Manado, BeritaManado.Com – Kepemimpinan politik masih dianggap sebagai penyebab carut marutnya persoalan bangsa. Politik sepertinya telah kehilangan visi.
Padahal menurut pengamat politik, Dr Ferry Daud Liando, anggaran terbesar APBN salah satunya berkaitan dengan seleksi kepemimpinan. Mulai pembuatan Undang-Undang, rekrutmen dan tunjangan penyelengara, birokrasi penyelenggara, penyelengaraan, hingga penguatan partai politik.
“Selain biaya yang tidak sedikit, proses ini juga menguras banyak energi dan konflik. Tapi hasil dari proses ini ternyata banyak melahirkan pemimpin yang korup, amoral dan miskin inovasi. Tidak setimpal dengan biaya dan resiko saat pemimpin ini terpilih,” jelas Ferry Liando.
Lanjut Ferry Liando, kontestasi politik pilkada maupun pilcaleg melahirkan dua karakter aktor politik: negarawan dan pemain. Persamaan dari dua aktor ini adalah keduanya menyandang predikat sebagai politisi. Namun yang membedakan adalah visi politik, baik dalam mendapatkan maupun dalam menjalankan kekuasaan.
“Bagaimana kekuasaan itu diperoleh? Proses mendapatkan kekuasaan baik dalam jabatan eksekutif maupun legislatif, negarawan menjadikan kewibawaan, prestasi dan dedikasi sebagai sumber kekuasaan. Bagi pemilih rasional, ketiga hal itu menjadi pertimbangannya dalam memilih,” tandas Ferry Liando.
Bagi seorang pemain, kekuasaan itu diperoleh secara paksa meski dengan cara licik sekalipun, menyogok pemilih, dan menjelekan reputasi lawan-lawan politik.
Politisi negarawan akan menggunakan kekuatan yang ada pada dirinya untuk menguatkan sekitarnya, sementara pemain memanfaatkan kekuatannya untuk melemahkan orang lain. Tidak memaksa namun menawarkan diri, seorang negarawan dalam proses mendapatkan kekuasaan telah mempersiapkan dengan melatih diri, bekerja sosial, berdedikasi dan berpihak pada kepentingan banyak orang jauh sebelum tahapan pilkada atau pemilu dimulai.
Bagi pemain, cara mempersiapkan diri merebut kekuasaan adalah uang untuk mahar atau menyogok pemilih, mengkliping dosa-dosa lawan politik sebagai bahan fitnah saat kampanye dan memanfatkan jabatan kepala daerah yang diemban suami, isteri, anak, kakak mengitimidasi pemilih terutama dalam pemilihan legislatif.
“Tidak heran, di beberapa lembaga legisltif lebih tampak kumpulan kelompok arisan keluarga kepala daerah ketimbang sebagai lembaga politik,” tukas Ferry Liando.
Lantas bagaimana kekuasaan itu dijalankan?
Bagi negarawan, kekuasaan itu bukan tujuan politik, namun baginya kekuasaan itu hanya sebagai instrumen untuk memperjuangkan kepentingan banyak orang. Namun bagi politisi pemain, kekuasaan itu jelas adalah tujuan politik yang dianggap berkah baginya memperkaya diri, meningkatkan status sosial dan memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan keluarga.
“Melalui kekuasaan yang melekat, politisi pemain ini bisa secara leluasa mempermainkan SPPD, menguasai proyek atau mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk mengembangkan bisnisnya,” terang Ferry Liando.
Negarawan selalu konsisten antara pikiran, perkataan dan perbuatan. Apa yang katakan benar dari hasil pikiran dan apa yang dilakukan selaras dengan apa yang dikatakan. Bedanya dengan pemain, apa yang dikatakan kerap menyimpang dari pikiran (logika) sedangkan apa yang dikatakan kerap tidak seperti yang dilakukannya.
Politisi negarawan mengakui prestasi anak buah dan berujung reward, namun bagi politisi pemain, prestasi anak buah dimanfatkan untuk pencitraan diri dengan mengklaim bahwa itu usahanya dan berusaha menyingkirkan pejabat berprestasi secara perlahan-lahan agar tidak menyaingi dirinya kelak.
Jika disogok, negarawan meminta penyogok itu untuk memperbanyak iman, takwa dan keteleadanan dengan meminta tidak mengulanginya kembali, sementara pemain ketika disogok, ia mengingatkan memperbanyak jumlah dan memintahnya untuk melakukannya kembali.
Kalau ada investasi, negarawan meminta investor untuk tidak merusak lingkungan. Sementara pemain memastikan berapa fee yang akan ia peroleh atas kompensasi ijin usaha yang ditandatanganinya tanpa peduli dengan kerusakan lingkungan. Dalam hal penentuan proyek, negarawan akan mengingatkan pentingnya kualitas proyek. Bagi pemain, yang dingatkannya adalah pentingnya besaran fee yang akan diperolehnya.
Bagi negarawan, dasar memilih pejabat adalah prestasi, dedikasi dan kepercayaan. Bagi pemain, pengakatan pejabat merupakan sumber daya bagi pembiayaan kepentingan politiknya.
Negarawan menjadikan kritik sebagai bahan memperbaiki kinerja dan tidak terlalu peduli dengan pujian. Bagi pemain, kritik adalah musuh yang harus dibasmi. Cepat atau lambat, sang pengkritik harus dilenyapkan (ditersangkakan). Baginya pujian adalah surga, maka dengan cara apapun hal itu harus diperoleh.
Promosi jabatan sangat mudah diperoleh oleh siapa saja yang mampu berkata-kata pujian bagi atasannya itu. Banyak peristiwa pemecataan pejabat yang mengelola humas karena ketidakmampuannya berbahasa “pujian” pada setiap pembuatan rilis,” tandas Ferry Liando. (***/JerryPalohoon)