Oleh: Dino Kaghoo
PILKADA Bolmong 22 Maret 2011 yang lalu mengejutkan banyak kalangan, baik lembaga-lembaga penelitian semacam LSI (yang menjadi konsultan pemenangan salah satu pasangan calon) maupun para akademisi yang intens memantau perkembangan demokrasi di tanah Totabuan. Salihi dan Tuuk menjadi pemenang pertarungan demokasi. padahal, beberapa saat sebelum Pilkada berlangsung, LSI telah mengumumkan hasil survey satu putaran akan dimenangkan oleh pasangan ADM-Norma, kemudian pada detik-detik terakhir lembaga survey lokal JPPR mengumumkan pasangan Limi-Meidy sebagai pemenang pilkada dengan satu kali putaran.
Dari lima pasangan calon bupati yang menjadi peserta pilkada, tiga di antaranya menjadi pasangan yang sangat potensial yaitu pasangan Nomor Urut 1 (Salihi Mokoagow dan Yani Tuuk) yang diusung PDIP, PAN, PKS, PDS dan Gerindra, pasangan nomor urut 2 (Limi Mokompit dan Meidy Pandeirot) yang diusung oleh Partai Hanura, PKB, dan PKPB serta pasangan nomor urut 4 (Aditia Moha dan Norma Makalalag) yang diusung partai Golkar dan Demokrat. Dua pasangan lain, masing-masing M.S. Binol – Masni Pomo dari kalangan independen dan pasangan Samsurizal Damopolii – Nurdin M dari Partai Gabungan non sheet. Banyak kalangan mengunggulkan pasangan ADM-Norma yang akan memenangkan pertarungan karena indicator incumbent dari ibundanya selaku bupati yang masih menjabat dan berasal dari dua partai besar. Demikian juga pasangan Salihi – Yani yang berasal dari PDIP, PAN, PKS, PDS dan Gerindra yang memiliki sumber daya financial sangat besar dari tokoh-tokoh politik semacam Olly Dondokambey dengan ODC (Olly Dondokambey Center)-nya dan ditopang oleh kapasitas Yasti Suprejo Mokoagow, anggota DPRRI dan Tatong Bara sebagai wakil walikota Kotamobagu. Sedangkan pasangan Limi Mokodompit dan Meidy Pandeiroth didukung oleh para tokoh-tokoh masyarakat Bolmong dan beberapa organisasi massa yang berafiliasi dengan pasangan muda itu.
Keunggulan dari masing-masing pasangan calon potensial terlihat dari kesiapan mereka memobilisir massa dalam kegiatan kampanye terbuka/massal. Dalam dua kali pengerahan massa pendukung, nampak pendukung Limi-Meidy sangat signifikan, kemudian disusul oleh massa pendukung ADM-Norma dan massa pendukung Salihi-Tuuk. Lazimnya dimana-mana, massa yang hadir pada saat kampanye terbuka tidak kemudian menjadi indicator raihan pemenangan. Kubuh Salihi-Tuuk cukup cermat mengamati situasi dan tidak menyelenggarakan kampanye terbuka pada jadwal putaran kedua. Kemudian beberapa orang pengurus dari kubuh mereka menyatakan pindah dukungan kepada kubuh Limi-Meidy. Spontan digembosi isu bahwa kubuh Salihi-Tuuk mengalami krisis manajemen keuangan sehingga tidak mampu menyelenggarakan kampanye putaran kedua dan tidak mampu memelihara dukungannya. Di pihak lain, kubuh ADM-Norma kian gencar menyalurkan raskin (beras miskin) dan Bunda Bupati telah membagikan kendaraan bermotor kepada ratusan sangadi (kepala desa) se Bolmong. Kubuh Limi-Meidy tetap bertahan dengan strategi penguatan image yang telah kukuh pada brand “pertanian” sebagai program unggulan.
Di kubuh Limi Mokodompit progres mapping dukungan mencapai angka 46.000 orang atau 41,21% dari 5 cluster yang didominasi oleh dukungan dari cluster Dumoga Bersatu (Dumoga Barat, Dumoga Timur dan Dumoga Utara) serta Passi Bersatu (Passi Barat, Passi Timur dan Bilalang). Progres dukungan kian melorot 2% per hari hingga jelang H-1 prosentasi dukungan yang tersisa sebesar 36% dukungan potensial. Penyebabnya adalah pragmatisme pemilih yang sedang menanti-nanti “sentuhan uang pemeliharaan” bagi pendukung yang saat itu tak tahan menyaksikan pendukung calon lain yang sedang menyalurkan uang dan natura berupa beras miskin, paket ikan dalam jumlah satu hingga beberapa peti pada setiap hajatan dan sejumlah peralatan memasak bagi kelompok ibu-ibu di desa. Saya semakin yakin bahwa rakyat Bolmong kali ini akan melawan pragmatism yang dididik sepanjang 10 tahun. Di satu sisi saya kuatir kalau Pilkada akan tertunda beberapa hari karena dapat mengancam besaran dukungan Limi-Meidy.
Mencermati kondisi yang kian melorot, saya menyakinkan Limy Mokodompit dan Meidy Pandeirot bahwa pendukungnya membutuhkan “uang pemeliharaan” sekedar untuk mengimbangi pengaruh-pengaruh pragmatis yang dilakukan kubuh lawan. Jumlahnya tidak besar karena hanya menyasar 3 kecamatan di Dumoga Bersatu yang teridentifikasi tingkat elimininasinya sangat signifikan. Dengan merebut Dumoga Bersatu, maka Limy-Meidi dapat memenangkan Bolmong secara total. Akan tetapi kedua kandidat tersebut “hand up” karena kehabisan sumber daya. Selaku konsultan, maka solusi yang harus ditempuh tidak lain adalah menanamkan militansi langsung kepada pendukung-pendukung di setiap desa.
***
Ada hal yang sangat memprihatinkan sepanjang proses Pilkada berlangsung. Saya mendatangi hampir seluruh desa di Bolmong untuk memberikan pembekalan kepada tim desa yang kami rekrut. Mobil kami yang terpasang one way calon, dikerubungi ibu-ibu muda sambil menengadahkan tangan mereka dan menunjuk rumah mereka yang bertempelkan sticker calon kami seraya memohon untuk diberikan uang. Luar biasa orang-orang ini. Mereka telah lama terbenam dalam kebusukan politik uang. Kalau tidak ada uang mereka tidak memilih. Bagaimanakah cara menyudahi perilaku pragmatis kronis semacam ini?
Dalam pertemuan-pertemuan pembekalan saya mengidentifikasi semua kebutuhan local yang sekiranya dapat digunakan untuk kepentingan umum dalam koridor bukan sebagai money politic. Terpikirkanlah dalam benak saya mengenai term money politik dan hibah politik. Semua dilakukan untuk maksud tetap mempertahankan dukungan dari pemilih-pemilih yang rasional menghendaki Bolmong segera ada perubahan ke arah yang lebih baik, yang dipimpin oleh seorang ahli pertanian. Sejak saat itu teridentifikasilah beberapa kebutuhan petani seperti terpal, bibit jagung unggulan, racun rumput dan lampu mercury untuk penerangan lorong-lorong jalan. Hasil identifikasi ini kami hibahkan kepada masyarakat di titik-titik dukungan signifikan.
Secara konseptual, hibah politik macam ini belum dapat dikategorikan dalam praktek money politik karena merupakan konsekuensi dari demokrasi yang kebablasan yang kian hari disempurnakan sistemnya dalam negara yang bernama NKRI ini. Dari berbagai referensi mengenai definisi money politik disebutkan bahwa uang atau barang yang diberikan kepada seseorang dengan tujuan untuk mempengaruhi individu pemilih mengalihkan sikap politik pada pilihan orang yang memberikannya disebut sebagai praktek money politik. Dengan demikian semua bentuk hibah yang dilakukan tanpa unsur paksaan kepada pemilih dan organisasi para pemilih merupakan hibah biasa yang belum dikategorikan sebagai praktek money politik.
Secara kontekstual, yang dikategorikan selaku praktek money politik adalah apabila perlakuan untuk menstimulasikan sikap pemilih tersebut dilakukan pasca penetapan pasangan bakal calon bupati menjadi calon bupati. Dengan demikian semua bentuk hibah yang telah diberikan pasca penetapan calon menjadi calon, yang diberikan kepada organisasi penerima hibah dengan mengandung unsur ajakan untuk menentukan pilihan pada salah satu calon dikategorikan sebagai praktek money politik.
Pada waktu bersamaan sekutu-sekutu pragmatism semakin giat melakukan serangan, terutama ketika “malam bakupas”. Satu desa diserbu dengan kekuatan amunisi (uang) dari yang terkecil lima puluh juta hingga 1,3 miliar untuk desa-desa besar semacam Doloduo. Bahkan di desa Pangi yang jumlah pemilihnya 600 an orang kecipratan 75 juta dan habis terbagi sekitaran 40 jutaan atau 66% dari total pemilih. Serangan semacam ini berlaku di semua kecamatan secara massif. Akibatnya, rasionalitas pemilih tumbang dan Dinasti Bolmong runtuh. Hasil akhir Salii-Tuuk mendapatkan 41,33% atau 51.516 suara sah, Limy-Meidy 27,53% atau 34.320 suara sah, ADM-Norma 24,84% atau 30.963 suara sah dan Samsurizal mendapatkan 4,81% atau 5.996 sementara Binol-Pomo mendapatkan 1,49% atau 1.862 suara sah.(*)