MANADO – Meski secara geografis letak Indonesia dan Brunei Darussalam berdekatan namun akses transportasi darat masih menjadi kendala kegiatan perdagangan sehingga nilai total perdagangan dengan negara itu relatif masih rendah.
Di sela pertemuan para menteri ekonomi Asean di Manado, Rabu, Direktur Kerja sama Bilateral Kementerian Perdagangan Pradnyawati mengatakan, pada 2010 nilai total perdagangan Indonesia dan Brunei hanya 727,1 juta dolar AS. “Itu termasuk kecil,” katanya setelah menghadiri pertemuan bilateral antara Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan Second Minister of Ministry of Foreign Affairs and Trade Brunei Darussalam Pehin Dato Lim Jock Seng.
Perdagangan antara kedua negara, menurut dia, utamanya terkendala ketiadaan akses transportasi darat langsung untuk kegiatan ekspor impor. “Yang ada baru koneksi langsung dengan moda transportasi laut dan udara. Tapi kargo lewat udara juga belum ada, jadi hanya bisa lewat air,” katanya.
Ia menambahkan, sistem labelisasi halal untuk makanan impor yang ketat di Brunei membuat eksportir Indonesia sulit menembus pasar produk pangan negara itu. “Selain itu eksportir Indonesia juga kesulitan mendapatkan informasi tentang akses pasar di sana,” katanya.
Pradnyawati menjelaskan, sebenarnya Indonesia dan Brunei sejak 2003 sudah membentuk Kelompok Kerja Perdagangan dan Investasi untuk membahas penanganan masalah-masalah tersebut. “Tapi selama ini forum itu kurang dimanfaatkan,” katanya.
Ke depan, dia menjelaskan, Kelompok Kerja Perdagangan dan Investasi antara Indonesia dan Brunei harus dimanfaatkan secara optimal untuk mengatasi hambatan perdagangan antara kedua negara. “Menteri hubungan luar negeri dan perdagangan Brunei tadi juga minta supaya pemanfaatan forum itu ditingkatkan,” katanya.
Neraca perdagangan Indonesia dengan Brunei mengalami defisit sejak 2006. Sementara pada 2010, defisit neraca perdagangan Indonesia dengan negara itu tercatat 605,2 juta dolar AS. “Ini karena impor migas kita dari sana besar,” katanya.
Sebagai gambaran, dari 666,2 juta dolar AS nilai impor Indonesia dari Brunei pada 2010, sebanyak 659,1 juta dolar AS diantaranya meluputi atas minyak dan gas. Sementara ekspor Indonesia ke negara itu hampir semuanya terdiri atas barang nonmigas seperti barang elektronik, otomotif, minuman non-alkohol, makanan dan minyak kelapa sawit.(brn)
MANADO – Meski secara geografis letak Indonesia dan Brunei Darussalam berdekatan namun akses transportasi darat masih menjadi kendala kegiatan perdagangan sehingga nilai total perdagangan dengan negara itu relatif masih rendah.
Di sela pertemuan para menteri ekonomi Asean di Manado, Rabu, Direktur Kerja sama Bilateral Kementerian Perdagangan Pradnyawati mengatakan, pada 2010 nilai total perdagangan Indonesia dan Brunei hanya 727,1 juta dolar AS. “Itu termasuk kecil,” katanya setelah menghadiri pertemuan bilateral antara Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan Second Minister of Ministry of Foreign Affairs and Trade Brunei Darussalam Pehin Dato Lim Jock Seng.
Perdagangan antara kedua negara, menurut dia, utamanya terkendala ketiadaan akses transportasi darat langsung untuk kegiatan ekspor impor. “Yang ada baru koneksi langsung dengan moda transportasi laut dan udara. Tapi kargo lewat udara juga belum ada, jadi hanya bisa lewat air,” katanya.
Ia menambahkan, sistem labelisasi halal untuk makanan impor yang ketat di Brunei membuat eksportir Indonesia sulit menembus pasar produk pangan negara itu. “Selain itu eksportir Indonesia juga kesulitan mendapatkan informasi tentang akses pasar di sana,” katanya.
Pradnyawati menjelaskan, sebenarnya Indonesia dan Brunei sejak 2003 sudah membentuk Kelompok Kerja Perdagangan dan Investasi untuk membahas penanganan masalah-masalah tersebut. “Tapi selama ini forum itu kurang dimanfaatkan,” katanya.
Ke depan, dia menjelaskan, Kelompok Kerja Perdagangan dan Investasi antara Indonesia dan Brunei harus dimanfaatkan secara optimal untuk mengatasi hambatan perdagangan antara kedua negara. “Menteri hubungan luar negeri dan perdagangan Brunei tadi juga minta supaya pemanfaatan forum itu ditingkatkan,” katanya.
Neraca perdagangan Indonesia dengan Brunei mengalami defisit sejak 2006. Sementara pada 2010, defisit neraca perdagangan Indonesia dengan negara itu tercatat 605,2 juta dolar AS. “Ini karena impor migas kita dari sana besar,” katanya.
Sebagai gambaran, dari 666,2 juta dolar AS nilai impor Indonesia dari Brunei pada 2010, sebanyak 659,1 juta dolar AS diantaranya meluputi atas minyak dan gas. Sementara ekspor Indonesia ke negara itu hampir semuanya terdiri atas barang nonmigas seperti barang elektronik, otomotif, minuman non-alkohol, makanan dan minyak kelapa sawit.(brn)