Aneh juga jika daerah pegunungan dan berbukit-bukit seperti Kota Tomohon bisa kena banjir besar. Setelah beberapa kali diterjang banjir, pada Minggu (19/2/2017) Tomohon kembali mendapat banjir bandang yang cukup besar setelah kurang lebih tiga jam diguyur hujan lebat. Ini banjir terbesar di Kota Tomohon sejak republik ini merdeka.
Ini memang gejalah alam, tapi sangatlah lucu kalau kita menyalahkan alam. Apa ada yang salah dengan perencanaan pembangunan di Kota Tomohon selama ini? Sebagai warga Tomohon secara jujur harus saya katakan, bahwa terdapat perencanaan program pengembangan wilayah yang sangat tidak pro lingkungan disini.
Sebagai daerah yang terdiri dari pegunungan dan berbukit-bukit, Tomohon yang dulunya terdapat banyak hamparan lokasi/daerah resapan air, kini sudah menjadi daerah pemukiman. Bayaknya daerah pemukiman baru akibat bertambahnya jumlah penduduk ternyata telah menciptakan masalah baru, yakni ancaman banjir disaat musim hujan.
Ini memang tantangan terbesar bagi Kota Tomohon yang maju dan berkembang pesat. Tapi perencanaan wilayah yang matang tentunya dapat meminimalisir konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan seperti bencana banjir ini.
Kita mengetahui bahwa Kota Tomohon tidak ada sungai-sungai besar, sehingga sungai-sungai kecil tentunya harus dimaksimalkan untuk dimanfaatkan sebagai saluran air sampai ke hulu. Anehnya sungai-sungai kecil yang ada dibeberapa titik Kota Tomohom sudah menyempit. Hal ini karena terdapat beberapa bangunan yang ‘direstui’ pemkot untuk berdiri dibantaran sungai-sungai kecil bahkan diberikan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan).
Nah kalau sudah begini, siapa yang harus disalahkan? Sejak menjadi wakil rakyat (periode 2009-2014) hal ini sering saya pertanyakan dalam setiap pembahasan dengan pihak eksekutif Pemkot Tomohon. Selalu mendapat jawaban bahwa semua ini akan ditertibkan.
Banjir bandang yang baru saja terjadi dibeberapa titik semakin menunjukkan ada yang salah soal konsep perencanaan. Dilapangan/lokasi banjir, air tidak leluasa masuk ke drainase karena selain lubang sebagai jalan masuk sudah tertutup, juga didalam drainase dipenuhi sampah dan lumpur, akibatnya air yang meluap mengikuti jalan raya dan masuk kepekarangan/rumah-rumah penduduk.
Banjir ini telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi masyarakat dan Pemerintah Kota Tomohon. Ini karena bukan saja terdapat ancaman nyawa manusia, tapi juga kerugian material yang cukup besar serta rusaknya infrastruktur publik seperti jalan, trotoar dan utilitas kota lainnya.
Selain daerah/lokasi resapan air, masalah pembangunan dibantaran sungai yang tidak ditertibkan, soal drainase ini sudah sangat urgen diperhatikan. Selayaknya trotoar dibongkar untuk ditata kembali sekaligus melakukan perbaikan soal drainase.
Beberapa tahun yang lalu ada program Pemerintah Kota lewat ribuan biopori sebagai saluran resapan air. Tentunya hal ini patut dipertanyakan sejauhmana manfaatnya dan apakah ada pengawasan lanjutan terhadap program ini?
Dalam kaitan ancaman bencana banjir ini, masyarakat juga harus didorong bagaimana sampah rumah tangga tidak seenaknya dibuang sembarangan. Ketidak-tertiban masyarakat membuang sampah ini juga yang mengakibatkan banyaknya saluran air dan drainase tersumbat.
Kita tentunya tidak harus berpikir bahwa program nantinya jalan karena menyesuaikan anggaran. Sekarang harus berpikir sebaliknya, bahwa angggaran/dana akan menyesuaikan program yang ada, apalagi program ini sifatnya antisipatif untuk kepentingan masyarakat kedepan.
Kota Tomohon harus memiliki dana tanggap darurat sebab telah masuk zona sebagai daerah rawan bencana, baik banjir, longsor, pohon tumbang serta ancaman lainnya seperti erupsi gunung berapi Lokon dan Mahawu.
Saving dana ini penting asalkan sesuai mekanisme dan aturan yang berlaku. Tipikal Kota Tomohon yang rawan bencana saat ini, mengharuskan pemikiran kearah tersebut khususnya penyiapan dana kontigensi/darurat. Jika bencana hadir secara tiba-tiba, Pemerintah nantinya tidak berpikir ‘tiba saat, tiba akal’.
Perencanaan yang matang adalah perencanaan yang fokus sejak awal yakni memikirkan “sebab”, bukan semata-mata reaktif terhadap “akibat”. Hukum kasualitas ‘sebab-akibat’ dikaitkan dengan pola pikir komprehensif terhadap berbagai problem pembangunan ini harus berjalan seimbang. Semoga !
Penulis: Paul Adrian Sembel
Editor: Rizath Polii