Jakarta – Simbol kedaerahan Minahasa seperti nama dan lambang yang saat ini diadopsi oleh Polda Sulut pada satuan yang dibentuk dinilai kurang tepat. Demikian pendapat Aktivis Pemuda Katolik berdarah kawanua Emmanuel Josafat Tular.
Menurutnya, kalau memang tim yang dibentuk dengan tujuan penanganan berbagai masalah keamanan di daerah, sebaiknya untuk kendaraan operasional dan pendanaannya diusahakan dari sumber lain, bukan dari Satuan Sabhara.
“Dari nama institusi saja yaitu Kepolisian Republik Indonesia, itu sudah jelas tidak menunjukkan simbol-simbol kedaerahan. Secara tidak langsung, mulai dari penggunaan seragam dinas hingga kendaraan operasional harus sesuai dengan peruntukannya,” katanya kepada BeritaManado.com, Selasa (30/5/2017).
Apabila jajaran kepolisian di daerah misalnya mendapatkan bantuan kendaraan patroli, hendaknya itu digunakan sesuai dengan fungsinya dan jangan dirubah penampilannya atau dipakai untuk keperluan lain.
Tak hanya itu, penyalurannya pun harus sampai pada polsek-polsek. Hal itu mengingat, Polsek yang ada di wilayah terpencil sangat membutuhkan kendaraan patroli untuk melayani masyarakat, khususnya yang meminta bantuan polisi.
“Saya pikir, penggunaan anggaran operasional patroli pada satuan kepolisian yang menggunakan simbol kedaerahan seperti Manguni, Totosik dan sebagainya tidak tepat. Akan tetapi jika pendanaannya dari sumber lain bisa, asalkan dapat dipertanggung jawabkan,” ungkapnya.
Tular pun mengharapkan Polda Sulut mengkaji kembali soal keberadaan nama dan simbol kedaerahan yang ada di dalam tubuh Polri. Kalaupun masih dianggap perlu tetap ada, maka harus dicari solusi pembiayaan operasionalnya. (frangkiwullur)