Manado – Pembangunan waduk di Kuwil-Kawangkoan,Kalawat-Airmadidi, sadar atau tidak, sengaja atau tidak sengaja secara langsung berdampak pada rusaknya salah-satu tatanan penanda budaya di Minahasa, khususnya Minahasa Utara, lebih khusus wilayah Kuwil-Kawangkoan.
Press rillis “Save Waruga, Save Minahasa” dari Jaringan Komunitas Budaya Minahasa menjelaskan, tatanan penanda budaya atau cagar kebudayaan ini terangkum sebagai tempat yang dinamai “Kinaangkoan”. Nama Kawangkoan yang dipakai pada saat ini bersumber dari ungkapan tersebut. Demikian pernah dikatakan oleh John Rotinsulu, tetua kampung.
Nama Kinaangkoan yang kemudian menjadi Kawangkoan, terkait dengan kisah para leluhur dahulu ketika menemukan pemukinan disitu. Kinaangkoan jika dieja dalam bahasa melayu Manado adalah “pe tahoba ka sana”.
“Hal tersebut terkait kisah para leluhur yang mencari hunian baru. ketika dalam perjalanan menuju kesana, mereka menyusuri sungai. Mereka kemudian mendaki, dan ketika sampai diatas, para leluhur melihat tanah yang rata, mereka memutuskan menjadikan tempat itu sebagai pemukiman. Itulah kawasan Wale Ure Kinaangkoan, tempat Waruga-Waruga itu berada,” jelas pemerhati sekaligus peneliti budaya, Freddy Wowor. (***/jerrypalohoon)
Manado – Pembangunan waduk di Kuwil-Kawangkoan,Kalawat-Airmadidi, sadar atau tidak, sengaja atau tidak sengaja secara langsung berdampak pada rusaknya salah-satu tatanan penanda budaya di Minahasa, khususnya Minahasa Utara, lebih khusus wilayah Kuwil-Kawangkoan.
Press rillis “Save Waruga, Save Minahasa” dari Jaringan Komunitas Budaya Minahasa menjelaskan, tatanan penanda budaya atau cagar kebudayaan ini terangkum sebagai tempat yang dinamai “Kinaangkoan”. Nama Kawangkoan yang dipakai pada saat ini bersumber dari ungkapan tersebut. Demikian pernah dikatakan oleh John Rotinsulu, tetua kampung.
Nama Kinaangkoan yang kemudian menjadi Kawangkoan, terkait dengan kisah para leluhur dahulu ketika menemukan pemukinan disitu. Kinaangkoan jika dieja dalam bahasa melayu Manado adalah “pe tahoba ka sana”.
“Hal tersebut terkait kisah para leluhur yang mencari hunian baru. ketika dalam perjalanan menuju kesana, mereka menyusuri sungai. Mereka kemudian mendaki, dan ketika sampai diatas, para leluhur melihat tanah yang rata, mereka memutuskan menjadikan tempat itu sebagai pemukiman. Itulah kawasan Wale Ure Kinaangkoan, tempat Waruga-Waruga itu berada,” jelas pemerhati sekaligus peneliti budaya, Freddy Wowor. (***/jerrypalohoon)