DR. Frangky Jessy Paat, SP., M.Si
Memaknai pelantikan anggota DPRD Kota Manado 2014-2019
Partisipasi rakyat dalam pemilihan atau melalui praktik-praktik kekuasaan secara langsung adalah cikal bakal terbentuknya konstruksi demokrasi. Konstruksi demokrasi ini dibentuk untuk mempengaruhi format dan karakter kebijakan publik dalam kerangka prinsip-prinsip dan kepentingan ideologis tertentu. Memahami persoalan politik, demokrasi dan merekonstruksikan bangsa ini adalah tergantung pada elite yang berkuasa. Jika elite yang berkuasa memahami rakyatnya, memahami pluralitas, memahami kondisi bangsa maka hakekat demokrasi akan menampakkan wujudnya sesuai yang diharapkan (das solen, das sein).
Setiap sistem politik didalamnya pasti memiliki mekanisme pembuatan kebijakan, terutama sistem politik yang memperhatikan aspek ‘keinginan rakyat’, maka keberadaan kepentingan yang khusus akan eksis dengan sendirinya. Eksistensi ini sifatnya natural, karena kepentingan merupakan bagian dari proses hidup manusia. Sebuah kepentingan, berarti minat dan aspirasi individu secara sadar tentang suatu hal yang didasari oleh berbagai latar belakang social, ekonomi, dan budaya. Secara riil kepentingan ini sangat variatif dan massif diseluruh pengkelasan tingkat elit politik, menengah dan kelas bawah politik lokal.
Mistifikasi permasalahan krusial daerah adalah mengurangi disparitas atau ketimpangan pembangunan antar daerah, antar sub daerah dan antar warga masyarakat (pemerataan dan keadilan),Memberdayakan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan, Menciptakan atau menambah lapangan kerja, Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat daerah, dan mempertahankan atau menjaga kelestarian sumber daya alamagar bermanfaat bagi generasi.
Tujuan Pembangunan daerah adalah 1)Peningkatan standar hidup (levels of living) setiap orang, baik pendapatannya, tingkat konsumsi pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, dll.
2) Penciptaan berbagai kondisi dan prakondisi yang memungkinkan tumbuhnya rasa percaya diri (self-esteem) setiap orang.3). Peningkatan kebebasan (freedom/democracy) setiap orang secara partisanship dan incrementalism, bertahap dilaksanakan. Pembangunan daerah dilaksanakan melalui 1) penguatan otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya yang mengarah pada terwujudnya tata kepemerintahan yang baik (good governance).2) Pelaksanaan pembangunan daerah yang baik hanya dapat dilakukan apabila terjadi keseimbangan peran dari tiga pilar, yaitu: pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat. Pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) memainkan peran yang menjalankan dan menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi unsur-unsur lain. Peran dunia usaha swasta adalah mewujudkan penciptaan lapangan kerja dan pendapatan. Masyarakat berperan dalam penciptaan interaksi sosial, ekonomi dan politik.
Menurut Lindbloom (1980) dalam ‘The Policy Making Process’, merumuskan tentang proses politik dari input ke proses output yang ditempuh melalui; 1). Dipelajari bagaimana masalah-masalah timbul dan masuk ke dalam agenda para pengambil keputusan pemerintah, 2) bagaimana masyarakat merumuskan masalah-masalah tersebut untuk mengambil suatu tindakan, 3) sikap yang diambil oleh para pemimpin dalam menerapkan kebijaksanaan, 4) bagaimana kebijaksanaan tersebut dievaluasi.
Tantangan yang dihadapi oleh para legislator/penerima mandat rakyat adalah mengakomodir para kelompok median. Dengan kata lain bahwa komunitas Kelas Menengah Politik Lokal (KMPL), mereka adalah para pemain politik di tingkat ‘meso’ atau tengah yang cerdas dalam melihat peluang untuk melakukan perubahan.Motif gerakan dan sasaran kelompok ini seringkali sangat ditentukan pada pemenuhan insentif yang mereka harapkan; bisa insentif politik atau ekonomi. Kelompok ini dapat bergerak seperti ‘bola liar’ karena mampu masuk dalam berbagai kalangan dengan mudah. Penetrasi ke dalam komunitas Kelas Bawah Politik Lokal (KBPL) dan Elit Politik Lokal (EPL) lebih leluasa memainkan peran budaya politik mencakup kualitas dan kuantitasnya Kelompok ini juga bisa menjadi ‘penunggang bebas’ atau free rider terhadap berbagai organisasi dan program yang sesuai dengan minat dan kepentingan mereka. Pada umumnya, kelompok ini muncul dari ‘kelas menengah’ atau Kelas Menengah Politik Lokal (KMPL) di lingkungan ekonomi atau pun lingkungan intelektual. Pada umumnya mereka mendapatkan akses pemanfaatan fasilitas publik dan sumberdaya pembangunan secara lebih baik dibandingkan dengan masyarakat secara keseluruhan. Karena posisi yang berada di lapisan tengah,mereka dapat diakses baik oleh para penguasa formal Elit Politik Lokal (EPL) maupun masyarakat luas, sebab keduanya punya ketergantungan terhadap kelompok median atau Kelas Menengah Politik Lokal (KMPL).
Peran dan fungsi DPRD sejak tahun 1966 – 1998 adalah DPRD hanya menyetujui konsep eksekutif karena kapasitas dan kewenangannya terbatas untuk menganalisis kebijakan yang diprakarsai eksekutif. Anggota dewan saat itu tidak memiliki kekuatan dan keahlian untuk melakukan analisa secara independen atau untuk meminta masukan dari masyarakat. Hal ini semakin memperlemah fungsi perwakilan DPRD dan kemampuan mereka dalam memastikan bahwa program, pelayanan, dan anggaran pemerintah daerah telah mencerminkan
prioritas konstituen. Pemilihan umum direkayasa secara seksama untuk memilih anggota DPRD yang loyal pada rezim.
Peran dan Fungsi DPRD saat ini bahwa DPRD saat ini lebih cerdas dan kompeten dibandingkan di masa lalu. Anggota DPRD secara aktif terlibat dalam penyusunan peraturan daerah , tidak hanya menyetujui draf yang dipersiapkan oleh pemerintah, dan memainkan peran penting dalam proses penganggaran daerah. Pemerintah daerah berkonsultasi dengan DPRD mengenai keputusan-keputusan kebijakan yang penting dan DPRD secara aktif mengambil bagian dalam perencanaan untuk pengembangan ekonomi dan masyarakat di daerahnya. Melalui pemilihan umum yang jujur dan adil, anggota DPRD kini lebih representatif dibandingkan di masa lalu, di mana masyarakat memiliki harapan yang tinggi terhadap lembaga ini.
Fungsi DPRD menurut UU nomor 32 tahun 2004 adalah 1)Legislasi: kewenangan pembuatan Peraturan Daerah (Perda), yaitu menginisiasi lahirnya Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) dan juga membahas dan menyetujui/menolak Raperda yang diusulkan oleh eksekutif. 2) Anggaran: kewenangan menyetujui atau menolak dan menetapkan RAPBD menjadi APBD, melalui proses pembahasan Arah Kebijakan Umum, pembahasan rancangan APBD yang diajukan oleh kepala daerah, dan menerapkan Perda tentangAPBD. 3) Pengawasan: kewenangan dewan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan peraturan lainnya, pengawasan pelaksanaan APBD, mengawasi kebijakan dan kinerja pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.
Realita tantangan DPRD yang efektif seperti di banyak tempat lain di dunia, para politisi seringkali terlihat sebagai orang-orang yang mengutamakan kepentingan diri sendiri dan mereka tidak terjangkau, terpisah dari realita kemiskinan dan kesengsaraan lain yang masih mewarnai kehidupan sehari-hari di bangsa ini. Banyak anggota DPRD merasa mempunyai hak istimewa dan merasa bahwa sebagai wakil terpilih yang berbicara dan bertindak atas nama masyarakat, mereka berhak menuntut perlakuan khusus dan kemudian menjauhkan diri dari masyarakat biasa. DPRD banyak yang kurang efektif, dalam case tertentu, kebanyakan DPRD hanya menyetujui satu atau dua PERDA dalam setahun walaupun merencanakan untuk membuat lebih banyak lagi. Anggaran daerah sering pula tertunda karena keterlambatan DPRD untuk menyetujuinya. Mengapa hal ini terjadi??? Sistem partai yang terpusat membuat anggota DPRD menjadi lebih berpihak kepada partai sebagai sumber legitimasi daripada berpihak pada pemilih dan masyarakat. Partai politik melihat anggotanya sebagai sumber pengumpulan dana untuk pemilihan umum berikut, sehingga kebanyakan anggota DPRD memang secara teratur harus memberikan sebagian gaji mereka kepada partai. Bagi banyak anggota DPRD, para pemilih hanya perlu dimintai pendapat lima tahun sekali, sebagai bagian dari kampanye pemilihan kembali. “Relasi Konstituensi” berarti memelihara kelompok kepentingan tertentu yang mendukung para anggota DPRD untuk dipilih, dan seringkali melibatkan uang.
Stimulasi yang kuat untuk mereformasi pribadi dan institusional dimana anggota DPRD yang progresif dan berpikiran reformis semakin sadar bahwa kebutuhan untuk mendengarkan masyarakat tidak hanya terjadi selama kampanye saja tetapi dalam praktek sehari-hari. Anggota DPRD semakin tanggap dan inovatif serta memahami permasalahan yang muncul akibat ketidakpercayaan rakyat pada para politisi. DPRD telah melakukan reformasi di beberapa bidang yang memungkinkan partisipasi masyarakat diseluruh segmen konstituen (EPL, KMPL, maupun KBPL) serta meningkatkan transparansi.
Jenes (1984) dalam ‘An Introduction to the study public policy’ mengemukakan empat kategori kegiatan pemerintah dalam memberitakan kerangka analisis kebijakan, yaitu: 1) membawa permasalahan ke pemerintah, melalui kegiatan persepsi, definisi, agregasi, organisasi, representasi, dan penyusunan agenda, 2) tindakan langsung pemerintah meliputi formulasi, legitimasi, dan penganggaran, 3) Implementasi/pelaksanaan, 4) evaluasi yaitu peninjauan atau penyesuaian kembali bila dimungkinkan diadakan perubahan-perubahan.
Secara umum bahwa anggaran public diartikan sebagai rencana yang menggambarkan pikiran jumlah uang penerimaan dan pengeluaran anggaran daerah dan Negara, dimana budgeting ini sebagai alat dan media bagi pemerintah untuk membangun perikehidupan masyaraka menuju penciptaan kehidupan yang lebih baik dimasa yang akan dating, walaupun protagonist anggaran dipaksa untuk bekerja dalam system konstitusional meliputi pemeriksaan dan keseimbangan. Politik anggaran terpolarisasi tetapi dimoderasi.
‘The best practices’ para personil dan institusional DPRD dimana Peraturan Daerah tentang Transparansi dan Partisipasi, di beberapa Pemda telah mengesahkan Perda yang transparan dan memberikan kesempatan masyarakat untuk dimintai pendapatnya dalam proses pembuatan keputusan. Penggunaan Masa Reses yang Bermakna, Setiap tahun, DPRD memiliki dua kali masa reses, untuk melakukan konsultasi dengan para konsituennya. Beberapa DPRD telah menggunakan reses ini dengan sangat baik, misalnya dengan mengikuti Musrenbang di daerah masing-masing. Adanya Keterlibatan Publik dalam Penyusunan Peraturan Daerah, yakni DPRD dan pemerintah daerah membuka pintunya untuk masukan dari kelompok-kelompok masyarakat sipil.
Menurut Wildavsky dan Caiden (2004) bahwa lembaga politik yang terwakilkan di legislative dapat menggunakan pengaruh politiknya dengan mendistribusikan anggaran secara lebih mudah, dimana proses pemotongan dan penambahan suatu rancangan anggaran. Kegiatan dan perjuangan politik semacam ini akan menjadi lebih baik untuk suatu pihak, namun pula dapat merugikan kepada pihak lain. Negosiasi-negosiasi sering dilakukan oleh aktor-aktor politik dalam meloloskan suatu anggaran tertentu.
Dalam beberapa kasus, hal ini telah dilembagakan melalui kebijakan lokal untuk melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam proses penyusunan peraturan daerah. Dengan memperbolehkan masyarakat terlibat aktif dalam proses pembuatan peraturan daerah, perangkat hukum menjadi lebih mantap dan mudah dilaksanakan. Dengar Pendapat Publik, Sudah semakin lazim bagi DPRD untuk berkonsultasi dengan masyarakat melalui dengar pendapat publik. Beberapa DPRD telah memanfaatkan fasilitator dan mekanisme konsultatif yang lebih interaktif dibandingkan dengan komunikasi satu arah tradisional dan sosialisasi dari atas ke bawah. Ruang sidang paripurna DPRD dipersiapkan sedemikian rupa guna meningkatkan komunikasi diantara para peserta, dan pertemuan ini pun difasilitasi oleh fasilitator yang terlatih.
Bowman dan Kearney (2003) menyatakan bahwa penganggaran adalah suatu proses penyusunan rencana keuangan yaitu pembiayaan dan pendapatan, kemudian mengalokasikan dana ke masing-masing kegiatan sesuai dengan fungsi dan sasaran yang hendak dicapai. Masing-masing kegiatan tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam program berdasarkan tugas dan tanggungjawab dari satuan kerja tertentu. Transparansi Anggaran. Banyak DPRD kini telah membuka pintu bagi masyarakat untuk mengakses dokumen anggaran, bahkan telah menyebarkannya kepada publik dalam bentuk poster. Beberapa DPRD telah melakukan dialog interaktif melalui program radio untuk membicarakan anggaran daerah. Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Penganggaran. Di beberapa daerah delegasi yang mewakili masyarakat dari forum Musrenbang dapat mengikuti pertemuan persiapan DPRD untuk Kebijakan Umum Anggaran dalam rangka penyusunan APBD. Masalah anggaran pada dasarnya adalah masalah kajian politik, karena politik sebagai suatu pendekatan dalam ilmu-ilmu social yang bersifat supradisiplin (supradiciplinary approach) atau melampaui batas-batas disiplin. Focus analisisnya adalah pada setiap isu atau kebijakan yang langsung maupun tak langsung melibatkan kepentingan public yang menjangkau pada level mikro maupun makro.
Orientasi Politik DPRD adalah 1) Agenda politik yang sangat nyata dan langsung memenuhi kebutuhan warga. Penanggulangan kemiskinan; Peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan dankesehatan; Pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi. 2). Argumentasi politik yang dibangun adalah sangat mendasar dan tidak klise. Dengan membawa dukungan politik nyata dari warga, anggota DPRD akan dapat memperkuat pijakan mereka dalam proses politik yang berlangsung dalam berbagai sidang DPRD. Dengan informasi dan pengetahuan yang langsung diperoleh dari warga masyarakat, para anggota DPRD akan mampu membawakan semua kepentingan warga ke dalam proses pembuatan Peraturan Daerah, penentuan APBD dan pengawasan politik. 3). Pemikiran yang selalu mencari upaya perbaikan. Dalam hal ini Anggota DPRD akan selalu dituntut untuk berpikir positif dan konstruktif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Sering tanpa disadari kebiasaan ini justru meningkatkan kapasitas modal politik yang memang dibutuhkan oleh anggota DPRD dan struktur politik pendukungnya. 4). Membangun dan memperkokoh system umpanbalik yang cepat dan efektif. Para anggota DPRD dan partai politiknya dapat selalu melakukan update terhadap informasi dan program kerjanya. Partai politik yang diwakili oleh anggota DPRD tersebut juga secara terus menerus mengevaluasi diri apakah mereka mempunyai akar yang kuat di tingkat akar rumput (grass root) atau justru berkembang menjadi partai politik yang mengambang(float).
Beberapa Indikator pelaksanaan ‘Mandat’ yang baik adalah dalam pelaksanaan mandat rakyat, dewan selayaknya dapat menghasilkan keputusan politik/ kebijakan publik yang berdampak positif melalui instrumen fungsi-fungsi DPRD, yaitu fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Semua pelaksanaan fungsi tersebut merupakan inti dari politik perwakilan. DPRD sebagai representasi rakyat menjalankan amanah keterwakilan, yang mengharuskan seorang wakil rakyat bersikap dan bertindak sesuai dengan kehendak rakyat, yang diartikulasikan melalui peran kelompok-kelompok dalam masyarakat maupun individu-invidu warga Negara. Secara substansial perlindungan hak, peningkatan kesejahteraan dalam berbagai aspek, Secara prosedural
mengikuti prosedur hukum yang benar, melibatkan masyarakat di dalam prosesnya, Komunikasi dan hubungan dengan konstituen, media serikat, Ormas, LSM, perguruan tinggi, dan lain-lain. Disamping itu ditunjang Sistem pendukung (supporting system) memadai antara lain mencakup anggaran, staf, riset dan informasi.
Pembangunan Daerah akan dapat dioptimalkan jika peran dan fungsi DPRD dioptimalkan. Peran dan fungsi DPRD dapat dioptimalkan apabila DPRD dapat melaksanakan tugasnya dengan efektif melalui pelaksanaan orientasi dasar politik DPRD yang mengacu kepada Indikator Pelaksanaan Mandat yang Baik. Dalam rangka menjawab tujuan dinamisasi demokratisasi pembangunan dalam segala aspek, maka pembangunan daerah dalam hal pelayanan public harus selaraskan dengan adanya pergeseran paradigma dari Government menjadi Governance.
Oleh:
DR. Frangky Jessy Paat, SP., M.Si
Akademisi Program Pascasarjana dan Fakultas Pertanian Unsrat
Referensi
UU No. 32 thn 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Wahab, 2002. Politik Versus Anggaran Publik.
Lindblom, 1980. Budgeting policy.
Solichin, 2009, Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah
Jenes, 1984. The Study Public Policy
Wildavsky and Caiden, 2004. Budgeting policy.
Bowman and Kearney (2003) The Public Policy.
DR. Frangky Jessy Paat, SP., M.Si
Memaknai pelantikan anggota DPRD Kota Manado 2014-2019
Partisipasi rakyat dalam pemilihan atau melalui praktik-praktik kekuasaan secara langsung adalah cikal bakal terbentuknya konstruksi demokrasi. Konstruksi demokrasi ini dibentuk untuk mempengaruhi format dan karakter kebijakan publik dalam kerangka prinsip-prinsip dan kepentingan ideologis tertentu. Memahami persoalan politik, demokrasi dan merekonstruksikan bangsa ini adalah tergantung pada elite yang berkuasa. Jika elite yang berkuasa memahami rakyatnya, memahami pluralitas, memahami kondisi bangsa maka hakekat demokrasi akan menampakkan wujudnya sesuai yang diharapkan (das solen, das sein).
Setiap sistem politik didalamnya pasti memiliki mekanisme pembuatan kebijakan, terutama sistem politik yang memperhatikan aspek ‘keinginan rakyat’, maka keberadaan kepentingan yang khusus akan eksis dengan sendirinya. Eksistensi ini sifatnya natural, karena kepentingan merupakan bagian dari proses hidup manusia. Sebuah kepentingan, berarti minat dan aspirasi individu secara sadar tentang suatu hal yang didasari oleh berbagai latar belakang social, ekonomi, dan budaya. Secara riil kepentingan ini sangat variatif dan massif diseluruh pengkelasan tingkat elit politik, menengah dan kelas bawah politik lokal.
Mistifikasi permasalahan krusial daerah adalah mengurangi disparitas atau ketimpangan pembangunan antar daerah, antar sub daerah dan antar warga masyarakat (pemerataan dan keadilan),Memberdayakan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan, Menciptakan atau menambah lapangan kerja, Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat daerah, dan mempertahankan atau menjaga kelestarian sumber daya alamagar bermanfaat bagi generasi.
Tujuan Pembangunan daerah adalah 1)Peningkatan standar hidup (levels of living) setiap orang, baik pendapatannya, tingkat konsumsi pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, dll.
2) Penciptaan berbagai kondisi dan prakondisi yang memungkinkan tumbuhnya rasa percaya diri (self-esteem) setiap orang.3). Peningkatan kebebasan (freedom/democracy) setiap orang secara partisanship dan incrementalism, bertahap dilaksanakan. Pembangunan daerah dilaksanakan melalui 1) penguatan otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya yang mengarah pada terwujudnya tata kepemerintahan yang baik (good governance).2) Pelaksanaan pembangunan daerah yang baik hanya dapat dilakukan apabila terjadi keseimbangan peran dari tiga pilar, yaitu: pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat. Pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) memainkan peran yang menjalankan dan menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi unsur-unsur lain. Peran dunia usaha swasta adalah mewujudkan penciptaan lapangan kerja dan pendapatan. Masyarakat berperan dalam penciptaan interaksi sosial, ekonomi dan politik.
Menurut Lindbloom (1980) dalam ‘The Policy Making Process’, merumuskan tentang proses politik dari input ke proses output yang ditempuh melalui; 1). Dipelajari bagaimana masalah-masalah timbul dan masuk ke dalam agenda para pengambil keputusan pemerintah, 2) bagaimana masyarakat merumuskan masalah-masalah tersebut untuk mengambil suatu tindakan, 3) sikap yang diambil oleh para pemimpin dalam menerapkan kebijaksanaan, 4) bagaimana kebijaksanaan tersebut dievaluasi.
Tantangan yang dihadapi oleh para legislator/penerima mandat rakyat adalah mengakomodir para kelompok median. Dengan kata lain bahwa komunitas Kelas Menengah Politik Lokal (KMPL), mereka adalah para pemain politik di tingkat ‘meso’ atau tengah yang cerdas dalam melihat peluang untuk melakukan perubahan.Motif gerakan dan sasaran kelompok ini seringkali sangat ditentukan pada pemenuhan insentif yang mereka harapkan; bisa insentif politik atau ekonomi. Kelompok ini dapat bergerak seperti ‘bola liar’ karena mampu masuk dalam berbagai kalangan dengan mudah. Penetrasi ke dalam komunitas Kelas Bawah Politik Lokal (KBPL) dan Elit Politik Lokal (EPL) lebih leluasa memainkan peran budaya politik mencakup kualitas dan kuantitasnya Kelompok ini juga bisa menjadi ‘penunggang bebas’ atau free rider terhadap berbagai organisasi dan program yang sesuai dengan minat dan kepentingan mereka. Pada umumnya, kelompok ini muncul dari ‘kelas menengah’ atau Kelas Menengah Politik Lokal (KMPL) di lingkungan ekonomi atau pun lingkungan intelektual. Pada umumnya mereka mendapatkan akses pemanfaatan fasilitas publik dan sumberdaya pembangunan secara lebih baik dibandingkan dengan masyarakat secara keseluruhan. Karena posisi yang berada di lapisan tengah,mereka dapat diakses baik oleh para penguasa formal Elit Politik Lokal (EPL) maupun masyarakat luas, sebab keduanya punya ketergantungan terhadap kelompok median atau Kelas Menengah Politik Lokal (KMPL).
Peran dan fungsi DPRD sejak tahun 1966 – 1998 adalah DPRD hanya menyetujui konsep eksekutif karena kapasitas dan kewenangannya terbatas untuk menganalisis kebijakan yang diprakarsai eksekutif. Anggota dewan saat itu tidak memiliki kekuatan dan keahlian untuk melakukan analisa secara independen atau untuk meminta masukan dari masyarakat. Hal ini semakin memperlemah fungsi perwakilan DPRD dan kemampuan mereka dalam memastikan bahwa program, pelayanan, dan anggaran pemerintah daerah telah mencerminkan
prioritas konstituen. Pemilihan umum direkayasa secara seksama untuk memilih anggota DPRD yang loyal pada rezim.
Peran dan Fungsi DPRD saat ini bahwa DPRD saat ini lebih cerdas dan kompeten dibandingkan di masa lalu. Anggota DPRD secara aktif terlibat dalam penyusunan peraturan daerah , tidak hanya menyetujui draf yang dipersiapkan oleh pemerintah, dan memainkan peran penting dalam proses penganggaran daerah. Pemerintah daerah berkonsultasi dengan DPRD mengenai keputusan-keputusan kebijakan yang penting dan DPRD secara aktif mengambil bagian dalam perencanaan untuk pengembangan ekonomi dan masyarakat di daerahnya. Melalui pemilihan umum yang jujur dan adil, anggota DPRD kini lebih representatif dibandingkan di masa lalu, di mana masyarakat memiliki harapan yang tinggi terhadap lembaga ini.
Fungsi DPRD menurut UU nomor 32 tahun 2004 adalah 1)Legislasi: kewenangan pembuatan Peraturan Daerah (Perda), yaitu menginisiasi lahirnya Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) dan juga membahas dan menyetujui/menolak Raperda yang diusulkan oleh eksekutif. 2) Anggaran: kewenangan menyetujui atau menolak dan menetapkan RAPBD menjadi APBD, melalui proses pembahasan Arah Kebijakan Umum, pembahasan rancangan APBD yang diajukan oleh kepala daerah, dan menerapkan Perda tentangAPBD. 3) Pengawasan: kewenangan dewan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan peraturan lainnya, pengawasan pelaksanaan APBD, mengawasi kebijakan dan kinerja pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.
Realita tantangan DPRD yang efektif seperti di banyak tempat lain di dunia, para politisi seringkali terlihat sebagai orang-orang yang mengutamakan kepentingan diri sendiri dan mereka tidak terjangkau, terpisah dari realita kemiskinan dan kesengsaraan lain yang masih mewarnai kehidupan sehari-hari di bangsa ini. Banyak anggota DPRD merasa mempunyai hak istimewa dan merasa bahwa sebagai wakil terpilih yang berbicara dan bertindak atas nama masyarakat, mereka berhak menuntut perlakuan khusus dan kemudian menjauhkan diri dari masyarakat biasa. DPRD banyak yang kurang efektif, dalam case tertentu, kebanyakan DPRD hanya menyetujui satu atau dua PERDA dalam setahun walaupun merencanakan untuk membuat lebih banyak lagi. Anggaran daerah sering pula tertunda karena keterlambatan DPRD untuk menyetujuinya. Mengapa hal ini terjadi??? Sistem partai yang terpusat membuat anggota DPRD menjadi lebih berpihak kepada partai sebagai sumber legitimasi daripada berpihak pada pemilih dan masyarakat. Partai politik melihat anggotanya sebagai sumber pengumpulan dana untuk pemilihan umum berikut, sehingga kebanyakan anggota DPRD memang secara teratur harus memberikan sebagian gaji mereka kepada partai. Bagi banyak anggota DPRD, para pemilih hanya perlu dimintai pendapat lima tahun sekali, sebagai bagian dari kampanye pemilihan kembali. “Relasi Konstituensi” berarti memelihara kelompok kepentingan tertentu yang mendukung para anggota DPRD untuk dipilih, dan seringkali melibatkan uang.
Stimulasi yang kuat untuk mereformasi pribadi dan institusional dimana anggota DPRD yang progresif dan berpikiran reformis semakin sadar bahwa kebutuhan untuk mendengarkan masyarakat tidak hanya terjadi selama kampanye saja tetapi dalam praktek sehari-hari. Anggota DPRD semakin tanggap dan inovatif serta memahami permasalahan yang muncul akibat ketidakpercayaan rakyat pada para politisi. DPRD telah melakukan reformasi di beberapa bidang yang memungkinkan partisipasi masyarakat diseluruh segmen konstituen (EPL, KMPL, maupun KBPL) serta meningkatkan transparansi.
Jenes (1984) dalam ‘An Introduction to the study public policy’ mengemukakan empat kategori kegiatan pemerintah dalam memberitakan kerangka analisis kebijakan, yaitu: 1) membawa permasalahan ke pemerintah, melalui kegiatan persepsi, definisi, agregasi, organisasi, representasi, dan penyusunan agenda, 2) tindakan langsung pemerintah meliputi formulasi, legitimasi, dan penganggaran, 3) Implementasi/pelaksanaan, 4) evaluasi yaitu peninjauan atau penyesuaian kembali bila dimungkinkan diadakan perubahan-perubahan.
Secara umum bahwa anggaran public diartikan sebagai rencana yang menggambarkan pikiran jumlah uang penerimaan dan pengeluaran anggaran daerah dan Negara, dimana budgeting ini sebagai alat dan media bagi pemerintah untuk membangun perikehidupan masyaraka menuju penciptaan kehidupan yang lebih baik dimasa yang akan dating, walaupun protagonist anggaran dipaksa untuk bekerja dalam system konstitusional meliputi pemeriksaan dan keseimbangan. Politik anggaran terpolarisasi tetapi dimoderasi.
‘The best practices’ para personil dan institusional DPRD dimana Peraturan Daerah tentang Transparansi dan Partisipasi, di beberapa Pemda telah mengesahkan Perda yang transparan dan memberikan kesempatan masyarakat untuk dimintai pendapatnya dalam proses pembuatan keputusan. Penggunaan Masa Reses yang Bermakna, Setiap tahun, DPRD memiliki dua kali masa reses, untuk melakukan konsultasi dengan para konsituennya. Beberapa DPRD telah menggunakan reses ini dengan sangat baik, misalnya dengan mengikuti Musrenbang di daerah masing-masing. Adanya Keterlibatan Publik dalam Penyusunan Peraturan Daerah, yakni DPRD dan pemerintah daerah membuka pintunya untuk masukan dari kelompok-kelompok masyarakat sipil.
Menurut Wildavsky dan Caiden (2004) bahwa lembaga politik yang terwakilkan di legislative dapat menggunakan pengaruh politiknya dengan mendistribusikan anggaran secara lebih mudah, dimana proses pemotongan dan penambahan suatu rancangan anggaran. Kegiatan dan perjuangan politik semacam ini akan menjadi lebih baik untuk suatu pihak, namun pula dapat merugikan kepada pihak lain. Negosiasi-negosiasi sering dilakukan oleh aktor-aktor politik dalam meloloskan suatu anggaran tertentu.
Dalam beberapa kasus, hal ini telah dilembagakan melalui kebijakan lokal untuk melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam proses penyusunan peraturan daerah. Dengan memperbolehkan masyarakat terlibat aktif dalam proses pembuatan peraturan daerah, perangkat hukum menjadi lebih mantap dan mudah dilaksanakan. Dengar Pendapat Publik, Sudah semakin lazim bagi DPRD untuk berkonsultasi dengan masyarakat melalui dengar pendapat publik. Beberapa DPRD telah memanfaatkan fasilitator dan mekanisme konsultatif yang lebih interaktif dibandingkan dengan komunikasi satu arah tradisional dan sosialisasi dari atas ke bawah. Ruang sidang paripurna DPRD dipersiapkan sedemikian rupa guna meningkatkan komunikasi diantara para peserta, dan pertemuan ini pun difasilitasi oleh fasilitator yang terlatih.
Bowman dan Kearney (2003) menyatakan bahwa penganggaran adalah suatu proses penyusunan rencana keuangan yaitu pembiayaan dan pendapatan, kemudian mengalokasikan dana ke masing-masing kegiatan sesuai dengan fungsi dan sasaran yang hendak dicapai. Masing-masing kegiatan tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam program berdasarkan tugas dan tanggungjawab dari satuan kerja tertentu. Transparansi Anggaran. Banyak DPRD kini telah membuka pintu bagi masyarakat untuk mengakses dokumen anggaran, bahkan telah menyebarkannya kepada publik dalam bentuk poster. Beberapa DPRD telah melakukan dialog interaktif melalui program radio untuk membicarakan anggaran daerah. Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Penganggaran. Di beberapa daerah delegasi yang mewakili masyarakat dari forum Musrenbang dapat mengikuti pertemuan persiapan DPRD untuk Kebijakan Umum Anggaran dalam rangka penyusunan APBD. Masalah anggaran pada dasarnya adalah masalah kajian politik, karena politik sebagai suatu pendekatan dalam ilmu-ilmu social yang bersifat supradisiplin (supradiciplinary approach) atau melampaui batas-batas disiplin. Focus analisisnya adalah pada setiap isu atau kebijakan yang langsung maupun tak langsung melibatkan kepentingan public yang menjangkau pada level mikro maupun makro.
Orientasi Politik DPRD adalah 1) Agenda politik yang sangat nyata dan langsung memenuhi kebutuhan warga. Penanggulangan kemiskinan; Peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan dankesehatan; Pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi. 2). Argumentasi politik yang dibangun adalah sangat mendasar dan tidak klise. Dengan membawa dukungan politik nyata dari warga, anggota DPRD akan dapat memperkuat pijakan mereka dalam proses politik yang berlangsung dalam berbagai sidang DPRD. Dengan informasi dan pengetahuan yang langsung diperoleh dari warga masyarakat, para anggota DPRD akan mampu membawakan semua kepentingan warga ke dalam proses pembuatan Peraturan Daerah, penentuan APBD dan pengawasan politik. 3). Pemikiran yang selalu mencari upaya perbaikan. Dalam hal ini Anggota DPRD akan selalu dituntut untuk berpikir positif dan konstruktif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Sering tanpa disadari kebiasaan ini justru meningkatkan kapasitas modal politik yang memang dibutuhkan oleh anggota DPRD dan struktur politik pendukungnya. 4). Membangun dan memperkokoh system umpanbalik yang cepat dan efektif. Para anggota DPRD dan partai politiknya dapat selalu melakukan update terhadap informasi dan program kerjanya. Partai politik yang diwakili oleh anggota DPRD tersebut juga secara terus menerus mengevaluasi diri apakah mereka mempunyai akar yang kuat di tingkat akar rumput (grass root) atau justru berkembang menjadi partai politik yang mengambang(float).
Beberapa Indikator pelaksanaan ‘Mandat’ yang baik adalah dalam pelaksanaan mandat rakyat, dewan selayaknya dapat menghasilkan keputusan politik/ kebijakan publik yang berdampak positif melalui instrumen fungsi-fungsi DPRD, yaitu fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Semua pelaksanaan fungsi tersebut merupakan inti dari politik perwakilan. DPRD sebagai representasi rakyat menjalankan amanah keterwakilan, yang mengharuskan seorang wakil rakyat bersikap dan bertindak sesuai dengan kehendak rakyat, yang diartikulasikan melalui peran kelompok-kelompok dalam masyarakat maupun individu-invidu warga Negara. Secara substansial perlindungan hak, peningkatan kesejahteraan dalam berbagai aspek, Secara prosedural
mengikuti prosedur hukum yang benar, melibatkan masyarakat di dalam prosesnya, Komunikasi dan hubungan dengan konstituen, media serikat, Ormas, LSM, perguruan tinggi, dan lain-lain. Disamping itu ditunjang Sistem pendukung (supporting system) memadai antara lain mencakup anggaran, staf, riset dan informasi.
Pembangunan Daerah akan dapat dioptimalkan jika peran dan fungsi DPRD dioptimalkan. Peran dan fungsi DPRD dapat dioptimalkan apabila DPRD dapat melaksanakan tugasnya dengan efektif melalui pelaksanaan orientasi dasar politik DPRD yang mengacu kepada Indikator Pelaksanaan Mandat yang Baik. Dalam rangka menjawab tujuan dinamisasi demokratisasi pembangunan dalam segala aspek, maka pembangunan daerah dalam hal pelayanan public harus selaraskan dengan adanya pergeseran paradigma dari Government menjadi Governance.
Oleh:
DR. Frangky Jessy Paat, SP., M.Si
Akademisi Program Pascasarjana dan Fakultas Pertanian Unsrat
Referensi
UU No. 32 thn 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Wahab, 2002. Politik Versus Anggaran Publik.
Lindblom, 1980. Budgeting policy.
Solichin, 2009, Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah
Jenes, 1984. The Study Public Policy
Wildavsky and Caiden, 2004. Budgeting policy.
Bowman and Kearney (2003) The Public Policy.