anggaran pembangunan dan penyediaan sistem insentif untuk mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani. Pupuk yang bersifat komplemen dengan pengembangan infrastruktur pertanian juga mengalami penurunan subsidi secara signifikan sejak pertengahan 1980-an. Penurunan anggaran pemerintah dalam pengembangan infrastruktur dan subsidi pupuk berdampak terhadap stagnasi atau penurunan produktivitas dan produksi komoditas pertanian. Insentif yang diterima petani terdiri atas dua komponen utama, yaitu subsidi sarana produksi (pupuk, benih, kredit dan mekanisasi pertanian) dan proteksi harga hasil produksi. Sejak pertengahan 1980-an, total insentif pemerintah secara bertahap menurun. Penurunan subsidi sarana produksi berdampak terhadap peningkatan biaya produksi dan penurunan pendapatan petani.
(bersambung)
Baca juga:
- Tantangan dan Peluang Sektor Pertanian (leading sector) Berdasarkan Proyeksi RAPBN 2014 (Bag I)
- Tantangan dan Peluang Sektor Pertanian (leading sector) Berdasarkan Proyeksi RAPBN 2014 (Bag II)
Oleh: Dr. Frangky Jessy Paat, SP, M.Si
(Akademisi Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi)
– sambungan. bagian tulisan sebelumnya, lihat bagian bawah tulisan ini.
Tantangan Liberalisasi Perdagangan dan Tekanan Globalisasi Pasar
Pada tahun 2015 mendatang, Indonesia akan menghadapi pasar bebas ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC). Pemerintah telah menyiapkan strategi dalam menghadapi integrasi ekonomi ASEAN dengan mendorong agenda hilirisasi industri guna meningkatkan nilai tambah bagi produk alam Indonesia. Pemerintah telah menetapkan prioritas pembangunan hilirisasi industri nasional terhadap sektor strategis Indonesia, yaitu industri berbasis hasil tambang dan industri berbasis pertanian. Sebagai Negara agraris, maka pemerintah harus mengalokasikan anggaran pada penetapan APBN 2014 untuk meningkatkan perekonomian pelaku ekonomi kecil seperti petani, nelayan, dan UMKM. Bukan hanya persoalan modal saja, tetapi lebih kepada upaya pemerintah untuk melindungi pelaku ekonomi kecil. Yang paling krusial adalah pengalokasian anggaran sektor pertanian.
Sektor pertanian Indonesia dihadapkan pada persaingan pasar yang semakin kompetitif, ditengah dinamika perubahan lingkungan strategis internasional. Ratifikasi berbagai kesepakatan internasional, memaksa setiap negara membuka segala rintangan perdagangan dan investasi, serta membuka kran ekspor-impor seluas-luasnya. Hal tersebut akan mendorong persaingan pasar yang semakin ketat, sebagai akibat integrasi pasar regional/internasional terhadap pasar domestik. Praktek perdagangan bebas yang cenderung menghilangkan perlakukan non-tariff barrier telah berdampak besar terhadap sektor pertanian Indonesia, baik di tingkat mikro (usahatani) maupun di tingkat makro (nasional-kebijakan). Di tingkat mikro, liberalisasi perdagangan ini sangat terkait dengan efisiensi, produktivitas dan skala usaha. Sedangkan di tingkat makro, kebijakan pemerintah sangat diperlukan untuk melindungi petani produsen dan masyarakat konsumen. Pada kenyataannya kelompok negara maju lebih berhasil dalam mengamankan petaninya agar tetap bergairah berproduksi. Sementara negara-negara berkembang relatif kurang berhasil memproteksi petani produsen dan masyarakat konsumen.
Tantangan sektor pertanian Indonesia ke depan yang harus dihadapi adalah bagaimana meningkatkan daya saing komoditas pertanian dengan karakteristik yang sesuai keinginan konsumen dan memiliki daya saing yang tinggi, baik di pasar domestik ataupun pasar ekspor. Pengembangan daya saing dan ekspansi pasar komoditas ekspor tradisional harus lebih ditingkatkan, terutama pengembangan produk olahan pertanian. Di samping pengembangan komoditas dan produk pertanian baru yang memiliki permintaan pasar yang tinggi harus segera dirintis dan diwujudkan. Aturan baru perbankan pada minggu ke tiga medio agustus tahun 2013, melalui keputusan dewan Gubernur bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan (BI rate) di tingkat 6,50 persen yang menunjukkan prioritas BI pada pertumbuhan ekonomi dengan asumsi bahwa nilai tukar rupiah masih tertekan, serta ekspor masih belum cukup kuat untuk menopang pertumbuhan ekonomi akibat masih lemahnya permintaan ekonomi global dan melemahnya daya beli akibat inflasi yang meningkat berpengaruh terhadap perlambatan konsumsi rumah tangga.
Medio awal September kembali lagi Bank Indonesia melakukan rapat darurat untuk memutuskan menaikkan suku bungan acuan (BI rate) menjadi tujuh persen, tingkat inflasi bakal diatas sembilan persen, ditambah defisit neraca perdagangan pada bulan juli 2013 yang mencapai 2,3 milyar dollar AS dan impor masih tetap tinggi. Pilihan BI ini jelas berat karena akan mengorbankan tingkat pertumbuhan ekonomi. Langkah BI ini berdampak pada pengetatan kebijakan yang berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan sector pertanian yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, fluktuasi harga, yang berimplikasi pada produksi serta nilai tukar petani (NTP). Pertumbuhan ekonomi yang rendah punya konsekuensi yang begitu luas ditengah upaya mengurangi tingkat pengangguran lebih dari 717 juta orang dan 2,1 juta orang memasuki lapangan pekerjaan setiap tahun. Alokasi anggaran yang diberikan kepada sektor pertanian bertujuan untuk meningkatkan produktivitas petani. Pemerintah harus membuktikan komitmen untuk memperjuangkan pelaku ekonomi kecil baik soal modal, serta asuransi petani.
Di samping permasalahan yang terkait dengan ketersediaan dan pengembangan lahan beririgasi, ketersediaan, akses, dan penerapan varietas unggul baru serta teknologi spesifik lokasi, pengembangan produksi pertanian juga menghadapi permasalahan yang terkait dengan ketersediaan anggaran pembangunan dan penyediaan sistem insentif untuk mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani. Pupuk yang bersifat komplemen dengan pengembangan infrastruktur pertanian juga mengalami penurunan subsidi secara signifikan sejak pertengahan 1980-an. Penurunan anggaran pemerintah dalam pengembangan infrastruktur dan subsidi pupuk berdampak terhadap stagnasi atau penurunan produktivitas dan produksi komoditas pertanian. Insentif yang diterima petani terdiri atas dua komponen utama, yaitu subsidi sarana produksi (pupuk, benih, kredit dan mekanisasi pertanian) dan proteksi harga hasil produksi. Sejak pertengahan 1980-an, total insentif pemerintah secara bertahap menurun. Penurunan subsidi sarana produksi berdampak terhadap peningkatan biaya produksi dan penurunan pendapatan petani.
(bersambung)
Baca juga:
- Tantangan dan Peluang Sektor Pertanian (leading sector) Berdasarkan Proyeksi RAPBN 2014 (Bag I)
- Tantangan dan Peluang Sektor Pertanian (leading sector) Berdasarkan Proyeksi RAPBN 2014 (Bag II)